Sekali lagi, 12 bulan kembali berlalu begitu saja. VICE tanpa terasa sudah empat tahun menemani pembaca di Indonesia. Banyak dari kalian mungkin ingin memori 2020 cepat-cepat berlalu. Terlalu banyak anomali, disrupsi, dan rentetan peristiwa memilukan yang membuat kesehatan mental kita menurun. Pemerintah saja mengakui, tingginya potensi angka depresi anak muda untuk tahun ini.
Bencana iklim menyambut kita di awal tahun lewat banjir di berbagai kota. Disusul kemungkinan pecahnya perang dunia III akibat konflik Iran-Amerika Serikat. Masa depan sudah nampak suram di awal tahun, sampai kemudian rekan VICE News, di New York, menerbitkan artikel pendek mengenai munculnya “virus misterius dengan gejala mirip pneumonia di Wuhan, Tiongkok” pada 6 Januari 2020. Tak sampai tiga bulan kemudian, hidup miliaran manusia berubah total.
Ekonomi, terutama di sektor pariwisata, jasa, dan transportasi, nyaris lumpuh. Orang-orang kehilangan pekerjaan. Cara kita bekerja, berkomunikasi, bersosialiasi, hingga bersekolah berubah drastis. Abad 21 sejak lama oleh para futurolog dijanjikan membawa perubahan. Pastinya, bukan perubahan macam ini yang dibayangkan orang-orang.
Tahun lalu, anak muda di berbagai negara bergerak melawan pemerintah yang berusaha mengebiri demokrasi. Sepanjang 2020, seperti kita lihat dari unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja, atau demo beruntun di Thailand, semangat itu belum memudar. Artinya, kehidupan boleh berubah drastis. Namun kunci keberlangsungan peradaban masih dipegang oleh anak-anak muda. Termasuk, kemungkinan menghadirkan pola hidup yang lebih ramah lingkungan, sehingga kita semua terhindar dari perubahan iklim yang kian dekat dengan keseharian penduduk Tanah Air.
Redaksi VICE turut terpengaruh oleh pandemi, sebab industri media terpukul dengan lesunya ekonomi. Tapi kami berikrar tetap konsisten menghadirkan suguhan terbaik bagi kalian. VICE tak ingin sekadar menayangkan laporan jurnalistik, opini, atau artikel yang sekadar membawa kabar buruk. Kami sebisa mungkin menawarkan cerita yang bisa memberi nilai tambah bagi pembaca, yang sudi meluangkan waktu membaca dan menontonnya.
Cerita-cerita kaya warna, yang menantang tabu, yang mengguncang konservatisme, memperkaya hidup dan perspektif semua orang, serta awet untuk disimak kapan saja. Syukurlah kerja keras tersebut perlahan terbayar, baik dari sambutan antusias publik membaca dan menonton video kami.
Apresiasi yang massif itu tentunya turut berperan dalam keberhasilan VICE Indonesia meraih penghargaan jurnalistik bergengsi the Society of Publishers in Asia (SOPA) di kategori “Public Service”, atas liputan kolaborasi “Nama Baik Kampus” yang digarap bersama Tirto.id dan The Jakarta Post, tentang problem kekerasan seksual yang amat laten di berbagai kampus Indonesia.
Alhasil, dengan semangat mengabarkan keragaman Indonesia, baik sisi gelap dan terangnya, VICE sepanjang 2020 tidak melulu berkutat pada pandemi. Ada cerita tentang kolektif musik inspiratif di Bandung, sekolah alam yang menggetarkan kesadaran di Yogya; meski, bopeng-bopeng Indonesia tetap kami angkat juga, seperti wawancara pelaku penembakan misterius, pelanggaran HAM berat era 80’an, yang tak pernah diusut serius sampai sekarang.
Sebagian cerita paling menarik yang kami terbitkan bersumber dari jaringan freelancer. Tim VICE sendirian saja mustahil bisa memperoleh akses terhadap berbagai peristiwa, sosok, ataupun mitologi menarik tanpa bantuan kontributor yang tersebar di seluruh Indonesia. Maka, jika kalian termasuk dalam jejaring kontributor tersebut—mulai dari jurnalis, fotografer, hingga videografer lepas—yang telah menghadirkan beragam cerita ini untuk pembaca sekalian, redaksi mengucapkan beribu terima kasih.
