Home Uncategorized ‘Adu Jago Ibu Kota’: Benang Kusut Upaya Perdamaian Pemuda Pancasila Vs FBR

‘Adu Jago Ibu Kota’: Benang Kusut Upaya Perdamaian Pemuda Pancasila Vs FBR

1073
0
‘adu-jago-ibu-kota’:-benang-kusut-upaya-perdamaian-pemuda-pancasila-vs-fbr

Bek* mengalami nasib nahas sepulang dari hajatan nikah salah satu seorang kawannya, di wilayah sekitar perbatasan antara Jakarta Barat dan Selatan. Malam itu, bareng teman-teman satu organisasi masyarakat (ormas) yang dia ikuti, Bek memacu sepeda motornya dengan kecepatan tak terlalu kencang menuju rumah. Mulanya semua baik-baik saja. Sampai akhirnya, di tengah perjalanan, Bek bertemu puluhan orang yang mengenakan atribut Pemuda Pancasila (PP), ormas yang identik dengan slogan “Pancasila Abadi.”

Puluhan orang tersebut berada dalam posisi siap menyerang, membawa segala macam persenjataan, dari kayu balok hingga parang. Bek kaget bukan main. Dia tak mengira bakal diadang. Terlebih, Bek tak dalam posisi bertugas, yang artinya dia tidak mengenakan atribut Forum Betawi Rempug (FBR), organisasi yang amat dia cintai.

Dilanda rasa panik sekaligus bingung, Bek ambil sikap. Dia memerintahkan teman-teman lainnya dalam rombongan konvoi sepeda motor agar membubarkan diri. Dia tak ingin terjadi pertarungan berskala besar. Reaksi rombongan menolak keras perintah Bek. Tapi, Bek tak peduli, dan malah mengeluarkan ancaman.

“Elu pada pulang, atau gua mundur dari pimpinan kalian,” kata Bek, menceritakan ulang kejadian beberapa tahun lalu, kepada VICE.

Gertakan Bek manjur. Dengan berat hati, rombongan tersebut pun membubarkan diri dan tinggal menyisakan Bek seorang, di medan pertempuran yang tidak terencanakan.

Dalam waktu yang cukup singkat, terjangan bogem mentah hingga sabetan kayu mendarat di tubuh sekaligus muka Bek, membuatnya babak belur tak karuan. Bek terkapar tak berdaya, sebelum bantuan datang dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Bek, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Tim Khusus FBR bertugas menyelesaikan masalah antarormas, tak menyesali keputusannya. Dia lebih memilih dihajar sendirian ketimbang harus mendapati bentrok yang melibatkan banyak orang di depan matanya. Dia tak ingin korban berjatuhan, terutama dari ormas tempat dia bernaung.

“Saya enggak ingin, misalnya, anak-anak ikut bentrok pada waktu itu. Sebagai seorang pimpinan, saya bertanggungjawab sama mereka,” ungkapnya, dengan tegas. “Karena, bagaimanapun, mereka itu punya hidup. Saya akan nyesel kalau terjadi apa-apa tapi saya sebetulnya bisa mencegahnya.”

2 (2).JPG

Bek berpose di depan gardu FBR di Permata Hijau, Jakarta Selatan. Foto oleh penulis.

Bek punya niat yang baik. Namun faktanya, bentrok PP melawan FBR senantiasa bermunculan di akar rumput. Satu insiden selesai, tak jarang disusul insiden lain yang lebih parah. Sebagian berhasil dicegah, beberapa menimbulkan korban jiwa, dan seringkali menggores luka di tubuh para anggotanya.

Salah satu saksi panasnya rivalitas PP vs FBR adalah kawasan Jalan Ciledug Raya. Suara klakson silih berganti membelah jalan, berkelindan bersama tumpukan mobil dan motor yang berusaha keluar dari kepadatan. Sepintas, kawasan Ciledug Raya nyaris tak jauh berbeda dengan ruas-ruas jalan ibu kota yang senantiasa bikin pening kepala.

