Tiga tahun lalu aku sempat bersepakat dengan pacar untuk menikah. Restu orang tua dengan mudah kami kantongi, tapi bukannya mulai berburu lokasi resepsi, pertanyaan penuh keraguan malah membayangi. Aku khawatir banget sebenarnya kami enggak cocok, cuma belum ketahuan aja. Mencoba mencari penenang, aku nanya ke tiga teman yang udah nikah soal gimana mereka mutusin nikah sama pasangan mereka sekarang.
Mereka enggak terlalu menjawab sih. Teman pertama bilang ia “merasa cocok aja” dengan istrinya sekarang. Teman kedua bukannya jawab malah ngasih tips langgeng berumah tangga. Ia memintaku diminta membayangkan “rentang toleransi” atas hal yang tidak kusukai dari pasangan.
Setelah itu aku diminta berlatih memperpanjang rentang toleransi itu biar tidak gampang marah, hahaha. Sedangkan teman ketiga yang punya pengalaman bercerai mengimbau agar aku “ngelarin dulu semua masalah dengan diri sendiri”.
Pengalaman ngepoin persiapan pranikah tadi melintas lagi di kepala gara-gara pekan lalu aku membaca pos selebtwit Edward Suhadi. Kata doi, sewaktu bikin sesi tanya-jawab soal hubungan dan pernikahan, 80 persen pertanyaan masuk nanyain tata cara mendeteksi pasangan yang tepat. Jawaban Edward cukup bijak, daripada sibuk nyari-nyari pasangan yang sempurna, mendingan fokus mengolah diri biar sama-sama bahagia.
Yaelah, aku jadi penasaran lagi, dan jawaban Edward belum memuaskanku. Maksudku, kali aja kan ada semacam indikator praktis buat ngejawab pertanyaan pasangan yang tepat itu? Semacam sesuatu yang objektif modelan “Jangan nikah beda kasta” atau “Laki-laki yang makannya enggak berisik harus kamu nikahi”.
Emang sih, daftar tanda begituan bisa ditemukan di situs web kayak Cosmopolitan. Dari yang bilang “kamu tidak malu jadi diri sendiri ketika bersamanya”, “dia bisa diandalkan ketika susah dan senang”, sampai soal “seksnya oke”. Wikihow bahkan punya panduannya. Tapi tapi tapi aku pengin dengar langsung dari orang berpengalaman, gitu.
Aktivis perempuan Kalis Mardiasih yang baru-baru ini aku tanyai memberi gambaran lebih konkret. “Dia harus bukan 212. Aku juga harus bisa melihat masa depanku dengan dia,” jawab Kalis yang menikahi lelaki idamannya dua tahun lalu.
“Pas sama Agus [suami Kalis], aku bisa membayangkan aku akan jadi penulis, bisa belajar apa saja enggak dilarang Agus. Keluarga kami sama-sama miskin. Teman-teman kami juga sama. Bersama dia, aku bisa membayangkan masa depan dengan sangat jelas, yang sepertinya tidak menyeramkan. Tapi jikapun sulit, aku tahu bagaimana cara menghadapinya.”
Aku juga bertanya ke psikolog Daniar Dhara Fainsya, yang bermukim di Yogyakarta. Syukurlah, kata dia kita bisa kok mengetahui pasangan kita sekarang udah tepat apa belum. Caranya dengan ngukur dia berdasar kriteria kita.
“Enggak jarang orang dengan kelekatan yang secure dengan orang tua memiliki preferensi mencari pasangan yang mirip orang tuanya. Atau sebaliknya, orang dengan kelekatan yang insecure dengan orang tua akan mencari pasangan yang berlawanan karakter dengan orang tua,” jawab Niar.
Biar bisa tahu kriterianya seperti apa, ada syarat nih: seseorang harus tahu dong apa yang ia mau. Sehingga, kata Niar lagi, penting banget buat seseorang lebih mengenal dengan dirinya sendiri sebelum mencari pasangan ideal.
