Sejak Rabu (10/2/2021), Manajer Produk Facebook Aastha Gupta mengumumkan rencana perusahaannya membatasi persebaran konten politik muncul di linimasa. Lewat sebuah rilis di blog resmi kantor, Facebook mengaku sedang utak-atik algoritma agar ujungnya lebih mengerti isu politik apa yang disukai dan tidak disukai pengguna. Langkah awalnya, menyingkirkan yang enggak disukai dulu.
Kebijakan ini masih tahap uji coba, menyasar sedikit kelompok pengguna Kanada, Brazil, dan Indonesia sebagai lahan ujicoba selama beberapa bulan ke depan. Amerika Serikat (AS) juga akan menyusul di minggu-minggu mendatang.
“Tujuan kami adalah untuk menjaga kemampuan pengguna mencari dan berinteraksi dengan konten politik, sembari menghormati selera pengguna lain,” tulis Aastha. Facebook melaporkan meski konten politik hanya mengisi enam persen dari total keseluruhan konten, namun besaran tersebut cukup mempengaruhi kenyamanan pengguna yang tidak datang ke media sosial untuk melihat cekcok politik.
Pada Januari 2021, Pendiri Facebook Mark Zuckerberg lebih dulu mengumumkan bahwa timnya sedang bereksperimen menekan polarisasi debat politik antar pengguna di platform-nya. Pengembangan algoritma pembatasan konten politik jadi langkah pertama.
“Satu saran paling banyak yang kami dengar dari komunitas kami sekarang adalah bagaimana orang-orang tidak mau melihat pertengkaran politik yang membuat pengalaman menggunakan layanan kami memburuk,” kata Mark, dilansir New York Times.
Tentu saja konten politik tidak akan hilang seluruhnya dari Facebook. Mark menganggap Facebook tetap terbuka pada konten politik, melihat layanannya sering digunakan untuk mengorganisir pergerakan akar rumput, menyuarakan ketidakadilan, ataupun belajar tentang perspektif orang lain. Grup diskusi politik disebut Mark jadi satu lahan yang bisa tetap bisa digunakan untuk menyampaikan ekspresi politik pengguna.
Tekanan pengurangan konten politik hadir salah satunya dipicu Pemilu Amerika Serikat. Facebook disebut jadi musuh bersama Partai Republik dan Partai Demokrat (dua partai berkuasa AS) gara-gara Demokrat menyebut Facebook membiarkan ujaran kebencian dan hoax menyebar, sementara Republik menuduh Facebook melakukan sensor terhadap unggahan yang mereka buat. Kerusuhan di gedung parlemen AS juga direncanakan secara terbuka di sebuah grup Facebook.
Namun yang namanya ketergantungan pastinya sulit dilepaskan. Masalah ketidakpercayaan publik, khususnya soal privasi, yang konsisten menghantui nyatanya tidak membuat Facebook merugi. Akhir 2020, di tengah hujatan gara-gara panasnya pemilu AS, Facebook (termasuk di dalamnya Instagram dan WhatsApp) mencatat keuntungan US$11,2 miliar.
“Meski kasus menerpa, sepertinya tidak ada yang bisa menghentikan laju platform iklan paling penting di dunia,” kata Analis Senior Jesse Cohen.
Tidak dijelaskan mengapa Indonesia dan tiga negara lain negara dipilih Facebook sebagai wilayah percobaan. Bisa jadi karena tiga dari empat negara tersebut memiliki pengguna terbanyak. Data Cuponation pada 2019 merilis riset yang mengatakan AS memiliki pengguna kedua terbanyak sebesar 190 juta, Brazil di peringkat ketiga dengan 120 juta, dan Indonesia menempel setelahnya juga dengan 120 juta. Ketiga negara tersebut hanya kalah dari India dengan 260 juta pengguna.
Faktor lain juga bisa membantu kita memahami mengapa Facebook memilih Indonesia sebagai yang pertama diredam konten politiknya. Belanja buzzer Rp90,45 miliar oleh pemerintah pada 2020 dapat menjadi contoh gimana agenda politik di media sosial tumbuh subur. Kalau ada yang modalin besar, industri politik di media sosial jelas mekar.
Semoga dengan begini, konten politik jahat musnah, digantikan lebih banyak video-video kucing lucu.