Elisabetta Agyeiwaa adalah seorang pembuat film asal Italia yang lahir di kota Brescia pada 1991. Namun, ibu kandung tak menginginkan kehadirannya, sehingga Elisabetta yang masih bayi dirawat bibinya yang tinggal di Belanda. Sang bibi lalu menitipkannya pada kenalan yang menganggap Elisabetta seperti putrinya sendiri.
Mirisnya lagi, akta kelahiran Elisabetta dirampas oleh ibu aslinya dan digunakan untuk mendaftarkan anak lain. Kebenaran baru terungkap pada 2015, setelah dirinya belasan tahun berjuang agar diakui sebagai Elisabetta Agyeiwaa yang asli. Hanya saja kerja kerasnya tak kunjung membuahkan hasil. Perempuan itu kini berusia 31 tahun, tapi dianggap tidak ada oleh hukum. Ia juga tak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Belanda karena asal-usulnya yang tidak jelas.
Dengan harapan memperoleh keadilan, Elisabetta mengangkat kisahnya menjadi film dokumenter bertajuk Elisabetta. Film itu, yang tayang perdana dalam Festival Film Belanda September lalu, secara blak-blakan mempertontonkan betapa terjal perjalanan Elisabetta menembus birokrasi yang ruwet dan tidak bersedia membantunya.
Kepada VICE, Elisabetta membeberkan semua rintangan yang ia hadapi karena identitasnya direnggut sang ibu. Terlepas dari sikap ibu yang tak peduli dengannya, Elisabetta pantang menyerah merebut kembali hak-haknya.
VICE: Bisa dijelaskan kenapa dirimu tidak diakui di atas kertas?
Elizabeth Agyeiwaa: Saya punya akta kelahiran, tetapi ibu saya – beliau merantau dari Ghana – tidak pernah mendaftarkan saya sebagai anaknya selama tinggal di Italia. Pada 1993 silam, ibu menggunakan akta kelahiran saya demi anak lain yang umurnya jauh lebih tua. Anak itu sepertinya saudara tiriku. Dia terdaftar dengan nama dan tanggal lahir saya, tapi menggunakan foto dan sidik jarinya sendiri.
Anak itu bahkan diakui oleh keluarga ibu, sedangkan saya ditelantarkan sejak lahir karena katanya ibu tidak siap punya anak. Saya diboyong bibi ke tempat tinggalnya di Belanda, lalu dititipkan pada kenalannya yang bernama Marianne.
Perempuan itu menjadi ibu angkatku, tapi saya dibesarkan tanpa surat-surat. Akibatnya, saya tidak punya hak suara, dicap tidak layak mendapatkan hipotek, hingga tidak dapat menikah maupun bepergian jauh.
Apa yang membuatmu gagal membuktikan identitas?
Nama saya terikat dengan sidik jari anak itu, sehingga sulit bagiku untuk membuktikan sayalah Elisabetta yang asli. Foto perempuan lain akan muncul jika kamu mencari nama saya di sistem. Ibu juga tak sudi membantuku. Katanya ibu takkan pernah mengakui saya sebagai anaknya.
Memangnya kamu tidak bisa memakai identitas baru? Kenapa kamu tetap ingin menjadi Elisabetta Agyeiwaa?
Memperoleh identitas baru merupakan hal yang mustahil. Kamu harus punya bukti kelahiran yang diakui orang tua. Pengecualian biasanya cuma untuk pencari suaka yang tidak punya akta kelahiran karena negara asalnya sedang perang.
Situasi yang saya hadapi jauh lebih kompleks. Semua orang telah mengenal saya sebagai Elisabetta, dan saya juga tidak punya bukti legal untuk mendapatkan identitas baru. Lagi pula, salahkah saya kalau ingin menjadi diri sendiri? Saya punya hak untuk itu kan? Saya ingin hidup sesuai identitas yang saya miliki sejak lahir. Mengapa saya harus menjadi orang lain?
Kamu kehilangan ibu angkat di usiamu yang baru 7 tahun. Pasti itu berat sekali untukmu.
Benar. Marianne orang pertama yang mencintai saya, sesuatu yang tak pernah saya dapatkan dari ibu kandung saya sendiri.
Saya baru menyadari betapa serius masalahnya setelah Marianne meninggal. Saya seharusnya mendapatkan warisan darinya, tapi ujung-ujungnya tidak menerima sepeser pun karena pihak berwenang tidak dapat membuktikan siapa diriku. Saya akhirnya diberi status “anak negara” karena tidak punya akta kelahiran, dan tidak jelas asal-usulnya. Saya diberi wali yang bertugas menyimpan berkas-berkas terkait data pribadi saya. Akan tetapi, saya tidak memenuhi syarat untuk diadopsi karena tidak ada bukti kelahiran. Saya pun dipindahkan dari satu panti asuhan ke panti asuhan lain.
