Home Uncategorized Inilah Caraku Menghadapi Keluarga yang Sering ‘Fat Shaming’

Inilah Caraku Menghadapi Keluarga yang Sering ‘Fat Shaming’

577
0
inilah-caraku-menghadapi-keluarga-yang-sering-‘fat-shaming’

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.

Sudah dari dulu aku bertubuh besar. Bagi banyak orang, mereka merasa bisa berkomentar seenaknya atau menyuruhku menurunkan berat badan. Seolah-olah kalian baru bisa bahagia jika berbadan langsing.

Sebagian besar saudaraku juga berpikiran seperti itu. Aku kerap menerima cemoohan dan komentar “fatphobic” setiap kami kumpul merayakan Natal.

“Kamu gendutan, ya?”

“Wah, kayaknya harus diet lagi nih bulan depan.”

“Kamu kurang cocok pakai dress itu.”

 “Tante sudah bikinin kue rendah lemak biar kamu enggak makin gemuk.”

Mereka akan melirik dengan tatapan menghakimi ketika aku mengambil makanan. Semua gerak-gerikku menjadi perhatian mereka.

Hubunganku dengan keluarga renggang karenanya. Aku akan mencari alasan enggak bisa merayakan Natal bersama. Aku gelisah memikirkannya dari September. Aku mencoba diet instan, tapi gagal. Terkadang berat badanku malah naik, yang akhirnya membuatku semakin cemas dan membenci diri sendiri. Aku sebenarnya suka merayakan Natal, tapi semangatku hilang karena sakit perut dan serangan panik.

Situasinya berubah beberapa tahun lalu, tepatnya sejak aku banyak membaca tentang budaya diet toksik yang telah tertanam di masyarakat dan bagaimana orang bertubuh besar diberi stigma oleh media dan budaya pop. Aku juga menerbitkan buku berbahasa Belanda tentang fat shaming. Aku mulai membela diri sendiri, dan tak lagi menoleransi fobia gemuk.

Dalam beberapa tahun terakhir, aku bersikap lebih frontal kepada keluarga. Aku memberi tahu mereka kalau aku enggak mau mendengar komentar mereka tentang tubuh, berat badan atau pola makanku.

Frekuensi fat-shaming yang aku terima berkurang, tapi tak benar-benar hilang. Leluconnya masih keluar dari mereka meski aku sudah menetapkan batasan yang jelas. Caraku merespons omongan mereka tergantung pada suasana hati. Kadang-kadang aku meninggalkan ruangan dan bersantai dengan saudara yang lain. Aku enggak pernah tertawa saat mereka bergurau tentang tubuhku. Aku akan pasang muka datar dan menanyakan di mana letak lucunya. Aku suka bertanya balik, “Memang apa pentingnya buatmu kalau tubuhku langsing?” Jika mereka menjawab hanya ingin aku bahagia, aku akan membalas komentar mereka sama sekali tidak membuatku bahagia.

Aku rasa banyak saudaraku yang terlalu mementingkan berat badan, sehingga komentar-komentar ini berasal dari perasaan minder dan obsesi mereka. Itu bukan alasan yang bagus, tapi seenggaknya bisa mengurangi perasaan tersinggung.

Orang tua dan kakek-nenek masih percaya bertubuh gemuk adalah mimpi buruk. Mereka enggak paham dunia sudah berubah, dan orang-orang mulai menyebarkan pesan “body-positive” di internet. Mereka enggak sadar mengomentari berat badan takkan mampu memotivasi seseorang, dan omongan mereka bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan fisiknya. Aku sudah memahami ketidaktahuan mereka sekarang, jadi aku akan menganggap komentar mereka sebagai angin lalu dan bahkan mengajarkan apa yang salah dari ucapannya jika sedang kepengin. Jika aku malas menghadapinya, aku akan bilang enggak mau membahas ini dan meminta mereka menghargainya.

Tahun lalu, aku merayakan Sinterklaas [hari libur yang dirayakan pada 5 Desember di Belanda] bersama keluarga. Sudah setahun lebih kami enggak bertemu, dan aku sangat gugup menghadapi mereka. Aku gonta-ganti baju untuk meminimalisir fat-shaming. Rasa takutku sudah meresap terlalu dalam. Tapi gapapa, aku sudah belajar untuk menerimanya.

Sebelum jalan, aku memberi tahu mereka sudah enggak sabar ingin ketemu. Cara ini berhasil. Tak satu pun saudaraku membahas berat badan. Kami makan apa saja yang kami suka. Momen kebersamaan kami jauh lebih nyaman dan intim dari sebelumnya.

Aku harap ini berlangsung untuk seterusnya. Aku merasa lebih dekat dengan keluarga setelah bersikap terbuka dan jujur serta meminta mereka menghargai perasaanku. Mereka masih membicarakan berat badan, dan aku masih berjuang melawannya. Tapi sekarang, aku bisa mengendalikan percakapan. Aku menegaskan kalau penampilanku dan apa yang aku makan saat Natal bukan urusan mereka.