Tapi, yang nampak di permukaan terkadang bukan wajah aslinya. Di balik kemacetan yang selalu muncul di Ciledug Raya, jalanan ini adalah saksi betapa ganasnya pertarungan antarormas di akar rumput. Oleh orang-orang sekitar, Ciledug Raya kerap disebut dengan “Jalur Gaza.”

Nama “Jalur Gaza,” yang ditujukan untuk menggambarkan betapa panasnya kawasan Ciledug Raya, sudah muncul sejak lama. Jauh sebelum ormas saling adu kekuatan di kawasan ini, anak-anak STM lebih dulu mengisi arena bentrok.

“Udah legendaris. Jadinya, sampai sekarang, dipanggil Jalur Gaza,” kata Koko, salah satu personel Pemuda Pancasila cabang Pesanggrahan. “Bedanya sekarang yang banyak ngisi ormas.”

Panasnya “Jalur Gaza” kembali terlihat pada 6 September 2020, manakala PP dan FBR kembali terlibat keributan. Kali pemicunya adalah pesan berantai hoaks, menyebut anggota FBR ada yang terserempet iring-iringan PP. Beruntung, kepolisian setempat berhasil memadamkan api bentrok agar tak meluas. Namun seperti biasa, kedua anggota ormas itu seakan kebal hukum setelah berulah. Polisi mengaku itu hanya “keributan kecil di jalan.”

“Tidak ada [yang diamankan],” kata Kasat Reskrim Polres Tangerang Kota AKBP Burhanuddin saat dikonfirmasi Detik.com.

Pertarungan PP dan FBR sudah seperti fakta yang senantiasa disaksikan masyarakat Jakarta. Di akar rumput, insiden serupa terus bermunculan dari satu waktu ke waktu yang lain. Juru bicara Humas Polda Metro Jaya menolak berkomentar ketika dihubungi VICE terkait apa saja pendekatan aparat selama ini untuk meredam kekerasan antara dua ormas tersebut.

Rivalitas kedua ormas ini begitu panas, disebabkan pelbagai faktor, sekaligus turut berandil mempertegas satu sisi wajah kota Jakarta yang sejak lama tercitrakan keras. Karena ekosistem metropolis Jakarta melibatkan daerah penyangga, seperti Bekasi, Tangerang, hingga Depok, maka rivalitas dua ormas itu jadi meluber, melintasi batas-batas administratif serta yuridiksi aparat.

Agun Hidayat sedang sibuk menyiapkan acara pengajian dalam rangka perayaan ulang tahun FBR, saat kami mampir di markasnya yang berlokasi di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan. Mengenakan baju koko lengan pendek berwarna putih, dia tak berhenti meminta para hadirin untuk lekas menempatkan diri, supaya helatan acara dapat dimulai.

Suasana markas FBR di Gandaria tersebut, yang kerap dipanggil “Gardu Semut Item,” nampak guyub. Anggota FBR yang ada di sana tak henti-hentinya bertukar tawa dan kehangatan, meski dunia tengah mengalami nasib yang jauh dari kata ideal sebab pandemi.

“Ini kalau enggak ada pandemi, acaranya pasti dibuat lebih gede,” jelas Agun, yang sehari-hari bertugas menjadi Sekretaris FBR Semut Item. “Yah, karena sekarang enggak memungkinkan, jadi dibikin sederhana aja.”

Pemandangan malam itu berkebalikan dengan yang terjadi pada September 2018, manakala Gardu Semut Item diserang puluhan orang yang mengenakan atribut Pemuda Pancasila dan lantang meneriakkan slogan “Pancasila Abadi.” Kerusakan fisik gardu terlihat begitu jelas: asbes musala rusak, begitu pula dengan kaca bangunan yang retak akibat lemparan batu.

