Mahkamah Konstitusi pada sidang yang berlangsung Kamis 14 Januari 2021, menolak semua gugatan RCTI dan iNews yang memohonkan judicial review UU 32/2002 tentang Penyiaran. Jika pembaca bingung ini apaan, pada Mei tahun lalu direktur dari dua stasiun televisi itu meminta agar UU Penyiaran Pasal 1 ayat 2 tidak hanya mengatur siaran televisi dan radio, tapi juga siaran di internet.
Hampir satu tahun berselang, MK akhirnya memutuskan UU Penyiaran enggak perlu ribet-ribet menggatur internet, soalnya dunia maya sudah diregulasi UU ITE. Skor akhir 0 untuk RCTI dan iNews, 1 untuk YouTuber dan layanan streaming drakor.
“Justru apabila permohonan pemohon dikabulkan akan menimbulkan kerancuan antara layanan konvensional [TV dan radio] dengan layanan OTT [over-the-top, layanan lewat jaringan internet],” demikian alasan majelis hakim yang disampaikan hakim MK Arief Hidayat, seperti dikutip Detik.
Akhir bahagia terutama buat para TikToker dan YouTuber ini disambut gembira oleh netizen. Pasalnya, sejak semula permohonan tersebut dianggap mengada-ngada. Netizen keburu sinis dengan alasan sok moralis dua perusahaan di bawah grup MNC tersebut, menjadikan respons internet hiburan tersendiri di awal pandemi corona.
Menurut netizen, masalahnya RCTI dan sesama TV dari grup MNC sering nayangin acara yang “enggak banget”. Absurd bila konglomerasi media ini sempat-sempatnya membawa Pancasila untuk melegitimasi gugatannya.
“Konsekuensinya [kalau media berbasis internet tidak diatur] bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak berasaskan Pancasila, tidak menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Bahkan, yang tidak kalah berbahaya, bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet memuat konten siaran yang justru memecah belah bangsa dan mengadu-domba anak bangsa,” demikian alasan gugatan dari Grup konglomerasi media MNC.
Kemerdekaan bikin konten sendiri emang terancam jika permintaan RCTI dan iNews sampai dikabulkan MK. Pertama, film kesayangan kita di Netflix bakal dihiasi blur-blur dan berbagai adegan yang dipotong gunting sensor karena semua konten audio maupun audio-visual internet mesti tunduk pada UU Penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Selain itu, dan ini aspek paling tak tertahankan, apabila internet diatur UU Penyiaran, siapa pun yang berniat menyiarkan konten mereka di media sosial mana aja, entah itu streaming berburu hantu di YouTube atau podcast galau di Spotify, individu tersebut kudu punya izin lembaga penyiaran dulu.
Mei 2020, VICE sempat meminta pendapat direktur eksekutif lembaga pemantau media dan TV Remotivi Yovantra Arief atas gugatan MNC. Waktu itu ia udah menilai UU Penyiaran enggak bisa dipaksa ngatur siaran di internet karena sejak awal dibikin spesifik buat ngatur industri konvensional TV dan radio.
Daripada hasilnya jadi UU tambal sulam, Yovantra menyarankan sebaiknya stasiun televisi bersikap jujur bahwa bisnis mereka terganggu oleh menjamurnya layanan streaming, sembari memperjuangkan dibikinnya UU baru yang bisa ngatur internet—jika mereka emang beneran khawatir moralitas masyarakat bisa dirusak internet.
Jika tadi sempat disinggung bahwa permohonan revisi UU Penyiaran ini membuat hiburan tersendiri di tengah pandemi, sisi humorisnya ada pada manuver Mendikbud Nadiem Makarim.
Mas Menteri emang enggak ikutan komentar atau terlibat dalam urusan gugatan di atas, tapi entah disengaja atau enggak, Juni tahun lalu Nadiem malah menggandeng Netflix buat nyiarin berbagai dokumenter mendidik mereka di TVRI. Bisa ditebak, inisiatif ini langsung dipakai netizen sebagai bahan buat makin nyerang RCTI, bersama KPI dan Telkom.