Kebangkitan dunia Arab alias Arab Spring membuktikan anak muda mampu menjadi agen perubahan. Mereka menggerakkan massa untuk memperjuangkan kebebasan. Namun sayangnya, semangat ini tidak sampai ke Alun-Alun Tahrir di pusat kota Kairo. Aksi yang dihadiri ratusan ribu orang tersebut seakan mengisyaratkan perempuan belum pantas menerima kebebasan mereka.
Pada hari itu, demonstran perempuan dicolek, digrepe dan didorong paksa pengunjuk rasa lainnya. Pelecehannya tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka juga ditelanjangi, dipukul dan diperkosa lelaki biadab selama unjuk rasa berlangsung.
Parahnya lagi, mereka diinterogasi dan diabaikan ketika ingin melaporkannya. Para perempuan ini dinasihati, mereka seharusnya tidak usah ikut demo. Respons pihak berwajib melanggengkan nilai-nilai patriarki yang berakar kuat dalam masyarakat Muslim.
Sama seperti di berbagai negara lainnya, pelecehan seksual belum bisa lepas dari kehidupan sehari-hari perempuan Mesir. Lelaki menggesekkan alat kelamin ke tubuh perempuan, atau remaja cowok menggoda dan mengejar perempuan yang berjalan di dekatnya bukanlah pemandangan aneh di sana. Pelecehan seksual tak hanya terjadi di tempat umum saja, tetapi juga di lembaga pendidikan, tempat kerja dan ranah privat.
Perempuan Mesir dulu tidak pernah diindahkan setiap mereka memohon agar kasusnya diproses secara hukum. Yang ada mereka disalah-salahkan, atau malah dipaksa mencabut laporannya.
“Setiap hari kalian memikirkan bagaimana caranya supaya orang-orang tidak tahu kalian perempuan. Kalian cuma bisa berharap tidak ada yang mencolek tubuhmu hari ini,” tutur Sabah Khodir, penulis dan aktivis asal Mesir yang pindah ke Washington D.C. tahun lalu. Dia trauma berat dengan pelecehan seksual yang pernah menimpanya. “Bukan peraturannya yang bermasalah, tapi penerapannya.”
“Setiap hari kalian memikirkan bagaimana caranya supaya orang-orang tidak tahu kalian perempuan.”
Sejak Juni 2020, perempuan 29 tahun ini mengajak semua penyintas untuk membongkar kebusukan Ahmed Bassam Zaki. Mahasiswa 22 tahun itu bisa hidup bebas meski sering melecehkan perempuan. Semua masalah akan selesai dalam sekejap begitu keluarganya yang tajir melintir dan berpengaruh turun tangan.
Zaki jago memanipulasi korban secara emosional. Setelah memaksa berkenalan dan berkencan, dia akan meminta perempuan mengirim foto dan berhubungan seks dengannya. Jika permintaannya tidak dituruti, Zaki mengancam akan menyebarkan foto atau berita miring ke keluarga dan orang terdekat korban. Dia bahkan sampai menguntit, merundung dan mempermalukan mereka.
Membicarakan seks dan seksualitas masih tabu di Mesir yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Nama baik keluarga akan tercoreng jika foto atau gosip vulgar anak perempuannya tersebar. Skenario terburuknya, mereka dibunuh atas nama kehormatan keluarga.
Perempuan Mesir lama-lama sadar mereka tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Media sosial mampu menjadi senjata ampuh dalam mengakhiri ketidakadilan yang dialami oleh mereka.
Semua perempuan yang pernah menjadi korban Zaki bisa menceritakan pengalamannya ke akun Instagram Assault Police. Identitas mereka dirahasiakan, sehingga tidak perlu khawatir akan diserang. Dalam waktu 12 jam, hampir 100 perempuan mengirim tangkapan layar chat WhatsApp, voice note dan foto yang dikirim predator. Korbannya yang paling muda baru berusia 13 ketika dilecehkan.
“Seperti inilah reaksinya ketika perbuatan buruk Ahmed Bassam dianggap angin lalu. Sudah bertahun lamanya perempuan memohon agar didengar, tapi suara mereka selalu dibungkam,” kata admin Assault Police yang meminta namanya dirahasiakan. Selain diancam dengan tindakan hukum, admin akun ini juga sering menerima ancaman akan diculik dan dibunuh. Beberapa bahkan meneror admin dengan pesan bernada ingin memerkosa jika akun ini terus mengekspos kasus pelecehan seksual.
Namun, kasus semacam ini sulit untuk dihindari mengingat banyaknya laporan yang masuk. Mulai dari komedian, aktris hingga model terkemuka di Mesir mengecam habis-habisan tuduhan tersebut. Menurut mereka, sudah waktunya bagi rakyat Mesir untuk mengubah budaya yang melahirkan sikap keji ini. Presenter TV Amr Adeeb bahkan berkomentar “_no means no_”, sesuatu yang tidak pernah mau diakui lelaki Mesir manapun.
