Home Uncategorized Ilmuwan: Australia dan Tiongkok Cocok Jadi Tempat Berlindung dari Bencana Global

Ilmuwan: Australia dan Tiongkok Cocok Jadi Tempat Berlindung dari Bencana Global

510
0
ilmuwan:-australia-dan-tiongkok-cocok-jadi-tempat-berlindung-dari-bencana-global

Kamu tidak sendirian jika berpikir peradaban manusia berada di ambang kehancuran. Kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan, diperparah oleh krisis kesehatan dan ancaman perang, membuat kita pesimis akan masa depan dunia. Guna mengantisipasi skenario terburuk dari segala musibah tersebut, para ilmuwan tak pernah lelah mencari cara yang dapat menjaga kelangsungan hidup kita semua.

Biasanya di film-film, umat manusia akan berlindung di ruang bawah tanah, daerah terpencil, atau bahkan planet lain ketika ditimpa malapetaka. Berangkat dari ide semacam inilah, sepasang peneliti tergerak untuk mencari tahu lingkungan seperti apa yang cocok dijadikan tempat perlindungan. Setelah mempertimbangkan penanganan Covid-19 sejumlah negara, mereka memutuskan keselamatan kita lebih terjamin apabila berada di Tiongkok dan Australia Barat. Penelitiannya dipublikasikan dalam jurnal Risk Analysis.

“Saya telah meneliti tempat perlindungan bencana global, termasuk tempat-tempat eksotis seperti luar angkasa,” terang Seth Baum, ahli geografi dan direktur eksekutif Global Catastrophic Risk Institute di Washington DC, melalui sambungan telepon. “Saya sudah cukup lama tertarik dengan topik ini.”

Bersama rekan peneliti Vanessa Adams, ahli geografi University of Tasmania, Baum menilai pandemi telah memberi gambaran mitigasi bencana yang jauh lebih praktis daripada pindah ke luar angkasa.

Terkejut melihat betapa berbedanya penanganan pandemi di negara masing-masing—penyebaran komunitas di Tasmania sangat sedikit, tak seperti Amerika Serikat yang berulang kali mengalami lonjakan kasus penularan COVID—keduanya menyelidiki pola yang kerap diabaikan dalam jumlah kasus internasional, serta mempertimbangkan jumlah penularan yang sangat rendah di Australia Barat.

“Tiongkok menjadi yang paling menonjol,” tutur Baum. “Negara ini negara terpadat di dunia, tapi jumlah kasus [positif Covid-19] sangat rendah di sana.”

“Tiongkok bukan negara terpencil—negara ini berbatasan dengan banyak negara dan padat penduduk, tapi sukses mengendalikan laju penularan,” lanjutnya. “Sangat luar biasa. Itulah sebabnya kami memilih Australia Barat dan Tiongkok.”

Meskipun ukuran populasinya besar, Baum dan Adams melihat Tiongkok mampu menekan angka penularan sekitar 1.358 per 100.000 orang dari Maret 2020 hingga Januari 2022, jumlah yang sangat rendah jika dibandingkan dengan 98.556 di AS dan 142.365 di India. Australia Barat bertahan pada 48,8 kasus per 100.000 orang.

Ada banyak faktor yang memengaruhi rendahnya penularan virus di kedua tempat. Tiongkok memberlakukan skema “zero COVID” dan lockdown dengan sangat ketat sejak awal corona mewabah. Angka kasus yang rendah di Australia Barat sebagian berkat letak geografisnya yang cukup terpencil dan pembatasan sosial yang juga ketat. Namun, menurut Baum dan Adams, sistem pemerintahan yang sama-sama terpusat, serta kekompakan masyarakat menjadi alasan kedua daerah mampu menanggulangi pandemi secara lebih efektif. Adanya bantuan ekonomi juga membedakan Australia Barat dan Tiongkok dari negara-negara lain.

Baum mengatakan, faktor-faktor ini juga menyinggung “ketegangan antara hak individu dan kesehatan masyarakat kolektif”, yang dapat menimbulkan pertanyaan politik yang pelik. Beberapa negara otoriter, seperti Tiongkok, sukses menangani Covid, tapi ini bukan korelasi universal.

“Ini tergantung seberapa besar dorongan menghentikan penyebaran komunitas dan seberapa besar kemampuan daerah untuk melakukannya,” terang Baum. “Akarnya terletak pada kapasitas, dan mungkin orientasi, untuk menekankan hasil yang baik untuk seluruh tempat alih-alih kebebasan individu dan sebagainya. Daerah yang kurang memberikan kebebasan individu mungkin lebih mampu mengendalikan penyebaran penyakit.”

Sementara itu, Australia memiliki kebijakan perbatasan yang ketat, bahkan untuk penduduk setempat sekali pun, sehingga ini bisa memengaruhi respons negara bagian terhadap pandemi. Temuan ini menunjukkan, kelayakan suatu tempat sebagai apa yang peneliti sebut “tempat perlindungan pandemi” terkait dengan sejumlah variabel sosial, politik dan ekonomi. Dengan menguraikan ini, para ahli dapat mempersiapkan pencegahan yang tepat untuk pandemi atau bencana yang jauh lebih parah.

“Alasan saya tertarik melakukan penelitian ini yaitu untuk mempelajari apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi risiko bencana global secara umum,” ujar Baum. “Penelitian ini telah mengubah perspektif saya dari ide perlindungan sebagai sesuatu yang dapat berperan penting dalam mengurangi risiko, menjadi ide ini sebenarnya bisa menjadi cara yang sangat layak.”