Salah satu keluarga korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182 mengajukan gugatan hukum terhadap Boeing atas peristiwa tragis bulan lalu. Mereka menuding pabrikan pesawat asal Amerika Serikat tersebut turut bertanggung jawab, sebab ada kemungkinan kecelakaan terjadi lantaran pesawat mengalami “cacat yang sangat berbahaya”.
Gugatan tersebut didaftarkan di pengadilan Negara Bagian Illinois, yang merupakan lokasi kantor pusat Boeing. Firma hukum Wisner, mewakili penggugat yang tiga anggota keluarganya meninggal dalam insiden di Kepulauan Seribu, menyatakan gugatan resmi dimasukkan ke pengadilan pada 25 Januari 2021. Alexandra Wisner selaku pengacara mengaku sudah bersiap-siap bila Boeing akan segera membantah tudingan yang dilayangkan pihaknya.
“Langkah berikutnya adalah Boeing akan menjawab…mereka kemungkinan akan menolak semua tuduhan itu…dan kasus ini akan bergerak ke soal temuan. Boeing akan ditanya tentang informasi dan dokumentasi terkait jatuhnya pesawat,” tuturnya kepada BBC News Indonesia.
“Berdasarkan penyelidikan awal kami, tampaknya kasus ini adalah kerusakan mesin yang sangat fatal.” Ia memprediksi butuh waktu sekitar dua tahun untuk kasus ini bisa diselesaikan, apalagi mengingat pandemi masih berlangsung.
Dari data yang diperoleh The Guardian, dokumen gugatan menuding pesawat Boeing 737-500 yang diterbangkan Sriwijaya Air saat insiden sedang dalam kondisi cacat. Ada dugaan malfungsi sistem autothrottle yang berperan sebagai pengendali mesin dan penerbangan secara otomatis. Selain itu, pihak penggugat menuding mesin pesawat mengalami korosi “sehingga macet di posisi terbuka selama penerbangan, mengakibatkan pada kompresor gagal berfungsi normal dan tidak terkendali”.
Kecelakaan pesawat Sriwijaya Air dengan rute Jakarta-Pontianak itu terjadi pada 9 Januari lalu. Beberapa menit setelah lepas landas, pesawat dilaporkan menukik dan jatuh, membuat seluruh 62 penumpang dan kru meninggal. Proses pencarian korban dan serpihan pesawat segera dilakukan tim gabungan Basarnas. Penyelam yang diterjunkan telah menemukan flight data recorder (FDR) pada 12 Januari. Sejauh ini jasad 53 korban kecelakaan nahas itu sudah teridentifikasi.
Dalam rilis pers yang diterima VICE, Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengatakan berhasil mengunduh dan sedang membaca data FDR. Kepala KNKT Nurcahyo Utomo menjelaskan bahwa proses pencarian saat ini difokuskan pada cockpit voice recorder (CVR) yang berisi percakapan pilot dalam kokpit. Menurut perkiraan, laporan awal mengenai penyebab kecelakaan akan disampaikan pada awal bulan ini.
Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson Irwin Jauwena, sesaat setelah pesawat dipastikan jatuh, menyampaikan belasungkawa kepada para keluarga korban. Begitu pula dengan manajemen Boeing yang mengatakan dalam pernyataan resmi, mengklaim “para insinyur kami sedang membantu investigasi dan kami terus menawarkan dukungan apa pun yang diperlukan selama masa sulit ini”.
Boeing bukan kali ini saja harus berurusan dengan hukum. Usai kecelakaan Boeing 737 MAX yang menimpa Lion Air dan Ethiopian Air dengan total kematian 346 penumpang serta kru, perusahaan penerbangan itu terus mendapatkan gugatan.
Merujuk laporan CNBC, pada Januari 2021, pemerintah Amerika Serikat mewajibkan Boeing membayar ganti rugi US$2,5 miliar karena dinyatakan terbukti menyembunyikan informasi mengenai pesawat 737 MAX. Jaksa menyebut Boeing sangat sadar melakukan konspirasi untuk menipu otoritas penerbangan Amerika Serikat saat proses penyelidikan terhadap keamanan pesawat berlangsung. Boeing pun mengaku tuduhan itu dan bersedia membayar denda.
Dalam kasus berbeda namun menambah sorotan negatif bagi Boeing, kantor berita Reuters melaporkan sebuah perusahaan asal Kuwait menuntut ganti rugi US$336 juta pada April 2020 kepada pabrikan pesawat itu. Alasannya Boeing dituduh menolak pengembalian pembayaran uang muka. Gugatan disampaikan lantaran perusahaan tersebut membatalkan pemesanan 40 pesawat 737 MAX.