Home Uncategorized AI Sudah Bisa Menebak Selera Wajah Seseorang Melalui Gelombang Otak

AI Sudah Bisa Menebak Selera Wajah Seseorang Melalui Gelombang Otak

645
0
ai-sudah-bisa-menebak-selera-wajah-seseorang-melalui-gelombang-otak

Bayangkan jika ada aplikasi kencan yang bisa membantu kalian mencari pacar tanpa harus swipe kanan-kiri. Kalian cukup melihat fotonya, dan aplikasi akan mencocokkan dirimu dengan seseorang sesuai selera. Mungkin kedengarannya terlalu canggih untuk menjadi kenyataan, tapi percaya deh… ini tidak mustahil sama sekali.

Tim peneliti gabungan yang dikomandoi Tuukka Ruotsalo, associate professor Universitas Helsinki, telah mengembangkan kecerdasan buatan (AI) yang dapat menentukan wajah mana saja yang menurut kalian atraktif melalui gelombang otak. Bersama ilmuwan Universitas Copenhagen, tim Ruotsalo menerbitkan hasil penelitian dalam jurnal IEEE Transactions on Affective Computing pada Februari.

Mereka menggunakan electroencephalography (EEG) untuk memantau aktivitas gelombang otak 30 sukarelawan ketika diperlihatkan gambar yang merupakan gabungan dari 200.000 foto selebritas. Peneliti lalu mencatat respons gelombang otak responden.

“Cara kerjanya kurang lebih seperti Tinder. Peserta ‘swipe kanan’ saat melihat wajah atraktif,” ujar Michiel Spapé, peneliti senior Psikologi dan Logopedi Universitas Helsinki, dalam sebuah pernyataan. “Tapi di sini, mereka cuma melihat gambar saja. Kami mengukur respons otak langsung mereka terhadap gambar-gambar itu.”

Itu berarti peneliti bisa menebak selera fisik peserta berdasarkan data EEG. Mereka kemudian menganalisisnya dengan teknik machine learning yang menghasilkan jaringan saraf.

Data tersebut lalu dimasukkan ke dalam AI untuk menciptakan gambar baru berdasarkan preferensi. Jaringan adversarial generatif (GAN) digunakan untuk menghasilkan foto-fotonya.

Peneliti memperlihatkan satu per satu foto baru ke setiap peserta, dengan asumsi mereka akan menganggapnya menarik. Hasilnya 80 persen akurat.

“Antarmuka otak-komputer semacam ini mampu menafsirkan pandangan orang tentang daya tarik berbagai gambar. Dengan menafsirkan pandangan mereka, model AI yang menerjemahkan respons otak dan jaringan generatif yang memodelkan gambar wajah dapat bersama-sama menghasilkan gambar baru dengan menggabungkan hal-hal yang dianggap menarik,” terang Ruotsalo.

Peneliti yakin teknik ini juga bisa digunakan untuk mempelajari sikap dan preferensi tak sadar seseorang terhadap ras dan etnis tertentu. Bukan tidak mungkin komputer dapat memahami preferensi manusia di masa depan. “Jika AI bisa menebak hal personal dan subjektif seperti daya tarik, kita mungkin juga dapat mempelajari fungsi kognitif lain seperti persepsi dan pengambilan keputusan. Siapa tahu saja perangkatnya dapat diarahkan untuk mengidentifikasi stereotip atau bias manusia yang tersirat, dan lebih memahami perbedaan individu,” Spapé menjelaskan.

Dia mengungkapkan bahwa pada model-model sebelumnya, orang cenderung tertarik dengan model berambut pirang dan tersenyum. Dalam sebuah video YouTube, peneliti memperlihatkan foto-foto yang dihasilkan secara individual hanya menampilkan orang kulit putih.

Kontes kecantikan pada 2016 menggunakan kecerdasan buatan sebagai juri. Acara itu diikuti oleh 600.000 peserta dari seluruh dunia — India, Tiongkok, Afrika dan Amerika Serikat — tapi hampir semua pemenangnya berkulit putih. Tiga algoritme memilih pemenang berdasarkan kesimetrisan wajah, kerutan dan seberapa muda atau tua wajah peserta. Meski algoritme ini tidak menilai warna kulit, hasilnya justru condong ke peserta kulit putih. Dari 44 orang yang dianggap “paling cakep” oleh algoritme, hanya ada enam orang Asia dan satu peserta berkulit gelap yang masuk ke dalam daftar. Hal ini bisa terjadi karena AI dilatih menggunakan database yang kurang beragam, baik orang-orang yang ditampilkan maupun pendapatnya.

AI dalam studi terbaru dilatih berdasarkan preferensi pribadi, yang hasilnya semakin suram. Tanpa kita sadari, standar kecantikan Eurosentris tampaknya telah berakar kuat dalam pikiran manusia.

“Daya tarik adalah subjek yang begitu menantang, karena dikaitkan dengan faktor budaya dan psikologis yang secara tanpa sadar memengaruhi selera pribadi kita,” kata Spapé di akhir pernyataan. “Sulit sekali menjelaskan apa sebenarnya yang membuat sesuatu atau seseorang menarik. Karena balik lagi, setiap orang punya selera yang berbeda-beda.”

Follow Jaishree di Twitter dan Instagram.