Akun Twitter VICE sempat melontarkan pernyataan kepo ke netizen, “Apa keputusan terburuk yang lo pernah buat?” Pertanyaan itu ternyata berujung jadi diskusi panjang.
Akun @kenndaru, aktivis ‘98 mantan tahanan politik Orde Baru, menjawab pertanyaan dengan mengkritik “aktivis sekarang” yang terlampau sederhana menyamakan pemerintahan Joko Widodo dengan rezim Orde Baru, terutama di tengah gonjang-ganjing penolakan UU Cipta Kerja.
Cuitannya ramai direspons, mulai dari setuju dan tidak setuju. Ada pula netizen yang mengkritik Ken Ndaru, karena sebagai aktivis ‘98, dia justru membuat pernyataan yang mendiskreditkan aktivisme anak muda di era pascareformasi.
Obrolan seputar beda dan sama kebijakan Jokowi dan Suharto mengemuka, beberapa ikut berpendapat dan bikin perbandingan. Bagi aktivis yang kontra dengan pemerintah, UU Cipta Kerja dinilai sebagai cara Jokowi dianggap mengembalikan nuansa Orde Baru melalui kekuasaan terpusat. Selain itu ada pemberedelan opini oposisi di media sosial karena UU ITE, serta terlalu memuja pembangunan ekonomi.
Merespons saling-silang pendapat ini, VICE menghubungi beberapa orang Indonesia dari generasi baby boomer (lahir 1946-1964) dan generasi X (1965-1980) dengan berbagai latar belakang.
Kepada mereka yang pernah hidup cukup lama di era kekuasaan absolut Suharto tersebut, kami menanyakan tiga problem kunci: Benarkah ada kemiripan? Apa bedanya? dan jika dibandingkan, mana yang terasa lebih baik?
Berikut hasilnya.
Dodi, pegawai negeri sipil, 55 tahun
Kemiripan?
“Terasa sekali kemiripannya. Dulu, orang yang berbeda pandangan juga ditakut-takuti kalimat ‘Awas subversif’ atau ‘Hati-hati ada intel, mending enggak usah ikut-ikutan’ yang dipropagandakan media arus utama. Sekarang [era Jokowi] muncul juga tudingan tersebut ditambah label radikal dan anti-NKRI; perundungan kepada yang berbeda pandangan.”
Perbedaan?
“Bedanya, saluran aspirasi sekarang makin susah karena banyak dicurigai. Dulu, masih ada saluran aspirasi di lembaga pendidikan. Ada program penataran P4 [Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila] di sekolah atau kampus.
Di sana kita bisa membuat simulasi kondisi negara beserta berbagai alternatifnya. Semua aman kalau dalam wadah penataran P4, jadi media diskusi yang bebas dan bisa mengkritik pemerintah. [Perbedaan lainnya] di soal keamanan. Dulu aman banget, keluar malam enggak ada rasa takut.”
Mana lebih baik?
“Dulu, pembangunan terfokus ke sektor pertanian. Segala industri dan ekonomi bertumpu pada pertanian. Kalau dibandingin antara sekarang dengan kondisi tahun-tahun sebelum 1995, lebih enak dulu karena ekonomi kuat. Setelah ‘95, kondisi mulai tidak kondusif.
Tapi, enggak usah milih-milih lah [siapa yang lebih baik]. Kondisi sekarang sedang mengarah ke otoriter, mending luruskan lagi ke alam demokrasi. Berbeda pendapat dengan pemerintah itu hak dan dilindungi. Diberantas lah itu buzzer–buzzer. Logikanya, buzzer itu eksis kan karena ada yang ngelola. Siapa yang ngelola? Ya, yang punya uang. Terus siapa yang punya duit? Di situ muncul silang pendapat.”
Gunarso, wartawan, 69 tahun
Kemiripan?
“Enggak ada kemiripan. Zaman Orde Baru, Pak Harto bisa bentuk zaken kabinet [kabinet yang menterinya berasal dari kalangan ahli profesional, bukan representasi partai politik], mereka ahli di bidangnya masing-masing. Sedangkan Jokowi, 34 kursi kabinet setengahnya dikuasai parpol. Hasilnya, dia tidak bisa bebas bergerak menentukan kebijakan. Pilihan menteri pun Jokowi hanya manut apa yang disodorkan parpol. Prestasinya jadi banyak yang mengecewakan, alias rapor merah.”