Peristiwa September 2018 punya resonansi publikasi yang cukup besar, menandakan bahwa rivalitas keduanya tak pernah padam, serta menjadi bagian kecil dari bentrokan yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Pada Juli 2012, ambil contoh, bentrokan antara PP melawan FBR muncul di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat. Insiden bermula saat tiga orang anggota PP diserbu puluhan massa berbaju FBR. Satu orang menjadi korban dengan luka bacok.



Sebulan sebelumnya, keributan lahir di Pasar Cipadu, Tangerang. Berdasarkan informasi yang ada, insiden terjadi pada dini hari, ketika anggota PP menyerang rumah milik personel FBR. Kerusuhan mengakibatkan tewasnya anggota FBR dengan kondisi alat vital hilang dan leher nyaris putus.

Mei 2012, daerah di sekitar Gang Kubur, Joglo, Jakarta Barat, menjadi saksi meletusnya tawuran antara PP dan FBR. Insiden berawal dari serangan puluhan anggota PP ke markas FBR, menyebabkan satu orang terluka akibat bacok.

Periode 2012, bisa dibilang, merupakan masa membara di antara kedua ormas ini. Aksi saling serang, yang menyasar masing-masing anggota hingga markas tempat berkumpul, tak ubahnya neraka yang mesti dijumpai sehari-hari. Kerugian materi—dan bahkan yang terburuk sekalipun: nyawa—seolah dimaklumi, selama kedua belah pihak berhasil menuntaskan misinya.

Satu tahun usai peristiwa di Joglo, bentrok dua ormas ini kembali terjadi. Mengambil titik kejadian di kawasan Barito, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, keributan berawal dari dugaan pencopotan bendera PP yang dilakukan oleh personel FBR. Aksi itu diketahui oleh anggota PP dan kemudian lahirlah penyerangan. Imbas dari bentrok: satu personel FBR tewas.

Insiden terbaru muncul pada November 2019, tepatnya di Bekasi, dengan korban satu orang dari PP yang babak belur dihajar personel FBR. Menurut keterangan kepolisian, ricuh dipicu kesalahpahaman yang berbuntut penyerangan personel FBR ke markas PP di daerah Arenjaya, Bekasi Timur.

Bentrok yang melibatkan kedua ormas tersebut, terutama yang terjadi di kelompok akar rumput, disebabkan oleh banyak faktor yang tidak dapat disederhanakan begitu saja. Antara satu faktor dengan yang lain tak jarang memiliki benang merah. Namun demikian, semua dapat dirangkum dalam dua poin: gengsi dan kebutuhan perut.

Ian Douglas Wilson, dosen dari Murdoch University sekaligus penulis buku Politik Jatah Preman, menerangkan bahwa ormas yang ada di Indonesia sering kali masih terjebak pada jualan fanatisme, entah berbalut nasionalisme maupun agama. Hal inilah yang kemudian mendorong para anggota di dalamnya berusaha keras menjaga marwah organisasi.

Tak heran, ketika ada identitas ormas yang digasak, seperti pencabutan bendera maupun perusakan markas, besar kemungkinan aksi saling balas bakal terjadi. Insiden pada September 2018 adalah contoh terbaiknya. Sebelum penyerangan Gardu Semut Item, aksi serupa lebih dulu dilakukan massa FBR di daerah perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang.

Menurut keterangan Madun, Sekretaris Pimpinan Anak Cabang (PAC) PP Pesanggrahan, massa FBR, yang diketahui habis menuntaskan acara perayaan ulang tahun organisasi, melakukan provokasi di sekitar kawasan Ciledug, Jakarta Selatan.

“Mereka jatuhin motor anak-anak. Kami awalnya sempat nahan diri. Bahkan, kami lapor ke polisi tapi tidak ada upaya serius,” ungkapnya kepada VICE. Akhirnya, karena tak tahan melihat tindakan yang semena-mena itu, aksi balasan segera dikerahkan.