Apa yang telah kamu lakukan untuk mendapatkan kembali identitasmu?
Saya awalnya tidak tahu kalau ibu telah mencuri identitasku. Saya berusaha menghubungi ibu, dengan harapan ibu akan menyerahkan berkas-berkasnya kepada saya. Akan tetapi, ibu selalu beralasan kenapa akta kelahiran saya sulit keluar. Contohnya, dokumen saya baru bisa beres setelah ibu menikah dengan ayah kandung. Kala itu, saya memercayai semua omongan ibu.
Saya baru mengetahui kebenarannya saat Natal tahun 2015 lalu. Sepupu dari Ghana menelepon dan membeberkan semuanya kepadaku.
Saya langsung menanyakan kebenarannya pada ibu, tapi ibu selalu menyangkal. Ibu bilang sepupu saya sudah tidak waras. Marah dihubungi terus, ibu akhirnya memblokir nomor saya.
Saya melaporkannya ke polisi Belanda, tapi tak ada respons. Saya mengunjungi tempat kelahiran saya di Brescia pada 2017. Di sana, saya mendatangi kantor polisi dan layanan imigrasi – lagi-lagi saya ditolak. Dari semua upaya saya, yang saya temukan hanya jalan buntu. Tak ada satu pun yang bersedia membantu saya.
Seperti apa hubunganmu dengan ibu?
Ibu sama sekali tidak peduli denganku. Ibu tak pernah menanyakan kabarku, atau mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Ibu juga tidak pernah menjengukku. Sekalinya saya bertemu ibu yaitu saat saya masih tinggal bersama bibi.
Ibu bilang berhak menggunakan berkas anak-anaknya untuk keperluan pribadi. Ibu sangat kasar dan selalu menghardik saya saat diajak bicara. Ibu juga mengusir saya setiap kali saya berusaha menemuinya.
Apa alasan ibu mencuri identitasmu?
Entah ya. Saya juga masih bertanya-tanya kenapa ibu melakukannya. Ditelantarkan sejak bayi sudah cukup menyakitkan untukku, tapi rasanya seolah-olah ibu ingin membuat saya tambah menderita. Kenapa ibu mengakui anak lain, tapi saya tidak diakui? Ibu tak pernah sekali pun memberikan kejelasan soal ini. Saya masih berharap ibu akan meminta maaf, tapi saya sendiri tak yakin hari itu akan datang.
Dalam film dokumenter, saya mencantumkan surat yang kutulis untuknya. Ibu membaca surat itu, dan keesokan harinya ibu memblokir saya di media sosial.
Pernahkah kamu berbicara dengan perempuan yang menggunakan identitasmu?
Dia beberapa kali mencoba mendekati saya di medsos, tapi tidak saya gubris. Ketika dia mengirim permintaan berteman di Facebook, saya bisa melihat orang-orang memberinya ucapan pada hari ulang tahunku. Saya mengabaikan permintaan itu. Dia juga menyukai semua foto saya di Instagram.
Saya benar-benar risi dibuatnya. Apa sih tujuan dia? Kamu telah merebut identitasku, jadi tolonglah berhenti mengganggu saya. Jalani saja hidupmu itu.
Dalam film dokumenter, kamu mengatakan tidak tahu siapa ayahmu, tapi kamu berharap ayah mengenalmu dan bisa membantumu keluar dari situasi ini.
Saya tak pernah diberi tahu siapa ayah saya. Yang saya tahu hanyalah ayah mungkin juga tinggal di Italia. Harapannya lewat film dokumenter ini saya bisa bertemu dengannya. Terlepas dari semua yang telah terjadi, saya masih optimis masalahnya akan selesai suatu saat nanti.
Itukah alasannya kamu membuat film dokumenter?
Saya masih berharap akan menemukan jalan keluar. Seperti yang sudah saya katakan tadi, film dokumenter ini mungkin bisa memberi pencerahan kepadaku.
Namun, saya juga ingin menyoroti kisah anak-anak di luar sana yang identitasnya dicuri oleh orang tua mereka. Saya ingin memberi mereka harapan, dan menunjukkan kepada dunia ada hal semacam ini. Saya ingin memperlihatkan betapa tidak berdayanya korban ketika identitas mereka dicuri.
Polisi Belanda yang saya ajak bicara untuk film dokumenter mengaku telah gagal memberi bantuan kepada saya. Mereka telah membuka kembali kasusnya.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.