Berikut beberapa sepilihan laporan terbaik, yang menurut kami sayang sekali bila sampai pembaca lewatkan sebelum 2021 menjelang. Semoga, tahun depan, hidup menjadi lebih baik. Sebab, menjaga harapan terus menyala adalah bahan bakar terbaik mengawal masa depan kita semua.
VICE mengirim salah satu staff writer terbaik kami, Adi Renaldi, ke perairan di perbatasan Indonesia-Malaysia-Filipina. Sebab, di sana ada problem terorisme yang terus mengancam keselamatan nelayan-nelayan Tanah Air yang sekadar bertaruh nasih memperbaiki kehidupan keluarga. Hasilnya adalah laporan dalam bentuk feature panjang dan video dokumenter yang menarik, mengurai sepak terjang serta alasan Abu Sayyaf rutin menculik nelayan Indonesia.
Titah AW adalah penulis lepas yang amat berbakat dari Yogyakarta, dan rutin mengirim laporan bertema sosial budaya menarik bagi VICE. Tangan dinginnya kali ini membuahkan sebuah liputan yang menghangatkan hati, mengenai Sekolah Pagesangan di Dusun Wintaos, DIY. Sekolah alternatif itu berupaya melestarikan teknik pengelolaan lahan gersang pada anak dan remaja setempat. Dengan begitu, mereka akan senantiasa merdeka pangan, dan punya bekal menghadapi kemungkinan datangnya bencana iklim.
Sepanjang 2020, redaksi VICE mendapat “durian runtuh”, karena Faisal Irfani bersedia meluangkan waktunya untuk berkontribusi meliput berbagai tema menarik. Faisal adalah jurnalis berbakat, yang punya sudut pandang unik, energi berlimpah untuk menembus narasumber, serta kepiawaian bertutur. Kalian akan melihat beberapa laporannya masuk daftar ini. Tapi, untuk yang pertama, sila membaca wawancara Faisal dengan mantan polisi di Jakarta Timur, yang terbiasa menghabisi perampok hingga pria bertato sepanjang dekade 80’an. Metode brutal Orde Baru memberantas preman itu bertahun-tahun kemudian ditiru Duterte di Filipina.
Redaksi VICE Indonesia lagi-lagi beruntung, karena mendapat energi baru dengan bergabungnya sosok Rosa Folia, jurnalis handal yang punya rekam jejak panjang meliput berbagai isu hak asasi manusia. Meski baru beberapa bulan bergabung, Rosa dengan jeli bisa memotret isu dari sudut pandang berbeda. Termasuk ketika membahas karut marut pengesahan UU Cipta Kerja.
Tak sekadar merekam kronologinya dari keriuhan politik dan aksi mahasiswa, Rosa memilih jalan berbeda: menangkap cerita di sudut lain, tentang sosok-sosok ‘selingkuhan’ anggota DPR yang viral di medsos menuntut Omnibus Law dicabut. Konten viral di TikTok dan IG itu jadi serangan balik tak terduga bagi politikus Senayan yang berusaha keras mengesahkan beleid problematis dengan dampak pada anak-anak muda di seluruh Indonesia
VICE tidak lupa pada identitas kami sebagai media alternatif, yang menyorot isu-isu yang mungkin tak dilirik. Reno Surya, kontributor kami di Surabaya, menghadirkan laporan mengenai komunitas marjinal yang tak hanya menarik, tapi juga bisa memperkaya wawasan pembaca mengenai sisi lain sejarah Indonesia. Reno mendatangi komunitas teosofi yang tersisa di Surabaya. Hadir di nusantara sejak 1881, teosofi berkembang lewat berbagai loji, berpengaruh bagi priyayi Jawa yang jadi pendorong Indonesia merdeka. Kini, sisa umatnya dihadang tudingan sesat dan teori konspirasi, lantaran dianggap bagian dari Freemason.
Opini bernas, berani, sekaligus jernih, ingin selalu kami hadirkan bagi pembaca VICE. Vania Evan, kontributor kami yang masih berstatus mahasiswa ketika mengirimkan naskah ini, secara telengas membedah hipokrisi sistem pendidikan Indonesia. Atas nama adat dan norma, pendidikan seksual tak kunjung dimasukkan dalam kurikulum. Efeknya segera terasa, remaja di negara kita mencari semua referensi mengenai petting hingga penetrasi ke internet. Artikel ini merupakan ajakan diskusi yang amat gamblang, agar anak muda memperjuangkan munculnya materi pendidikan seks yang lebih baik di sekolah-sekolah kita.