Madun menyayangkan bahwa PP kerap disudutkan dalam setiap aksi ribut, terlebih yang terjadi pada September dua tahun lalu. Menurutnya, penyerangan tersebut tidak serta merta muncul dengan sendirinya, melainkan ada faktor sebab akibat yang melibatkan peran FBR.

“Prinsipnya kalau enggak disenggol, [kami] enggak mungkin onar,” tegas Madun, meyakinkan.

Eskalasi konflik kian dipertajam dengan kepentingan ekonomi yang berada di belakang kendali kedua ormas. Kepentingan ekonomi di sini dapat diartikan juga sebagai wilayah kekuasaan, walaupun masing-masing dari mereka mengaku tidak pernah menentukan secara resmi daerah mana saja yang termasuk dalam cengkeramannya.

“Di PP sendiri tidak ada hitam di atas putih kami menguasai daerah itu. Mungkin lebih tepatnya daerah itu dikuasai oleh orang-orang yang kelak memutuskan bergabung dengan PP,” kata Embay Supriyantoro, Sekretaris Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Jakarta, saat ditemui VICE di kantornya yang terletak di bilangan Pasar Minggu.

Eksistensi wilayah kekuasaan penting bagi keberlangsungan ormas sebab dapat menghidupi keberlangsungan anggota di dalamnya. Wilayah kekuasaan yang dipegang ormas, lebih-lebih di Jakarta, begitu menggiurkan dan mempunyai perputaran uang yang tidak sedikit. Ada banyak elemen yang menopang tumbuh kembangnya wilayah kekuasaan ormas, dari pasar hingga lahan parkir.

Khusus lahan parkir sendiri kehadirannya menjadi komoditi panas di mata ormas. Wilson menerangkan banyaknya ormas—tak cuma PP atau FBR—yang terjun di bisnis lahan parkir didorong oleh kondisi yang sederhana: mudah dikelola dan pemasukan uangnya tergolong cepat.

“Tidak butuh keahlian tertentu untuk mengurus lahan parkir. Selain itu, keberadaan lahan parkir juga berbanding lurus dengan banyaknya kendaraan pribadi di Jakarta. Ini bisnis yang strategis. Dan bisa disebut juga bahwa lahan parkir itu bentuk monomarket yang sifatnya control space,” tutur Wilson ketika dihubungi VICE via video call.

Karena sifatnya yang strategis itulah ketika ada ormas yang berusaha mengusik lahan parkir yang sudah dikuasai ormas lain, potensi keributannya terbuka lebar, seperti yang terjadi di Pasar Gembrong, Jakarta Timur, empat tahun silam.

Lantas mana saja yang dapat disebut wilayah kekuasaannya PP dan FBR di Jakarta? Untuk PP sendiri, misalnya, memegang kawasan Kemang, Senopati, hingga Blok M, tiga kawasan yang acapkali disebut sebagai pusat hiburan di Jakarta. Di wilayah ini, bisnis PP terbentang dari urusan lahan parkir, keamanan, sampai distribusi es batu untuk bar, restoran, maupun pedagang kaki lima.

Sementara wilayah kekuasaan FBR yang terbesar terdapat di Jakarta Pusat, atau tepatnya di kawasan Kemayoran. Sama seperti PP, bisnis FBR di daerah tersebut mencakup lahan parkir, rumah makan, sampai jasa keamanan yang diperbantukan di gedung-gedung perkantoran hingga Arena Pekan Raya Jakarta (PRJ).

Baik PP maupun FBR sama-sama mengetahui daerah mana yang menjadi titik kekuasaannya. Walaupun tak ada kesepakatan tertulis, keduanya memegang prinsip yang kurang lebih sama: jangan bikin perkara di daerah lain.

