Artikel ini pertama kali tayang di VICE Belgium.
Setiap anak yang dibesarkan orang tua, sedikit banyak akan menirukan kebiasaan ayah ibunya. Peran orang tua sangat krusial dalam tumbuh kembang anak. Bahkan pola pikir dan perilaku kita terbentuk berdasarkan didikan di rumah.
Namun, tak semua orang dilahirkan beruntung dan memiliki keluarga yang suportif. Ada yang terpaksa bergumul dengan kemiskinan dan orang tua abusif sejak kecilnya. Hal-hal yang disaksikan anak tak jarang memberi dampak negatif pada kehidupan mereka setelah dewasa.
Contohnya seperti Sandrine, 55 tahun, yang mengutil untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Ia harus membesarkan dua anak sendirian di usianya yang masih tergolong muda, yaitu pertengahan 20-an.
Putri sulungnya, Léa, sering menyaksikan ibunya mengambil barang tanpa izin. Bagi anak yang saat itu masih SD, ia awalnya mengira tindakan ibunya normal. Léa (30) mulai mengembangkan kebiasaan mencuri barang-barang yang ia inginkan. Akan tetapi, ia ketahuan ibunya. Sandrine memarahi sang anak supaya tidak mengulangi perbuatannya.
Keadaan berkata lain. Ibu Léa melahirkan anak kedua, yang otomatis membuat kebutuhan mereka semakin membengkak. Tiadanya sosok ayah sebagai pemberi nafkah, Sandrine tak punya pilihan selain mengajak anak pertamanya mengutil di supermarket dan pusat perbelanjaan. Léa baru 9 tahun kala itu.
Ibu dan anak ini menghubungi VICE usai membaca artikel kami tentang kebiasaan mengutil. Keduanya menawarkan diri untuk menceritakan kisah mereka, yang mengaku terpaksa mencuri demi bertahan hidup. Nama mereka telah disamarkan untuk mencegah terjadinya persekusi.
VICE: Saat kamu pertama kalinya mengutil, apa alasanmu melakukannya?
Sandrine: Hidup kami dulu serba susah. Saya membesarkan anak sendirian dengan gaji pas-pasan. Tapi, niat mengutil baru muncul ketika saya menyadari betapa tidak adilnya dunia ini. Orang lain bisa hidup enak, sedangkan saya mau beli kebutuhan anak-anak saja tidak cukup uangnya.
Walau hati nurani berkata salah, mengutil satu-satunya cara saya bisa menghidupi anak. Saya yakin kerugian yang ditanggung tidak seberapa kalau saya mengutil di supermarket atau toko-toko besar.
Bagaimana denganmu, Léa? Kapan pertama kali kamu mengutil?
Léa: Saya masih bocah waktu itu. Saya mencuri tas makeup karena suka modelnya, bukan karena butuh. Cuma saya langsung kegep oleh ibu.
Ibu membentak saya di depan umum, dan menyuruh saya mengembalikannya ke satpam. Ibu bahkan mengancam akan melaporkan saya ke polisi. Saya takut banget saat itu, jadi saya menurut saja.
Kamu tidak kapok melakukannya?
Léa: Ibu tidak tahu kalau sejak kecil, saya sudah mengerti betapa tercelanya mencuri. Saya diajak ibu mengutil saat saya umur 9 tahun. Kebutuhan rumah semakin membengkak setelah adik saya lahir.
Apa yang kalian lakukan?
Léa: Biasanya kami memikirkan cara di tempat. Salah satu yang masih kuingat yaitu ketika kami mengambil celana panjang dari toko pakaian. Kala itu, kami berpura-pura mencoba tiga potong celana di kamar pas. Ibu menyampirkan semuanya di lengan, lalu menggulungnya dan memakai mantel kebesaran supaya tidak kelihatan. Terkadang saya langsung memakai baju curian, dan melapisinya dengan pakaian yang saya kenakan dari rumah. Kami juga pernah menyembunyikannya di bawah adik yang tidur di kereta bayi.