Kalau pasangan udah memenuhi kriteria kita, hati pun bakal mantap. Nah, hati yang mantap ini, menurut Diah Purwita Rini, psikolog dan pendiri Miracle Psychology Yogyakarta, adalah tanda kita siap memasuki tahap lebih serius. Eh, jadi kalau kita meragukan pasangan, itu tanda cinta enggak kuat, gitu?
Ternyata enggak. Rini menjelaskan cinta itu ada bermacam jenis cinta, termasuk cinta yang fluktuatif. Rini terus ngingetin bahwa meragukan pasangan mah beda soal sama cinta yang tidak kuat. “Untuk menuju taraf yang lebih serius, itu tidak hanya cinta, bukan hanya perasaan, tapi juga memikirkan apakah bisa bersinergi di banyak aspek.”
Ia menjelaskan lebih detail, “Banyak pasangan yang merasa cintanya kuat, merasa cocok, tapi belum pernah dihadapkan dengan masalah [misalnya] keuangan. [Katakanlah] ternyata laki-lakinya tidak seterbuka yang perempuan. Yang perempuan akan bersikap, ‘Mas, aku ada pegang duit segini, aku ada kebutuhan ini,’ tapi yang laki-laki punya duit berapa pun dia pegang, lalu sesukanya buat jalan, jajan, bantu teman, padahal istrinya sedang butuh. Si istri jadi merasa tidak diprioritaskan, padahal si suami tidak bermaksud begitu—seandainya si istri minta dia akan pasti kasih. Cuma keterbukaannya memang nggak ada. Itu akan jadi masalah yang besar.”
Rini terus ngasih tips agar pasangan berusaha mengenali watak asli satu sama lain. Tujuannya biar kalau ada perbedaan, dua-duanya bisa menilai kesiapan diri. “Karena kalau pacaran itu bener-bener pas seneng aja. Kalau bete biasanya enggak mau ketemuan. Jalan juga pas hepi, jadi bisa disuasanakan, bisa dipoles. Sedangkan setelah menikah, 24 jam hidup bareng, kita akan tahu kebiasan buruknya. Apakah bisa menerima atau enggak, itu kan belum tahu, jadi cobalah untuk duduk bersama lalu dengan sangat siap menerima dan melihat apa sih [kepribadian masing-masing yang] sebenernya.
Kita juga bisa belajar dari masalah yang sering dihadapi Rini sebagai konselor pernikahan. Ia kerap menghadapi problem rumah tangga gara-gara perselingkuhan, isu pembagian peran suami-istri, dan pengaturan batas.
Maksud pengaturan batas ini kayak ketika ada suami yang punya sifat tidak enakan sehingga jadi lebih peduli pada orang di luar keluarga. Akibatnya, keluarga jadi ngerasa dinomorsekiankan. Rini juga lebih sering didatangi langsung oleh klien perempuan. Umumnya sih karena ada masalah mereka udah enggak kuat dicurigai terus-menerus, atau karena sudah sangat diabaikan suami.
Dasar emang bakat, aku jadi penasaran lagi kapan pasangan menikah perlu datang ke konselor pernikahan. Rini mengatakan, umumnya ketika pasangan udah ngerasa komunikasi terhambat. Mulai dari sering salah paham, bertengkar, atau ketika salah satu merasa berkorban atau sakit hati, tapi pasangannya malah enggak ngerasa bersalah.
Ia menyarankan, jika pasangan punya problem dan tak bisa membuat win-win solution, datang aja ke psikolog di puskesmas atau rumah sakit. Dari sana psikolog akan menentukan perlu atau tidak merujuk ke konselor pernikahan.
Well, aku jadi punya kesimpulan kayak gini: pasangan yang tepat adalah pasangan yang bersedia menghormati kita, dan kita pun bersedia menghormati dia. Sebab, rasa hormat itu akan bikin orang lebih niat dalam ngejaga kepercayaan dan perasaan. Apalagi kalau berpasangan dengan orang yang membawa luka dan trauma, partner mesti lebih sensitif.