Implementasi dari kawasan kekuasaan ini pun, bila ditelisik lebih jauh, tidak kelewat kaku. Dalam beberapa kasus, di satu daerah tertentu, PP dan FBR bisa berbagi panggung. Gambarannya kira-kira begini. Katakanlah terdapat lahan parkir yang diisi PP dan FBR. Maka, sebagai jalan tengahnya, dibagi sesuai jadwal. Minggu pertama lahan parkir dikelola PP, minggu selanjutnya FBR.

“Di banyak tempat kayak gitu [penerapannya]. Satu lahan, dua kelompok. Dan sejauh ini bisa-bisa saja [berdampingan],” aku Bek, seraya menambahkan bahwa jika ada pihak dari salah satu kelompok yang mencoba mengusik, maka penyelesaiannya bakal diserahkan ke internal kelompok bersangkutan.

Penguasaan lahan-lahan informal, seperti halnya kawasan parkir, relatif mudah dilakukan dan menyumbang kontribusi tak sedikit untuk menyambung napas organisasi—atau lebih spesifik lagi: biaya hidup anggota. Meski demikian, PP berkeyakinan bila memutar roda perekonomian dari lahan informal secara simultan mesti diimbangi pula dengan penguatan sektor-sektor formal.

1 (1).JPG

Embay Supriyantoro dari Pemuda Pancasila, ditemui di ruang kerjanya. Foto oleh penulis.

Embay mengutarakan dalam kurun beberapa tahun belakangan PP Jakarta tengah aktif meningkatkan potensi kewirausahaan di kalangan anggota. Berbagai pelatihan hingga bantuan modal yang disalurkan lewat koperasi rutin dilaksanakan agar para anggota dapat berdikari dan tak melulu mengandalkan pendapatan dari sektor informal.

“Walaupun uang dari situ [sektor informal] tidak masuk kas PP, kami ingin membangun kemandirian di antara para anggota. Bentuknya bisa apa aja. Entah itu dagang mie ayam, buka toko kelontong, atau produksi bahan-bahan baku. Prinsipnya kami, pengurus pusat, menyediakan bantuan. Semua ditujukan untuk [keberlangsungan] anggota,” paparnya.

Inisiatif dari pengurus pusat PP perlu diapresiasi. Karena, secara tidak langsung, langkah semacam itu dapat berperan dalam memutus mata rantai kekerasan di akar rumput yang, salah satunya, disumbang oleh perebutan kepentingan di atas lahan informal yang cukup basah.

Akan tetapi, Embay menegaskan, jalannya tak mudah. Walaupun program yang diklaim bersandar pada prinsip ekonomi kerakyatan ini telah disusun sedemikian rupa, para anggota PP tidak otomatis tertarik terlibat di dalamnya.

“Mungkin karena udah terbiasa [cari duit] di jalan, jadinya program-program semacam ini kurang kena buat mereka,” jawab Embay.

Perasaan bergidik barangkali akan menyelimuti siapapun tatkala berjumpa dengan The Mask*, biasa juga dijuluki The Slim, personel PP yang namanya begitu melambung di kelompok akar rumput. Tampilan The Mask amat gahar. Badannya tinggi kekar, sekujur tangannya dipenuhi dengan tato yang menyatu dengan otot-ototnya yang kokoh.

Namun, selang beberapa menit kemudian, ketakutan itu seketika luntur. The Mask begitu ramah menyambut ajakan wawancara dan tak jarang mengeluarkan banyolan yang bikin suasana jadi cair.

Perjalanan The Mask di PP dimulai sekitar warsa 2010-an. Sebelum bergabung dengan organisasi tersebut, The Mask adalah seorang preman. Latarbelakang itulah yang lantas membikin dirinya tak kesulitan mendapat tempat khusus di kelompok akar rumput PP.

Nama The Mask dikenal sebab reputasinya yang selalu berdiri di garda paling depan ketika bentrok melawan FBR—dan ormas yang lain—meletus. Dia tak ubahnya panglima, yang segala komandonya siap dijalankan para anggota di bawahnya.

