Home Uncategorized Beginilah Kesanku Pernah Satu Sekolah Bareng Anak-Anak Konglomerat

Beginilah Kesanku Pernah Satu Sekolah Bareng Anak-Anak Konglomerat

566
0
beginilah-kesanku-pernah-satu-sekolah-bareng-anak-anak-konglomerat

Saya belum bisa melupakan hari pertamaku masuk sekolah dulu. Helikopter mendarat di halaman stadion, mengantarkan anak seorang produser film terkenal di Prancis. Tak ada satu pun yang tercengang melihat kedatangannya. Seolah-olah berangkat sekolah naik helikopter adalah hal paling normal di dunia. Beberapa saat kemudian, putra pengusaha hotel asal Turki turun dari mobil Hummer kuning yang berhenti di pekarangan sekolah.

Sebagai murid baru yang datang dari desa, saya terperangah menyaksikan kekayaan yang dipamerkan secara terang-terangan itu. Renault Clio milik ibu sungguh tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kendaraan mewah mereka.

Saya awalnya bersekolah di SMP negeri, tapi hanya bertahan satu tahun karena menjadi korban perundungan. Orang tua akhirnya memindahkan saya ke École des Roches dengan alasan mencari pendidikan yang lebih berkualitas. Hanya anak orang kaya yang bisa masuk sekolah asrama ini. Tak mengherankan, tentunya, jika melihat betapa mahal biaya SPP tahunan yang dipatok sekolah — sebesar 20.000 Euro atau setara Rp344 juta. Karena itu jugalah École des Roches dijuluki sebagai sekolah termahal di Prancis.

Keluargaku memang berasal dari kelas menengah ke atas, tapi itu pun bukan angka yang murah bagi kami.

Foto bersama siswa sekolah École des Roches dengan spanduk bergambar lambang asrama Les Pins.

Foto bersama siswa sekolah École des Roches dengan spanduk bergambar lambang asrama Les Pins.

Selama satu semester pertama, saya benar-benar merasa asing dengan suasana di sana. Semuanya tampak mengesankan: gedung tua, pemandangan desa Normandia yang indah, dan asrama para murid. Tempat tinggal kami memiliki lambang dan namanya masing-masing. Bangunan sekolah berdiri di atas lahan seluas 60 hektar, sehingga beberapa dari kami harus naik bus untuk masuk kelas. Fasilitasnya pun sangat lengkap. Ada lapangan tenis, kolam renang, gedung teater, dan trek gokart. Ingin berkuda dan mengikuti kelas penerbangan juga bisa.

Saya merasakan langsung bagaimana menjadi siswa di sekolah mewah dan elit. Ketika berkenalan dengan orang baru, hal pertama yang ditanyakan bukanlah “siapa namamu?” tapi “lo anak siapa?” Anak-anak tajir dari seluruh penjuru dunia mendaftar ke École des Roches untuk belajar budaya Prancis. Mereka berbicara dalam berbagai bahasa, dari bahasa Mandarin, Arab sampai Rusia. Interaksi antarbudaya menjadi poin plus bagi sekolah ini.

Layaknya anak-anak lain yang pekerjaan orang tuanya tidak menarik, saya mengarang cerita palsu tentang keluarga. Saya mengaku sebagai anak fashion designer terkemuka di Prancis. Padahal, ayahku pengusaha biasa dan ibu seorang dokter. Murid kelas menengah akan membuat kebohongan yang lebih besar supaya tidak diremehkan.

Lama-kelamaan saya terbiasa dengan kehidupan glamor. Saya jadi tahu merek baju mahal, serta nama-nama resor ski dan kafe fancy. Ketika saya berada di kelas delapan, putra diktator Afrika yang tinggal satu asrama denganku mendadak hilang. Rupanya negara asal anak itu sedang mengalami kudeta. Berita tentang pembantaian massal yang terjadi di sana disiarkan di televisi. Kami semua menontonnya. Setahun kemudian, semakin banyak murid yang datang dari negara ini. Mereka sibuk menyeret koper Louis Vuitton.

“J’agis aujord’hui pour mon avenir” berarti “Saya sedang membangun masa depan”.

“J’agis aujord’hui pour mon avenir” berarti “Saya sedang membangun masa depan”.

Kami sudah biasa melihat uang bergelimpangan. Suatu malam, kepala asrama mengumpulkan semua penghuni setelah menemukan segepok uang tunai senilai ribuan Euro. Saya tidak kaget sama sekali ketika mendengarnya dulu. Tapi seiring berjalannya waktu, saya jengkel menyaksikan anak-anak yang memamerkan kekayaan mereka. Pertemanan dan percintaan kami ditentukan oleh uang. Mereka menarik label bajumu dengan sesuka hati dan mengecek mereknya apa. Jangan harap bisa berteman kalau kalian tidak setajir mereka.

Tiga tahun saya berada dalam gelembung itu. Saya memahami sebagian besar anak-anak ini dimasukkan ke sekolah asrama karena orang tua mereka terlalu sibuk dengan dunianya, sehingga tidak bisa mengurus anak sendiri. Temanku, misalnya, menghabiskan liburan bersama keluarga angkat, bukan keluarganya sendiri.

Anak orang kaya tak jauh berbeda dengan anak dari keluarga miskin. Beberapa punya orang tua yang tidak peduli dengan mereka, sementara lainnya mengalami ketergantungan narkoba atau depresi. Hanya saja, mereka jauh lebih beruntung. Rekening tabungan mereka tidak pernah kosong. Waktu itu saya masih kelas delapan, tapi teman-temanku pernah hampir overdosis antidepresan. Petugas sekolah baru mengetahui masalah ini setelah seorang murid pingsan di kelas. Nyawa anak itu mungkin akan melayang jika perutnya tidak segera dipompa.

Lebih menyedihkannya lagi, seorang siswi koma gara-gara mabuk minuman keras.

Kebanyakan murid pulang ke rumah masing-masing pada akhir pekan, dan balik lagi ke asrama naik bus pada Minggu malam. Suasananya cukup suram. Mereka diam saja, dan raut wajahnya kusut.

Kolase foto yang diambil saat pekan budaya dan olahraga di École des Roches.

Kolase foto yang diambil saat pekan budaya dan olahraga di École des Roches.

Saking bosannya di asrama, kami tak pernah kehabisan akal untuk melanggar peraturan sekolah yang absurd. Salah satu temanku jago boker dari jendela kamar, dan hobi menulis namanya di tembok menggunakan kotorannya sendiri. Asal tahu saja, dia mengambil pup dengan hati-hati.

Meskipun begitu, saya masih punya kenangan indah, kok. Contohnya kayak ciuman pertama di lapangan sekolah, atau merokok di loteng asrama saat tengah malam.

Dikelilingi kekayaan sejak dini sangat memengaruhi pola pikirmu, tapi bukan dengan cara yang positif. Tak ada satu pun dari kami yang pernah kesulitan ekonomi, sehingga saya mengira uang tidak ada artinya. Kalian merasa miskin kalau tidak punya sepatu Gucci, tanpa menyadari harganya setara dengan gaji bulanan orang biasa.

Alhasil, saya tidak mampu menghadapi dunia luar yang sangat berbeda. Teman satu sekolah kini memiliki jalan hidup mereka masing-masing. Si A jadi tentara Israel, dan si B jadi pemilik resor mewah berkat bantuan orang tua (alias pakai uang mereka). Untungnya hidupku sekarang juga baik-baik saja.

Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman ini, saya tak akan pernah tertarik menyekolahkan anak di École des Roches — tidak peduli seberapa kayanya saya nanti.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.