Perbedaan?
“Zaman Orde Baru pers terkekang karena terancam pemberedelan. Sekarang, UU Pers telah menjamin tidak ada pemberedelan. Maka pers mengkritik sekeras apa pun, Jokowi hanya bisa bilang: Aku ra papa [aku enggak apa-apa]. Dihina pun presiden tidak bisa menuntut karena pasal penghinaan Presiden sudah dicabut MK. Mereka yang menganggap era Jokowi mirip Orba kan kebanyakan kalangan oposan. Cuma memang ketika menyikapi anak sendiri, Jokowi jadi hilang kenegarawanannya. Masak, [mantan calon wali kota Solo] Ahmad Purnomo dipanggil ke Istana hanya mau dikasih tahu kalau cawalkot Solo [di pilkada 2020] adalah Gibran putraningsun [putranya].”
Mana yang lebih baik?
“Secara ekonomi, enakan dulu. Tahun 1983, uang ‘Pak Harto senyum’ [Rp50 ribu] dipakai buat biaya persalinan masih jujul [sisa] Rp15 ribu. Secara politik, enakan sekarang, pers bebas mengkritik. Menulis narasi ‘manggut-manggut kayak Pak Harto’ dulu mana ada yang berani.”
Elisa, ibu rumah tangga, 50 tahun
Kemiripan?
“KKN masih ada, jadi masih rada mirip. Kultur ABS [Asal Bapak Senang] juga. Cuma sekarang orang jadi berani sama presiden. Dulu takut sekali. Oh ya, saya kecewa Jokowi biarin anaknya nyalon [jadi walikota]. Jadi sama aja kayak Pak Harto. Jokowi udah enggak sesuai omongannya.
Keluarga Jokowi juga udah berubah. Dulu saya suka bilang ke orang, ‘Aku ingin sederhana aja seperti Ibu Iriana’. Tapi, ternyata bisa berubah. Ya, namanya juga orang kaya. Image sederhana itu udah enggak ada.”
Perbedaan?
“Kalau zaman sekarang apa-apa serbamudah, zaman Orde Baru ekonomi sulit. Gaji suami [PNS] jangankan buat beli motor, mau kredit aja mikir-mikir. Gaji hanya pas untuk hidup. [Situasi] aman sih aman, tapi ekonomi sulit. Jadi kalo enggak kerja keras yang tidak hanya mengandalkan gaji, susah naik ke taraf hidup lebih tinggi. Di zaman Jokowi, PNS lebih sejahtera. Gaji gede.
Tapi, meski zaman Soeharto emang aman, orang enggak berani bersuara. Masalah politik juga jangan coba-coba [pilih selain Golkar], apalagi kalo abdi negara. Pilihan politiknya Asal Bapak Senang, hahaha.”
Lebih enak mana?
“Secara ekonomi sih enak sekarang. Taraf hidup itu naik. Padahal harga barang juga naik. Entah kenapa sekarang jadi bisa beli-beli. Sama Jokowi lebih royal, suka ngasih-ngasih buat rakyat yang susah.”
Sutarto, ketua RT, 61 tahun
Kemiripan?
“Ya beda. Beda karakter pemimpin. Kalau dulu pimpinan TNI sehingga kepemimpinan tegas, kalau sekarang kan dari sipil. Dari situ segalanya udah beda.”
Perbedaan?
“Pak Harto dulu kan lama jadi pimpinan sehingga pembangunan terencana seperti Repelita [Rencana Pembangunan Lima Tahun] itu karena enggak ganti-ganti pemerintahan. Kalau sekarang kan cuma dua periode, nah jadi pendekatannya pembangunan apa yang diprioritaskan.
Dua, masalah kebebasan berpendapat. Dulu kita sebagai masyarakat kalau menjelek-jelekkan pemerintah sedikit aja udah enggak bisa. Kalau sekarang kan bisa, kita mau kritik apa pun kan bebas gitu. Jadi, kita punya pendapat itu bebas, asalkan untuk kemajuan bangsa dan negara.
Tapi, masalah keamanan memang dulu zaman Orde Baru kita merasa tenang ke mana-mana. Kalau jaman sekarang ya itu, kita keluar rumah sedikit aja udah ketakutan sama begal, sama rampok.
