Home Uncategorized Alasan Moratorium Sawit Musti Diperpanjang: Kisah Warga & Orangutan Terhimpit Sawit

Alasan Moratorium Sawit Musti Diperpanjang: Kisah Warga & Orangutan Terhimpit Sawit

417
0
alasan-moratorium-sawit-musti-diperpanjang:-kisah-warga-&-orangutan-terhimpit-sawit

Jumiati mengarahkan jari telunjuk ke jalan setapak yang membelah deretan rumah di desanya. “Di situ, dulu kami menanam padi ladang, besar-besar dan lebih tinggi dari padi di Jawa,” ujar perempuan 54 tahun itu. Jumiati adalah warga Desa Sekonyer, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

“Di situ” yang ia maksud adalah sepetak lahan di ujung jalan desa yang kini diisi larik-larik rapi pohon kelapa sawit, berjarak 500 meter dari rumahnya. Jumiati melanjutkan, “Orang di sini dulu petani, baru sekarang-sekarang ini saja  kerja di sawit atau yayasan [taman nasional].” 

Desa Sekonyer adalah satu-satunya permukiman penduduk yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di sisi selatan dan lahan perkebunan sawit di sisi utara, persis berada di tengah. Separuh warga desa bekerja sebagai buruh kebun sawit, separuh lainnya memilih bekerja di Taman Nasional, termasuk suami Jumiati yang telah puluhan tahun jadi ranger orangutan di sana.

Sebelum pandemi, Jumiati biasa berjualan cinderamata orangutan di teras rumahnya yang hanya berarak 15 meter dari dermaga gerbang desa. Turis sering mampir. Dermaga desa Sekonyer berseberangan langsung dengan dermaga Tanjung Harapan, satu dari tiga pusat konservasi orangutan dan feeding spot yang jadi jujukan utama wisata Taman Nasional. Sungai Sekonyer selebar delapan meter yang membelah area itu, menjadi satu-satunya batas alam pemisah antara kawasan TNTP dan zona luar, seperti desa ini dan kebun sawit.

Tinggal di Desa Sekonyer membuat Jumiati akrab dengan orangutan, sekaligus musuh utama hewan dilindungi itu, yaitu sawit. Sebagai ibu rumah tangga, urusan pangan tiap hari menjadi tanggung jawabnya. 

Ia bercerita, dulu kakek-neneknya masih mengandalkan hutan untuk sebagian besar bahan pangan. Kini, Jumiati dan seluruh ibu-ibu di desa Sekonyer hanya mengandalkan distribusi bahan makanan dari Ibu Kota Kecamatan Kumai. 

Sayur mayur, misalnya, saban hari Jumiati harus menunggu penjual langganan dan membeli apa saja yang ia bawa. Membeli apa saja karena penjual hanya membawa satu tas belanja, bukan gerobak.

Seperti siang itu, saat VICE berkunjung, tukang sayur langganan Jumiati datang dan mengeluarkan tiga unting kacang panjang dan seonggok mentimun berukuran kecil. Jumiati mengambil kacang panjang, “Sudah dua hari masak ketimun terus, kasian suami,” bisiknya. “Kalau speed (boat) macet atau tukang sayur enggak datang, ya beli mie instan sama telor, itu saja.”

Keadaan ini berbeda dengan pengalamannya 20-30 tahun lalu saat masih bisa menanam padi, umbi-umbian atau gembili di hutan. “Dulu sering ambil sayur dari hutan, seperti pucuk manggala atau pucuk lembiding [sejenis pakis-red]. Kadang ada yang berduri, tapi bisa dimakan. Dioseng pakai cabai, enak,” tutur Jumiati. 

Jumiati di dapur rumahnya di desa Sekonyer (VICE_TitahAW).JPG

Jumiati di dapur rumahnya di desa Sekonyer. Foto oleh Titah AW/VICE

Kebiasaan Jumiati kini tak bisa lagi ia lakukan, sebab tanaman-tanaman itu sudha jarang ditemukan di sekitar tempat tinggalnya. Berbagai buah hutan seperti buah merang, nyatu, jayau, dan kratungan yang dulu melimpah tiap musim juga hanya bisa didapat di bagian dalam hutan. “Sekarang susah cari, habis dimakan orangutan duluan,” ujarnya.

Hal ini sebetulnya cuilan efek ketika kawasan taman nasional menyusut tiap tahun. Kepala Balai Taman Nasional Tanjung Puting, Murlan Dameria Pane, mengungkapkan sebelumnya total luas TNTP mencapai 415.040 hektar, kini sudah berkurang menjadi 411.410 hektar. 

Penyusutan luas taman nasional, kata dia, karena penataan ulang atas batas fungsi kawasan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XXI Palangka Raya pada 16 Juli 2019. Selain disebabkan pengaturan batas ini, perambahan hutan oleh pembukaan kebun sawit maupun tambang emas ilegal oleh masyarakat turut jadi momok. 

