Rupanya ada orang yang menganggap jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 bisa dijadikan ladang komedi. “Pesawat Sriwijaya Air hilang kontak pasti pilotnya kang ghosting nih,” tulis akun Twitter @milkitasoklat. Sungguh sebuah akun hebat yang dikelola sosok caper luar biasa. Akun macam ini adalah kandidat keajaiban dunia nomor delapan, karena membuktikan ada spesies netizen yang punya jari untuk ngetwit tapi tidak punya kepala buat berpikir.
Sementara untuk calon keajaiban dunia nomor sembilan, rupanya twit modelan begini bukan cuma satu-dua. Netizen sudah mendokumentasikan twit-twit lain yang trying hard untuk bikin orang ketawa dengan mengeksploitasi tragedy SJ 182. Alih-alih ketawa, yang ada kita malah kasihan. Orang caper kok segitunya….
Karena saya bukan Coki Pardede ataupun barisan fans beratnya, adalah hal alamiah jika saya mengherankan orang-orang sanggup menjadikan tragedi yang masih segar sebagai lelucon. Ada orang mati saja sudah mengerikan, apalagi ketika kematian itu massal sekaligus dibalut insiden kecelakaan pesawat terbang.
Saya pernah merasakan naik pesawat yang mengalami turbulensi karena cuaca buruk. Bahkan mengingatnya saja bisa membuat jari-jari saya nyeri dan telapak tangan mendingin. Sementara ini, ada 62 orang yang nyaris bisa diharapkan masih hidup setelah pesawat mereka bergerak bak kilat menghantam permukaan laut. Dan masih ada orang yang sanggup menertawakannya….
Mengapa ada orang yang bisa tak punya perasaan seperti itu? Komedian Inggris Ricky Gervais bilang humor membantu kita mengarungi kesialan hidup. Alasan itu masuk akal untuk menjelaskan perilaku teman saya yang beberapa tahun setelah ayahnya meninggal, pernah minta santunan zakat dari saya.
“Heh, ngapain?”
“Dalam sebagian hartamu ada hak anak yatim!” katanya disusul tawa.
Atau ia juga cocok menjelaskan mengapa penulis Agus Mulyadi bisa santai menuturkan kemiskinan masa kecilnya lewat tanya jawab jenaka. “Pernah suatu ketika, saya bertanya kepada bapak saya, ‘Pak, apakah bapak bisa bertahan hidup selama seminggu dengan uang lima ratus rupiah?’” tulis Agus yang sedang menerangkan seni diplomasi.
“Ia menjawab mantap: Bisa. Ketika saya tanya, bagaimana caranya, sungguh, jawaban dia tak kalah taktis daripada jawaban pak Benny Murdani. ‘Lima ratus tak [aku] belikan aqua gelas. Airnya tak minum, trus gelasnya buat ngemis.’”
Tapi saya tak sudi memakai kutipan Gervais, orangnya memang amat kocak sekalipun brengsek dan rutin memakai taktik komedi gelap, untuk menjelaskan jenis humor yang menyamakan pilot pesawat nahas dengan tukang ghosting. Saya kira dua contoh cerita zakat dan ngemis di atas sudah menunjukkan jelas, humor gelap bisa lucu karena dua syarat. Pertama, materinya emang lucu. Kedua, lelucon itu idealnya dituturkan pelakunya sendiri.
Saya merasa berhak tertawa karena Agus sudah bisa menertawai bapaknya yang menjadikan ngemis sebagai exit plan. Saya baru bisa tertawa jika teman saya sudah duluan menertawai keyatimannya. Di luar skema itu, semisal hanya saya yang menertawakan mereka, sudah jelas namanya bukan humor. Itu sudah nyerempet ngatain nasib buruk orang lain.
Mungkin orang perlu senantiasa diingatkan bahwa melucu dengan topik harmless saja sulit. Apalagi melucu soal tragedi holocaust dan kekejian Nazi. Saya bahkan setuju jika melucu dijadikan salah satu cabang seni, karena untuk membuat orang tertawa, seorang pelawak butuh selera humor yang baik, wawasan luas, dan keterampilan orasi luwes. Kamu ga bisa begitu saja mengambil dua baris joke (gelap) orang, mengganti objeknya dengan hal lain, lalu serta-merta berharap hasilnya lucu.
Saya kira kemunculan humor sampah, termasuk yang muncul di sekitar kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 baiknya kita jadikan momentum muhasabah bagi semua penggemar dark joke yang sering menjadi barisan pembela guyonan kontroversial. Sekiranya ada empat hal perlu dicatat baik-baik oleh para jamaah humor gelap tiap berdiskusi, terutama bila mereka merasa segala sesuatu layak di-dark joke-in.
Satu, semua orang tak bisa selalu lucu dan kalau ini bukan profesimu, ga perlu berusaha keras lucu. Dua, pemaknaan dark joke tidak pernah simpel seperti definisi yang diumbar tiap kali ada pembelaan buat humor kontroversial. Tiga, semua orang bebas berekspresi, termasuk orang caper dengan guyonan buruk dan tanpa empati, sampai mengundang kecaman netizen. Tidak ada represi di sini kalau pada akhirnya muncul kritik dan ketidaksukaan. (Disclaimer: VICE sendiri pernah menayangkan opini mendukung humor Tretan dan Coki dengan konteks demi memperluas batas kebebasan berekspresi di Indonesia, sekaligus melawan kecenderungan sensor).
Bila kalian ngotot dark joke dengan tema menertawakan kemiskinan anak busung lapar di Benua Afrika adalah selera humor yang cocok buat kalian, monggo. Tapi sah-sah saja dalam jagat pertukaran wacana, bila ada yang kontra pada pendapat macam itu. Empat, kalau kamu berpikir sering nonton MLI bikin kamu senantiasa lebih cerdas dan jadi orang paling humoris sedunia, kamu sebaiknya meyakini dinosaurus masih berkeliaran di dalam hutan sana.
Jujur saja, kalau sampai ada yang masih memakai alasan dark joke sebagai tameng untuk mencandai kesakitan orang lain, itu masuk taraf memuakkan. Saya sepakat, dark joke adalah seni yang kerap dipakai orang-orang kalah untuk tetap sanggup bertahan. Saya menghormati itu.
Tapi apabila dark joke di sini dimaknai kesiapan untuk selalu menertawakan tragedi orang lain dari jarak yang aman dan tanpa ikatan emosional apapun, saya tidak keberatan humor jenis ini masuk ke tong sampah saja.
Mahisa Cempaka adalah penulis lepas yang tinggal di Yogyakarta.