Kami jarang dicurigai satpam. Bagi mereka, kami tidak kelihatan seperti pencuri sama sekali. Kami hanyalah ibu anak yang sedang window shopping.
Jadi kalian belum pernah ketahuan?
Léa: Saya pernah ketahuan beberapa kali. Setiap kali kegep mengutil, ibu akan berakting marah-marah di depan satpam. Ibu bilang malu punya anak pencuri dan bersumpah akan menghukum saya di rumah.
Sandrine: Lucunya, taktik ini selalu berhasil. Satpam beranggapan sudah semestinya orang tua bersikap begini saat anaknya ketahuan mencuri. Saya awalnya hanya minta maaf kepada satpam, tapi malah disuruh memarahi putriku di depan umum. Mereka akan menyentil saya dengan kata-kata, “Ibu tidak malu punya anak suka mencuri?” atau “Ibu seharusnya mendidik anak lebih keras lagi.”
Jadi ya, saya ikuti saja alurnya. Saya membentak Léa di depan mereka. Saya mengancam ini itu sampai akhirnya satpam merasa kasihan padanya.
Léa, kamu bilang kamu tahu mencuri tidak baik. Tapi pernahkah kamu merasa bersalah telah melakukannya?
Léa: Jika saya boleh jujur, saya tidak ingat apa yang saya pikirkan ketika kami mencuri. Yang saya ingat cuma merasa seperti diatur-atur oleh ibu. Tapi sebagai anak, saya merasa wajib membantu ibu. Entah ini bisa dijadikan pembenaran atau tidak.
Saya tahu tindakan kami salah, tapi saya tidak bisa apa-apa selain merahasiakannya. Ini rahasia kami berdua. Tidak boleh ada yang tahu.
Walau begitu, saya tidak pernah menyesal telah mengutil. Saya hanya ingin membantu meringankan beban ibu.
Apa yang membuatmu yakin kalau kamu tidak salah?
Sandrine: Saya muak menyaksikan rekan-rekan kerja yang heboh ngobrolin rencana liburan mereka, padahal di sekeliling mereka ada orang-orang seperti saya yang bekerja banting tulang untuk menafkahi anak.
Saya sendiri hidup susah sejak kecil. Tak jarang saya harus menahan lapar karena tidak ada makanan. Tempat tinggal saya juga tidak layak disebut rumah. Tumbuh besar di situasi ini amat menyiksa, sampai-sampai muncul pikiran: ‘Lebih buruk mana? Mencuri, atau terpaksa mencuri untuk bertahan hidup?’
Saya tidak mau anakku bernasib sama, tapi memperbaiki nasib dengan kondisi terbatas juga tidak gampang. Makanya cuma ada satu pilihan: mencuri atau hidup melarat.
Orang mencuri karena terpaksa, kecuali kamu seorang kleptomania.
Apakah sekarang kamu masih mencuri?
Léa: Saya sudah berhenti sejak punya anak. Saya bersyukur kehidupanku jauh lebih baik sekarang. Dua anakku tidak boleh tahu kalau dulu ibunya suka mencuri. Saya juga tidak mengajarkan mereka melakukan itu. Tapi, saya akan memberi tahu anak-anak, kehidupan tak hanya hitam dan putih, sehingga kita perlu melihatnya dari berbagai sisi.
Sandrine: Sekarang, saya aktif dalam kegiatan sosial. Saya sering berhadapan dengan orang-orang yang kehilangan segalanya, terutama sejak pandemi. Saya tidak akan menghakimi jika ada di antara mereka yang mengutil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Andai saja ayah anak-anak saya memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga, kehidupan kami mungkin jauh lebih baik. Ayah mereka tidak pernah menafkahi kami.
Negara juga sama buruknya. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, pemerintah membiarkan kita menderita. Begitu pula orang-orang di sekitar kita. Mereka hanya bisa menghakimi tanpa mencoba memahami keadaan seseorang. Mereka menutup mata saat ada yang kesusahan di dekat mereka.