Kalau sekarang, biaya anak sekolah dan biaya kesehatan bisa gratis. Kalau dulu kan anak sekolah itu enggak ada kayaknya yang enggak bayar. Zaman SD sampai SMA, mau kaya mau miskin tetep aja bayar.”
Lebih enak mana?
“Kalau zaman Orba itu kita enak hidupnya secara ekonomi dan keamanan. Setelah Reformasi, ya betul, kita bebas berpendapat, tapi kehidupan karena otonomi menimbulkan kesenjangan. Penghasilan daerah itu kan beda-beda. Yang sejahtera ya sejahtera, yang miskin tetap miskin. Itu yang jadi pembeda. Misal, PNS pusat sama daerah itu udah beda tunjangannya, tergantung hasil pendapatan daerah itu. Lebih enak zaman tersentral kan.”
Soe Tjen Marching, dosen University of London, 49 tahun
Kemiripan?
“Ada beberapa persamaan, yaitu: pembangunan mengarah pada ekonomi dan mementingkan hasil materi. Investasi dan industri diutamakan, tapi HAM seolah dilupakan. Begitu juga KPK semasa Jokowi. Jadi, pemerintahan saat ini tidak punya idealisme selain perkembangan ekonomi dan materi. Kebebasan berpendapat juga dikekang dengan adanya UU ITE, pelarangan diskusi damai, dan kembalinya stigma untuk kelompok minoritas atau rentan seperti LGBT dan ‘PKI’.
Saya tidak bilang ini semua salah Jokowi karena saya tahu wewenang presiden sekarang jauh lebih terbatas dari sebelumnya. Tapi dia sudah ikut andil dengan membiarkan saja.”
Perbedaan?
“Tentu banyak. Rezim ini tidak segila dan sekeji Orde Baru. Pelarangan buku tidak sekeras Orde Baru. Walau begitu, naskah novel saya, yang berdasarkan kisah nyata tentang Gerwani, sempat kena sensor Gramedia karena mereka sudah beberapa kali digerebek kelompok fundmentalis. Untungnya penerbit Marjin Kiri bersedia menerbitkan tanpa sensor. Novel saya ini tentu tidak akan bisa terbit pada masa Orde Baru.
Juga, [dulu] banyak sekali aktivis yang hilang. Sekarang aktivis cuma dipenjara. Tapi jangan nunggu sampai hilang, harus terus kita lawan. Kalau tidak dilawan, bisa-bisa tambah parah. Jadi memang belum seagresif di masa Orba.
Saya melihat Jokowi punya niat baik pada semula, tapi kemudian dia mungkin tahu kekuatan Orba belum pudar dan akhirnya untuk mempertahankan kekuasaan, dia mengganduli [terus-terusan bergantung pada] kekuatan ini. Bagi saya, apa yang terjadi ini karena masih ada kroni-kroni Orba yang ingin berkuasa kembali. Terutama ada yang ingin mengembalikan militerisme di Indonesia.”
Bisakah kita bilang zaman Jokowi masih lebih baik?
“Hidup yang enak bukan berarti pemerintahnya baik. Saya sudah menulis panjang lebar dalam novel saya juga tentang hal ini, dengan membandingkan antara zaman Belanda dan zaman Kemerdekaan. Dalam novel saya ada cerita tentang perempuan yang sakit keras. Pada zaman kemerdekaan, dia malah kesukaran mendapat obat. Kenapa? Karena obat-obatan impor menghilang dari rak. Kan banyak yang ditarik oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial yang kalah itu tentu tidak mau menyerah begitu saja. Mereka akan mencoba membuat hidup negara bekas jajahannya susah, supaya menyesal dan supaya menguatkan argumen bahwa pemerintah penjajah itu lebih baik. Artinya, mereka mau menjajah, tapi tetap merasa bermoral. Waktu Indonesia baru merdeka, hidup serbasusah. Semua harus membangun dari awal, sistemnya masih kacau. Inilah yang membikin beberapa orang rindu pemerintah Belanda juga waktu itu.
Inilah kesalahan banyak orang yang mengukur baik atau tidaknya pemerintah dari enak atau tidaknya hidup. Bagi saya ini salah kaprah. Enak atau tidak enaknya hidup itu sangat kompleks, tergantung dari banyak hal yang tak terhitung jumlahnya.”