Liputan musik sebisa mungkin harus menawarkan hal berbeda bagi pembaca. Bukan sekadar deksripsi melodi dalam kata-kata, sebab kalau cuma begitu, orang cukup langsung mendengarkan lagu atau album yang dimaksud. Faisal Irfani, seperti yang kami sebut sebelumnya, adalah jurnalis yang berbakat sekaligus pembelajar tekun yang mengikuti jejak jurnalis-jurnalis musik mumpuni. Dalam laporan mendalam tentang kiprah Grimloc ini, label sekaligus kolektif seni kenamaan Bandung, dia tak sekadar menulis soal musik tapi juga pergolakan sosial, perjuangan hidup, hingga aspirasi manusia-manusia dalam kolektif tersebut. Artikel ini bukan cuma bicara soal Grimloc, tapi juga elan vital sebuah kota bernama Bandung.
Nama yang kembali muncul dalam daftar ini adalah Titah AW. Selain menulis seputar budaya, dia juga dapat menyentuh topik lain tak kalah menariknya. Kali ini, yang dia singgung adalah budaya fatalistik anak muda Yogyakarta bernama klitih. Itu sebutan untuk pembacokan acak yang rutin meneror pengendara sepeda motor di DIY. Titah mewawancarai bekas pelaku, mengurai peta geng lokal, sampai menelisik penyebab tradisi kekerasan ini bermutasi pada 2020, yang membuat klitih sulit dihentikan aparat. Laporan ini amat sayang bila sampai kalian lewatkan.
Ikhwan Hastanto adalah kontributor VICE yang paling produktif menghasilkan artikel-artikel pendek mengenai laporan situasi terkini, konten viral, hingga budaya pop menyita perhatian di Indonesia. Kejeliannya menemukan berbagai cerita menarik adalah aset utama, bukan sekadar menulis ulang apa yang terjadi di media sosial. Itu sebabnya, jauh sebelum media lain mendapati fenomena menarik balap lari liar di berbagai kota Sumatra-Jawa, Ikhwan menjadi yang pertama menuliskannya secara lengkap, termasuk mewawancarai penggagasnya. Artikel ini secara lugas membahas subkultur yang berkembang secara organik.
Esai personal yang ringan ini kocak, menggelitik, sekaligus menyentuh. Dituturkan oleh Mahisa Cempaka, kontributor rutin VICE Indonesia yang punya rekam jejak mumpuni sebagai editor berbagai penerbitan. Premisnya sederhana: adik Mahisa mengagumi Hitler, sang ikon fasisme dunia. Khawatir melihat gelagat adiknya jadi pengikut Nazi, Mahisa ngobrol dengan aktivis, penulis sejarah, dan guru, untuk kemudian mengajak bicara adiknya empat mata. Refleksi ini membuka mata kita, tentang minimnya edukasi soal Nazi di Indonesia. Tak heran bila muncul banyak simpatisan Nazi di negara ini.
Lewat video ini, VICE berusaha mengisi minimnya diskusi yang jernih dan terbuka tentang komunitas LGTQ di Indonesia. “The Rainbow Guide to Life” bertujuan untuk memberikan ruang aman di dunia internet kepada kaum queer muda agar mereka dapat mengekspresikan diri sendiri dan membicarakan tentang isu-isu yang dihadapi mereka. Ian Hugen, dan aktivis Khanza Vina membicarakan tentang apa itu Transgender, sekaligus menyinggung kondisi komunitas LGBT di Indonesia yang terkadang masih saling mendiskriminasi.
Lagi-lagi Faisal Irfani. Dia mengirim naskah trilogi liputan akar kekerasan ormas di sekitar ibu kota untuk VICE. Laporan Faisal membedah Pemuda Pancasila, Forum Betawi Rempug, geng sekolah, hingga Front Pembela Islam. Akses ke narasumber-narasumber kunci membuat laporan Faisal kaya data dan memperkaya persepsi kita tentang dunia yang seringkali hanya teraba dari permukaan. Sebagai permulaan, kami berharap pembaca tidak melewatkan laporan soal bentrok Pemuda Pancasila vs FBR. Dari seri artikel ini, kita bisa meraba betapa kisruh ormas, yang kita rasakan hingga momen pembubaran FPI, sebetulnya punya satu sutradara tunggal: pemerintah.