“Bisanya anak-anak aja itu [menganggap saya panglima],” tegas The Mask merendah. “Saya anggota biasa, sama seperti kawan-kawan lain di sini.”

The Mask boleh saja merendah, tapi hal tersebut tidak mengubah pandangan banyak orang terhadapnya. Bagi Madun, misalnya, keberanian The Mask untuk turun langsung ke lapangan manakala bentrok pecah tidak dapat ditandingi oleh anggota yang lain.

“Kalau ada apa-apa, dia yang pertama turun,” kata Madun.

Bagi The Mask, keputusannya untuk mengambil risiko semacam itu didasari pertimbangan yang sederhana: bentuk tanggung jawab dalam menjaga keberlangsungan organisasi. Pemuda Pancasila, di mata The Mask, bukan sekadar organisasi, melainkan juga sumber hidup di mana dia dapat mengembangkan diri dan perlahan melepaskan identitasnya sebagai seorang preman.

“Organisasi ini membantu saya untuk berkembang. Saya bisa belajar banyak hal dan meningkatkan kualitas saya. Kepada kawan-kawan di sinilah kesempatan itu ada,” ujarnya.

Maka, ketika ada serangan yang menargetkan organisasi, lebih-lebih anggota yang dia kenal, The Mask tak ingin berdiam diri, seperti yang terjadi pada bentrok besar terakhir, September 2019, ketika dia mengorganisir aksi serangan balasan ke Gardu Semut Item.

“Saya sama sekali nggak terima ketika mereka [FBR] bertindak seperti itu. Saya tahu itu mereka. Saya kenal wajah-wajahnya,” tuturnya. “Bisa dibilang saya lepas kontrol. Tapi, itu bisa kejadian karena kami mendapatkan perlakuan seperti ini.”

4 (2).JPG

Anggota PAC PP Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Foto oleh penulis.

Keberanian The Mask bukannya tanpa konsekuensi. Berkali-kali dia terjerat hukum atas serangkaian kasus keributan yang melibatkan PP dan FBR. Alhasil, vonis penjara pun mesti dia terima. Tak cuma itu saja, reputasinya di luar PP sangat tercoreng: identik dengan provokator dan tukang bikin rusuh. Dan yang paling buruk, sebab kerap berurusan dengan aparat, kondisi keluarganya turut berantakan.

Perkara ribut antara PP dan FBR di akar rumput menimbulkan banyak kerugian. Beberapa pihak, dari kedua organisasi, sebenarnya sudah mulai melakukan upaya pencegahan agar bentrok berskala besar tidak kembali terulang.

Agun, perwakilan Semut Item, mengungkapkan sejauh ini dirinya berusaha keras menjaga emosi untuk mencegah kekerasan—dan darah—tumpah di jalanan. Agun mencontohkan bila ada kasus pencopotan bendera FBR, dia akan lebih dulu berkoordinasi dengan pengurus PP setempat. Pun sama halnya ketika aksi serangan meletus: dia bakal memastikan apakah memang anggota PP yang jadi aktor atau cuma oknum dari luar.

“Pokoknya, sebisa mungkin, saya tahan dulu anak-anak. Jangan sampai ikut emosi. Baiknya kita teliti dulu apakah memang dari mereka [PP] yang berulah atau justru orang lain yang pakai baju PP,” terangnya.

Pendapat serupa turut diungkapkan Bek. Menurutnya, seiring waktu, intensitas rusuh di antara PP dan FBR tidak sekeras beberapa tahun yang lalu. Pencapaian tersebut, Bek bilang, dapat terjadi karena masing-masing pihak sudah mulai sadar betapa menyusahkannya aksi saling hajar.

“Walaupun kayaknya [bentrok] susah untuk dihilangkan 100 persen, setidaknya kondisi sekarang udah beda. Capek kalau sedikit-sedikit berantem, sedikit-sedikit ribut,” ungkapnya seraya tertawa.

