Beberapa waktu lalu, VICE sempat menulis tentang kerentanan pada mainan seks laki-laki chastity cage (alat pengunci kemaluan) yang diproduksi oleh perusahaan Cina Qiui. Penis pengguna akan terkunci selamanya jika sampai alat tersebut diretas. Cincin ini tidak memiliki kunci manual, sehingga dibutuhkan mesin gerinda atau tang baut untuk membukanya. Tapi pada saat artikel VICE terbit, belum ada bukti eksploitasi dari kerentanan ini.
Apa yang dikhawatirkan peneliti keamanan siber kini menjadi kenyataan. Akhir tahun lalu, akun sejumlah pengguna CellMate — nama alat itu — dibobol peretas. Kendali mainan seks otomatis berada di tangan peretas, sedangkan pemilik asli tak lagi bisa mengakses perangkat mereka. Sam Summers merupakan salah satu korbannya.
Sam sedang duduk dengan penis terkunci ketika menerima pesan aneh di aplikasi yang terhubung ke perangkat CellMate miliknya. Seseorang mengancam baru akan mengembalikan akses ke tangan Sam setelah dia bayar tebusan US$1.000 atau setara Rp14 juta.
“Saya kira cewekku lagi iseng,” Sam memberi tahu Motherboard melalui telepon. “Kedengarannya tolol, tapi saya terangsang mendengarnya.”
Sam menelepon pasangannya untuk menanyakan ini, tapi dia bilang bukan dirinya yang mengirim pesan. Perempuan itu bersikukuh tidak mengirim pesan apa pun bahkan setelah Sam menyebutkan kata aman mereka (kata aman berguna untuk membuka kunci). Dari situlah Sam menyadari pasangannya tidak bercanda. Alat itu benar-benar diretas. Tidak ada cara baginya untuk membuka kunci.
“Saya mengamati cincin, dan tidak menemukan pembatalan manual. Saya rasa chastity belt memang tidak punya [pembatalan darurat]. Tapi ini kan digital. Seharusnya ada kunci atau apa gitu, kan? Ini tidak ada sama sekali,” kenang Sam.
Dia panik bukan kepalang, khawatir kemaluannya akan terkunci untuk selamanya. Sam ingat masih punya simpanan Bitcoin di akun lamanya. Dia membayar sesuai jumlah yang diminta, tapi peretas malah minta lebih.
“Tidak ada salahnya kalau kalian suka pakai itu, tapi pastikan kalian punya kunci fisik. Kalian tidak dapat memercayai alat digital semacam ini.”
“Saya merasa sangat bodoh dan marah,” ungkapnya.
Bersama pasangan, Sam mulai memikirkan cara membebaskan penisnya. Mereka akhirnya membeli tang baut karena cuma ada palu di rumah. Kekasih Sam berusaha memotongnya, tapi gagal. Mau tak mau harus dia sendiri yang mencobanya. Pengalaman itu “sangat menakutkan”. Salah sedikit bisa berakibat fatal. Apalagi Sam memegang penisnya dengan cara yang “berbahaya”.
Cincinnya berhasil dibuka, tapi kulitnya ikut terpotong. “Anunya berdarah. Sakit banget rasanya,” Sam melanjutkan.
Gara-gara kejadian itu, mereka berdua tidak bisa bercinta selama sebulan lebih. Pengalaman traumatis ini membuat Sam berpikir seribu kali untuk menggunakan perangkat terhubung internet, terutama yang bersangkutan dengan alat kelaminnya.
“Tidak ada salahnya kalau kalian suka pakai itu,” tuturnya. “Tapi pastikan kalian punya kunci fisik. Kalian tidak dapat memercayai alat digital semacam ini.”
Sam langsung membuang CellMate miliknya dan menghapus aplikasi dari ponsel. Peristiwa itu memang tidak bisa disebut pelecehan atau serangan fisik, tapi Sam merasa dilecehkan.
“Orang yang tidak kalian kenal tiba-tiba memasuki dunia pribadi kalian. Dunia yang hanya kalian dan pasangan ketahui,” dia berujar. “Mereka melakukan itu tanpa persetujuan. Kalian tidak bisa melakukan apa-apa [untuk menghentikan mereka].”