Pada 2015 misalnya, kebakaran hutan yang menghanguskan 40 ribu hektar lahan di TNTP diduga berasal dari areal perkebunan kelapa sawit yang berbatasan langsung dengan taman nasional. Dugaan ini disampaikan Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Tanjung Puting Wilayah III, Ikhsan Kamil.

Padahal dari luasan tersebut, hanya 83 ribu hektar saja yang bisa jadi ekosistem orangutan. Dengan jumlah populasi orangutan di TNTP yang saat ini mencapai 1.200 ekor, secara matematis luasan hutan taman nasional tidak cukup. Pasalnya, satu ekor orang hutan punya daerah jelajah kurang lebih 5 kilometer persegi tiap hari. 

Sementara kawasan hutan dan TNTP terus menyusut karena lahan makin berkurang, perambahan kebun sawit di Kalimantan Tengah nampak makin subur. Mengutip data Madani Berkelanjutan, sejak 2009-2019 rata-rata deforestasi pada jarak radius 10 kilometer area sekitar taman nasional mencapai 1.834 hektar per tahun.

IMG_8616.JPG

Sungai Sekonyer selebar delapan meter jadi batas alam antara kawasan TNTP dan zona luar yang terdiri dari hutan, pemukiman, dan kebun sawit. Foto oleh Agus Pece/Kalteng Pos

Praktis, kawasan hutan TNTP yang menjadi pusat konservasi orangutan terbesar di dunia dan juga berfungsi sebagai penyangga utama ekosistem, telah dikepung perkebunan sawit. 

Tak heran jika semakin sering muncul peristiwa orangutan masuk hingga area pemukiman warga atau kebun sawit. Sebab batas area atau buffer zone TNTP dan kawasan luar menjadi sangat minim. Tiga tahun terakhir, sudah ada 57 misi penyelamatan orangutan yang dilakukan Seksi Konservasi Wilayah (SKW) II Pangkalan Bun, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah.

Kejadian ini sering disebut konflik, sebab orangutan yang masuk ke kebun sawit otomatis dianggap sebagai hama. Padahal, menurut Jumiati, tak mungkin binatang itu masuk permukiman jika tak kelaparan. Dan tak mungkin mereka kelaparan jika hutan masih bagus. Di sekitar rumahnya sendiri, Jumiati pun kerap bertemu orangutan meski hanya sekelebat. “Paling-paling cari buah,” ucapnya santai.

Awal 2000, Jumiati sempat bekerja di pusat konservasi Camp Leakey sebagai staf dapur. Bekerja dan tinggal di hutan selama delapan tahun membuat dia yakin hutan adalah kebun pangan liar. Selain itu hutan juga membuat dirinya akrab dengan orangutan, atau bekantan yang jamak ditemui taman nasioanal. 

“Tahu Princess? Dia dulu kalau sudah pegang tangan saya, artinya lapar. Dulu rajanya Kosasih, sekarang kalau nggak salah si Tom ya?,” tutur Jumiati menceritakan orangutan seperti kawan sendiri. “Nakal itu si Tom, saya pernah dikejar.” 

Kebun sawit merupakan ancaman paling besar bagi populasi orangutan di TNTP, sekaligus momok keberlangsungan hutan Kalimantan secara umum. Meski digadang-gadang sebagai salah satu sumber pendapatan ekonomi strategis, tata kelolanya masih carut marut. Di level birokrasi, sengkarut perizinan sawit membuat pendapatan nasional dan daerah jomplang.

Yayasan Madani mencatat, terdapat 11,9 juta izin sawit belum ditanam dan 8,4 juta tutupan sawit yang belum terdata izinnya. Masih berdasarkan data tersebut, tercatat ada 16 perusahaan sawit yang lokasi kebunnya berada dekat TNTP dan desa Sekonyer.

Selain perizinan, masih banyak yang perlu dibenahi agar petani dan daerah menjadi sejahtera, antara lain perkebunan tanpa izin, legalitas lahan dan kebun petani. Selain itu, subsidi tak tepat sasaran, prioritas anggaran bagi kesejahteraan petani minim, hingga alokasi anggaran pusat-daerah belum adil.

Pekerja di kebun sawit sebelah desa Sekonyer (Kalteng Pos_Agus Pece).JPG

Pekerja di kebun sawit sebelah desa Sekonyer. Foto oleh Agus Pece/Kalteng Pos

Di level akar rumput, Jumiati merasakan sendiri, adanya sawit tak serta merta membuat hidup, atau lingkungannya lebih baik. Meski telah belasan tahun hidup bersanding dengan kebun sawit, jalan di desanya masih tetap berdebu, akses distribusi pangan dan kebutuhan lain tetap minim, bahkan malam tetap gulita sebab listrik pun belum masuk desanya. Empat anak Jumiati tak ia izinkan bekerja di kebun sawit. Ia lebih suka mereka masuk hutan. 

Harapan perbaikan tata kelola sawit muncul pada 2018. Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, atau disebut Moratorium Sawit.