Bek juga menegaskan bahwa dirinya, yang pernah menjadi korban pengeroyokan, tidak memendam kebencian kepada anggota PP. Pasalnya, Bek mengaku sebagian anggota PP merupakan teman-temannya sendiri—begitu pula sebaliknya.

Kesadaran untuk mengakhiri rivalitas di akar rumput telah tumbuh di antara para pentolan kedua organisasi yang sering terlibat pertempuran. Pertanyaannya, bisakah resolusi damai itu benar-benar terwujud?

Luthfi Hakim begitu antusias ketika menjelaskan kepada saya ihwal aplikasi yang dapat dipakai untuk mengecek keabsahan kartu identitas para anggota FBR. Ada raut kebanggaan dan takjub yang terpancar dengan jelas dari wajahnya.

“Dengan aplikasi ini,” katanya dengan logat Betawi yang kental seraya menyodorkan gawai miliknya, “kita jadi tahu mana yang beneran anggota [FBR], mana yang bukan.”

Bagi Luthfi, aplikasi tersebut merupakan pencapaian tersendiri, terutama sejak dia menjabat sebagai orang nomor satu di FBR pada 2009, menggantikan ketua sebelumnya yang juga sekaligus pamannya, Fadohli El Munir. Keberadaan aplikasi ini dapat menjadi pertanda bahwa ormas mampu menelurkan inovasi-inovasi untuk keberlanjutan di masa mendatang.

Kiprah FBR pertama kali dimulai pada 2001, atau tiga tahun pasca-Reformasi yang meruntuhkan singgasana Orde Baru. Kemunculan FBR dilandasi niat yang tak muluk-muluk: mengangkat kembali harkat martabat masyarakat Betawi yang, sepenuturan Luthfi, makin ke sini makin disingkirkan.

Wajah penyingkiran tersebut, Luthfi bilang, disebabkan oleh geliat pembangunan di Jakarta yang gila-gilaan. Status sebagai ibu kota membikin Jakarta terus bersolek, mengukuhkan diri tak sebatas pusat pemerintahan, melainkan juga pusat bisnis hingga hiburan. Dampak dari pembangunan ini mengakibatkan eksistensi masyarakat Betawi perlahan tersingkirkan.

“Contohnya Senayan dulu jadi pusat perah susu sapi. Tapi, setelah pemerintah membangun stadion, orang-orang Betawi yang ada di sana pindah ke Tebet. Mata pencaharian mereka pun terputus,” terang Luthfi.

Demi mencegah preseden serupa terulang lagi, FBR hadir di tengah realitas masyarakat urban. Ideologi FBR dibentuk atas dua pilar: Islam dan Betawi. Kendati begitu, Luthfi mengklaim bahwa dua pilar tersebut tak menjadikan FBR sebagai ormas yang eksklusif.

“Maknanya tidak kemudian jadi sempit. Yang dimaksud Betawi di sini enggak cuma mereka yang asli Betawi, tapi juga mereka yang udah tinggal lama di Jakarta, mencari duit di Jakarta, dan punya kepedulian terhadap akar budaya Jakarta,” tuturnya. “Dan soal embel-embel Islam pun juga nggak kaku. Kami ada anggota yang dari keturunan Tionghoa. Kami terbuka.”

6 (2).JPG

Spanduk FBR di salah satu markas Jakarta Selatan. Foto oleh penulis.

Seiring waktu, pamor FBR mulai menanjak. Luthfi menyebutkan bahwa hingga sekarang, jumlah anggota FBR, yang tercatat atau tidak, mencapai ratusan ribu orang serta tersebar di kawasan Jabodetabek.

Ratusan ribu orang yang berkumpul di bawah satu atap yang sama sudah pasti bukanlah angka yang sedikit. Hal tersebut memperlihatkan kesuksesan FBR menjelma sebagai ormas yang besar, menyusul PP yang lebih dulu menancapkan hegemoninya pasca-1965, ketika Orde Baru berkuasa, bahkan sampai hari detik ini.