Satu minggu kemudian, Zaki dikeluarkan dari sekolah bisnis di Barcelona. Seorang perempuan mengaku telah dilecehkan olehnya. Khodir dan Assault Police menghubungkan beberapa penggugat dengan bantuan hukum pro bono dan layanan kesehatan mental gratis. Sejauh ini, sudah 13 orang yang mengadukan Zaki ke pihak berwajib. Pada 4 Juli, polisi menangkap Zaki di kediamannya yang elit di Kairo. Dia didakwa melecehkan dan menyerang sejumlah perempuan dan seorang anak di bawah umur. Berdasarkan pengakuannya kepada Kejaksaan Umum, dia hanya mengusik dan mengancam penggugat.
Dr. Said Sadek, guru besar sosiologi American University di Kairo, memperingatkan selama Mesir belum berubah, penangkapan Zaki bisa dijadikan alasan untuk meredam tuntutan aktivis.
“Generasi muda sudah terpengaruh Barat dan gerakan #MeToo,” ujarnya. “Pemerintah baru bertindak karena salah satu pelakunya datang dari golongan atas, yang seharusnya menjadi contoh bagus untuk rakyat.”
“Pemerintah baru bertindak karena salah satu pelakunya datang dari golongan atas, yang seharusnya menjadi contoh bagus untuk rakyat.”
Mesir cukup sekuler pada era 50 dan 60-an. Semuanya berubah awal 1970-an, ketika perantau yang pulang dari kawasan Teluk menerapkan ajaran Islam kaku dan menegakkan peran gender tradisional. Menurut Sadek, lelaki akan menggunakan kekuatan mereka ketika merasa tertantang. Tak jarang mereka melecehkan dan memerintahkan perempuan untuk tidak keluar rumah.
Perempuan mungkin telah memperoleh kebebasannya, tapi mereka masih harus menjaga diri dan bersikap waspada setiap saat agar terhindar dari bahaya.
Pemimpin agama Islam di Mesir, seperti Mufti Agung Shawki Allam dan Imam Besar Al-Azhar Syekh Ahmad al-Tayyeb, merilis pernyataan resmi yang berbunyi “Kejahatan semacam ini bisa mengancam keamanan masyarakat dan mendorong bentuk pelanggaran lainnya jika kita hanya menutup mata terhadap apa yang terjadi.” Pernyataan itu juga menyinggung budaya menyalahkan korban yang begitu lazim di Mesir: “Pakaian yang dikenakan perempuan tidak bisa menjadi alasan untuk menyerang privasi, kebebasan dan harga diri mereka.”
Pemerintah baru menanggapi isunya dengan serius pada 2014, beberapa tahun setelah demonstran perempuan diserang dan dilecehkan. Orang yang terbukti melakukan pelecehan seksual akan dijatuhkan hukuman penjara hingga lima tahun. Sementara itu, pelaku kekerasan seksual terancam hukuman minimal tujuh tahun penjara. Analis hukum berspekulasi Zaki takkan dinyatakan bersalah melakukan pemerkosaan jika tidak ada bukti fisiknya.
Sadek berpandangan perilaku baru bisa diubah jika ada undang-undang yang lebih kuat dan budaya patriarki dienyahkan dari Mesir. “Ada PR yang harus diselesaikan lembaga keagamaan. Mereka mesti memperbaiki sikapnya terhadap perempuan dan menekankan pentingnya kesetaraan,” terangnya.
Sementara investigasi terhadap kasus Zaki terus berlanjut, setidaknya hampir 500 perempuan melaporkan kasus pelecehan seksual kepada Komnas Perempuan Mesir. Legislator telah mengesahkan dua amandemen KUHP yang secara teori menjamin keamanan bagi para perempuan yang ingin mengadukan kasus pelecehan seksual. Mereka tidak perlu mengkhawatirkan reaksi negatif dari keluarga dan masyarakat. Amandemen pertama merahasiakan identitas pelapor, sedangkan yang kedua memungkinkan perempuan untuk mengajukan aduan tanpa keterlibatan wali dan dengan bantuan pengacara yang hadir.
“Saya menuntut agar perempuan Mesir diperlakukan secara adil. Negara takkan bisa maju jika masih ada warga negaranya yang menderita dan tertindas. Situasinya akan memburuk,” tegas Khodir.
Akun Instagram Assault Police kini memiliki 176.000 pengikut, dan telah menerima puluhan DM dari korban pelecehan lain. “Akun ini bukan cuma untuk [Zaki],” katanya. “Akunnya mengekspos perbuatan semacamnya.”
Assault Police belum lama meminta bantuan pengikut untuk memeriksa kebenaran rumor sekelompok lelaki kaya raya dan berkuasa yang merekam pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan. Setelah postingannya diunggah, akun Instagram ini berusaha diakses oknum dalam upaya peretasan. Admin dan keluarganya menerima ancaman pembunuhan. Sebelum akun Instagram dan Twitter Assault Police dinonaktifkan, admin berujar akan mundur dari Insiden Fairmont yang diduga menjadi salah satu lokasi pemerkosaan. Sampai sekarang saya belum mendengar kabarnya lagi.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.