Keputusan presiden ini bisa jadi instrumen kunci untuk perbaikan tata kelola sawit menuju industri berkelanjutan dan berkadilan. Sayangnya beleid ini akan berakhir pada 19 September 2021. 

Berbagai kalangan menyerukan perlunya perpanjangan masa berlaku Moratorium Sawit ini. Koalisi Moratorium Sawit dalam siaran pers pada 6 Juli 2021, menyatakan perpanjangan moratorium sawit perlu dilakukan untuk menyerap permintaan pasar internasional minyak sawit (CPO) mentah berkelanjutan dari Indonesia. 

Program Officer Tata Kelola Sawit Madani Berkelanjutan Trias Fetra, menyatakan moratorium perlu diperpanjang, bahkan dinaikkan statusnya jadi peraturan presiden atau peraturan pemerintah. Hal ini penting agar semua pihak punya waktu untuk berbenah dengan aturan yang mengikat diikuti dengan target capaian yang jelas.

GettyImages-474933349.jpg

Foto udara ini diambil pada 24 Februari 2014, menunjukkan kawasan hutan di Kotawaringin Timur dibabat untuk konsesi sawit. Praktik macam ini mempersempit habitat orangutan. Foto olah Bay Ismoyo/AFP

Di kawasan TNTP sendiri, diharapkan moratorium bisa memperbaiki tata kelola sawit dan meminimalisir ancaman lain seperti aktivitas penambangan liar atau pembukaan lahan ilegal oleh warga maupun perusahaan. Pada 2015, sekitar 16 ribu hektar hutan di taman nasional terbakar, disusul 239 hektar pada 2019. 

Puluhan tahun tinggal di tepi hutan, tak ada yang ditakutkan Jumiati, kecuali kebakaran hutan. Ketakutan yang barangkali juga jadi momok bagi orangutan–selain kerakusan manusia tentunya. “Hantu hutan bisa ditolak, hewan bisa dihalau, tapi kalau manusia, kan licik,” ujarnya sambil menyapu lantai, seluruh dinding rumahnya terbuat dari kayu.

Deforestasi untuk tujuan apapun, harus ditebus dengan kerugian ekologi yang amat tinggi, terutama bagi warga yang tinggal di sekitar hutan. Udin Sohe, salah satu staf TNTP, yang mewarisi pengetahuan soal tanaman hutan dari ayahnya meyakini hal ini. “Setiap tanaman di hutan itu ada fungsinya, kalau kita tahu cara merawat dan mengolahnya semua bisa jadi obat,” ujarnya ditemui VICE di pos jaganya di Tanjung Harapan.



Dia mengatakan ayahnya seorang asli Dayak bisa membedakan sekitar 280 jenis tanaman hutan yang bisa dimakan atau dijadikan obat. “Orang dulu aneh memang, ayah saya dapat pengetahuannya dari mimpi. Ada itu jenis rumput seperti ilalang, kalau dimakan bisa menetralisir keracunan. Banyak itu di dalam hutan sana jenisnya,” ujarnya. Udin sendiri tiap hari masuk keluar hutan mempelajari tanaman-tanaman ini.

Saat ini Jumiati tengah menyulap sepetak mungil tanah di halamannya untuk kebun. Ia menanam beberapa jenis sayur dan empon-empon seperti kangkung, jahe, sereh, cabe, lengkuas, jeruk purut, dan lainnya. Di depan rumahnya juga tertata berbagai bunga hutan yang dibawa pulang suaminya dari tempatnya bekerja. 

Jumiati duduk di teras rumahnya, di depannya adalah kebun mungil miliknya yang berisi sayur dan bermacam empon-empon untuk bumbu memasak (VICE_TitahAW) (1).JPG

Jumiati duduk di teras rumahnya, di depannya adalah kebun mungil miliknya yang berisi sayur dan bermacam empon-empon untuk bumbu memasak. Foto oleh Titah AW/VICE

Meski tak bisa memenuhi kebutuhan pangannya, Jumiati berharap kebun mungilnya ini dapat membuat masakannya lebih enak. Barangkali ini siasat yang bisa dilakukan Jumiati untuk menikmati hidupnya di Desa Sekonyer.

Jumiati, dan barangkali seluruh orangutan dan penghuni hutan TNTP memang masih tinggal di sana, tapi nasib mereka seolah justru ada di tangan para petinggi negeri yang bahkan ke hutan saja mungkin belum pernah. Moratorium sawit adalah harapan yang patut diperpanjang, agar suatu hari tak ada dari kita yang merasakan petuah lawas ini jadi nyata:

“Ketika pohon terakhir sudah kita tebang, ketika sungai terakhir sudah tercemar dan ketika ikan yang terakhir sudah ditangkap,pada saat itu kita baru akan sadar bahwa uang tak bisa kita makan.”


*Liputan ini adalah hasil kerjasama VICE Indonesia dengan TEMPO dan Yayasan Madani Berkelanjutan

Titah AW adalah jurnalis lepas yang bermukim di Yogyakarta. Follow dia di Instagram