Usai 1998, arah politik ormas, menurut penuturan Wilson cenderung oportunis, dan tepat di sinilah riak maupun gelombang rivalitas yang biasanya muncul di akar rumput tidak banyak dijumpai. Pendek kata, di level elite, relasi PP dan FBR cenderung adem ayem.

Ini dapat dilihat, misalnya, saat gelaran Pilpres 2019 di mana keduanya sama-sama mendeklarasikan dukungan kepada pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, setelah lima tahun sebelumnya condong ke gerbong Prabowo Subianto. Walaupun begitu, masing-masing pihak mengaku tidak memaksakan para anggotanya untuk memilih pasangan yang sama dengan ketetapan pengurus pusat. Bila ada anggota yang punya pilihan berbeda, PP dan FBR tidak dapat mengekang.

“Hubungan kami dengan Pak Luthfi baik, dengan anggota pusat [FBR] lain juga baik. Kami bahkan sering ngopi bareng, ngobrol dengan ringan soal kondisi terkini ormas,” klaim Embay.

Rencana untuk mempererat tali hubungan PP dan FBR, menurut Embay dan Luthfi, akan senantiasa dijaga. Bagi keduanya, rivalitas yang terjadi di akar rumput adalah hal lumrah sebab “ormas diisi banyak orang dengan bermacam rupa karakter.” Yang terpenting, jika ada kerusuhan, mereka akan kooperatif dalam mengusut siapa pelaku di baliknya agar dapat diganjar dengan hukuman yang sesuai.

Relasi dan dinamika ormas beserta satuan di dalamnya, termasuk para preman, turut mengalami perubahan tak lama usai Orde Baru kolaps. Jika di era Soeharto eksistensi ormas berada pada satu patronase yang kokoh, berkelindan dengan elite-elite militer, serta difungsikan sebagai bagian dari alat politik yang taktis, maka sekarang tidaklah demikian.

Ketika Indonesia memasuki fase demokrasi, ormas ternyata tetap hidup. Namun mereka bertransformasi menjadi sistem dominasi kewilayahan yang rumit, mengedepankan kesukuan, fokus pada pemberdayaan ekonomi, sekaligus terus menjaga akarnya sebagai alat gebuk politik.

Dengan basis massa yang tetap bejibun di era Reformasi, baik PP maupun FBR tetap memiliki posisi tawar politik. Pemerintah sedikit banyak terus memelihara mereka sekalipun berulang kali terbukti bertindak destruktif. Aparat pun semakin tidak malu-malu memanfaatkan PP dan FBR, sebagaimana tergambar dari kebijakan TNI dan Polri merekrut dua ormas itu untuk mengawasi Pembatasan Sosial Berskala Besar selama pandemi Covid-19 di Ibu Kota.

Artinya, ormas masih imun terhadap transparansi dan tertib hukum yang idealnya muncul ketika Indonesia menjadi lebih demokratis. Status quo itu menurut pengamat membuat ormas senantiasa rentan terlibat bentrok, karena anggotanya sadar mereka justru bagian inheren dari cara para penguasa mengelola negara ini.

“Ormas itu ibarat broker yang menghubungkan elite politik dengan masyarakat lokal,” ungkap Wilson. “Ketika partai tidak bisa meraih dukungan dari level grassroot, maka ormas yang melakukannya.”

*Sebagian identitas narasumber disamarkan dengan nama panggilan akrab mereka


Laporan ini merupakan kolaborasi dengan Tirto.id. Kami menemui puluhan narasumber dari kedua organisasi, selain juga melakukan riset pustaka dan lapangan, untuk mengurai faktor penyebab rivalitas antara ormas Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Betawi Rempug (FBR) di Jakarta.

Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram