Hasil tersebut diungkap survei kesopanan digital Digital Civility Index (DCI) 2020 yang dirilis perusahaan perangkat lunak Microsoft bulan ini. Survei diselenggarakan tahun lalu dengan tujuan mempromosikan interaksi daring yang lebih aman, sehat, dan saling menghormati ini. Sebanyak 16 ribu responden dari 32 negara dilibatkan, yang pada akhirnya tiap negara bakal diberi skor. Semakin rendah nilainya semakin baik pula kesopanan netizen setempat, demikian pula sebaliknya.
Dari sembilan negara di wilayah Asia-Pasifik yang diteliti, Indonesia dapat skor paling bontot sebesar 76, melorot 8 poin dari survei serupa pada 2019. Di atas Indonesia, berturut-turut adalah Singapura (59), Taiwan (61), Australia (52), Malaysia (63), Filipina (66), India (68), Thailand (69), dan Vietnam (72).
Survei membagi 503 responden asal Indonesia dalam dua kelompok remaja (13-17 tahun) dan dewasa (18-74 tahun). Mereka kemudian diminta menjawab pertanyaan mengenai 21 risiko dunia maya dari empat kategori, yakni perilaku, seksual, reputasi, dan personal.
Untuk mendefinisikan kesopanan online, DCI nyusun empat hal yang dianggap enggak sopan. Keempat hal ini disebut sebagai risiko di dunia maya. Risiko pertama adalah kontak yang tidak diinginkan. Kedua, perundungan, pelecehan, dan kekerasan online. Ketiga, ajakan berhubungan dan kontak seksual tanpa consent. Keempat, serangan pada reputasi.
Nah, biar skor kesopanannya makin bagus alias agar internet makin sehat dan aman buat semua orang, ada empat kebiasaan yang disarankan DCI buat dilakukan. Pertama, berani menyatakan pendapat pribadi. Kedua, mau mengambil jeda sebelum ngebales komen. Ketiga, menghormati sudut pandang orang lain. Terakhir, mau memperlakukan orang lain dengan hormat.
Beberapa wawasan perilaku netizen Indonesia yang bisa dirangkum dari DCI 2020 adalah sebagai berikut.
Pertama, turunnya skor Indonesia dibanding 2019 disumbang sepenuhnya oleh kelompok dewasa. Sebanyak 83 persen kelompok ini menjadi pelaku maupun korban ketidaksopanan online, naik 16 persen dari tahun lalu. Sedangkan kelompok remaja ajek di 68 persen.
Kedua, dari empat kategori ketidaksopanan/risiko di dunia maya. Responden menilai sebagian berkurang intensitasnya, tapi sebagian lain naik. Adalah kategori kontak yang tak diinginkan dan duet perundungan-pelecehan yang dinilai makin marak. Sedangkan risiko kontak seksual dan perusakan reputasi dianggap menurun. Hal tidak menyenangkan lain yang dinilai marak adalah hoaks, penipuan, dan penggelapan. Sedangkan diskriminasi dinilai berkurang.
Seberapa banyak orang yang pernah merundung di dunia maya? Separuh responden! Sedangkan seperlimanya mengaku pernah jadi target. Dari segi generasi, Mileniallah yang lebih sering nge-bully (54 persen), disusul Gen Z (47 persen), Gen X (39 persen), dan Generasi Boomer (18 persen). Menurut korban, tiga cara andalan menghadapi bullying ialah dengan ngeblok, cerita ke teman, dan cuek aja.
Ketiga, sebanyak 24 persen responden pernah mengalami risiko online dari pihak anonim. Sedangkan 48 persen lain menerimanya dari orang asing. Keempat, 4 dari 10 remaja merasa kesopanan online membaik selama pandemi karena mereka melihat orang-orang saling menolong dan menunjukkan kepedulian pada sesama. Tapi tak semua responden seoptimitis itu karena 17 persen peserta survei justru bilang pandemi bikin dunia maya makin nyebelin gara-gara berita palsu, informasi menyesatkan, dan orang egois bermunculan.
Keempat, hal yang paling diinginkan responden di dunia maya berturut-turut dari yang tertinggi: (1) kesopanan, (2) rasa hormat, (3) empati, (4) kebaikan hati, dan (5) kebebasan.
Kelima, tak mengejutkan mengetahui responden menaruh harapan perubahan terbesar mereka justru kepada media sosial (59 persen). Baru setelah itu tumpuan harapan diberikan kepada media (54 persen), pemerintah (48 persen), lembaga pendidikan (46 persen), dan yang paling bontot institusi keagamaan (41 persen).
Walau nilai Indonesia jeblok banget, secara global indeks kesopanan di dunia digital membaik kok. Ini karena sumbangan skor dari wilayah Amerika Latin yang bagus, membuat rerata keseluruhannya jadi lebih bagus juga dibanding kondisi 2019.
Dari segi peringkat, sepanjang 2020 netizen paling sopan datang dari Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Singapura, dan Taiwan. Hal positif lain dari internet 2020: anak muda jadi pemimpin perbaikan kondisi sosial di internet, anak muda ngerasa dunia digital membaik, terus 1 dari 4 di seluruh dunia ngerasa kesopanan online makin bagus selama pandemi. Tapi hal jelek tetap ada, kayak risiko ujaran kebencian dan pengotak-ngotakan naik, sama 4 dari 10 remaja pernah nge-bully, dan 1 dari 4 Milenial yang justru ngerasa internet selama pandemi itu lebih negatif.
Yang bikin berkaca-kaca dari laporan ini, survei nyatet kalau secara global, Gen X alias bapak-ibu kita adalah kelompok yang paling ngerasa negatif di kantor. Mereka mengaku sering di-bully, dipermalukan, didemotivasi, merasa enggak produktif, dan ucapannya sering dipotong oleh rekan kerja. Gara-gara itu mereka jadi sering cemas dan mengalami serangan panik. Ya ampuuun 🙁