Tak lama sejak Covid-19 pertama kali muncul di Indonesia, banyak orang mendadak harus bekerja atau sekolah dari rumah. Berbagai aktivitas yang tadinya kita bisa lakukan di luar ruangan terpaksa harus dihentikan. Alternatif hiburan yang tersedia tak lain adalah berselancar di internet.
Dengan waktu “luang” yang tiba-tiba melimpah, seperti manusia normal lainnya, aku pun memalingkan perhatian pada konten televisi yang bisa membangkitkan nostalgia.
Salah satu temuan paling berharga bagiku selama pandemi adalah kesempatan nonton ulang sitkom Bajaj Bajuri. Sempat sangat tenar, generasi 90-an yang tumbuh besar dengan televisi di rumahnya tentu familiar pada keseharian Bajuri, Oneng, Ucup dan Emak di pinggiran Jakarta. Bajaj Bajuri sendiri punya lebih dari seribu episode yang ditayangkan sejak 2002 hingga 2006.
Tetapi, kita enggak pernah benar-benar tahu seperti apa akhir cerita keluarga unik ini, karena stasiun televisi yang menaunginya tiba-tiba menyudahi sitkom tersebut. Alasannya sih karena ratingnya terus menurun. Sedangkan Bajaj Bajuri Edisi Salon Oneng, diproduksi setelah Bajaj Bajuri sukses, sempat kembali populer walau enggak bertahan lama. Siapa sangka, beberapa episodenya bisa disaksikan lewat kanal streaming.
Sebenarnya, ketika ditonton ulang, banyak sekali adegan dan dialog dalam Bajaj Bajuri di kedua versi yang bisa dipastikan problematis untuk standar netizen ibu kota saat ini. Misalnya, karakter Ucup yang dimainkan Fanny Fadillah selalu jadi target cemoohan karena kulitnya gelap dan miskin.
Mpok Leha, penjaga warung, pernah bilang dia itu kalong karena gelap, terus suka keluar malam hari buat menakut-nakuti orang. Ucup sendiri juga menyebut Said yang punya wajah Timur Tengah sebagai “unta”. Bayangin kalau acara televisi populer zaman sekarang masih pakai guyonan semacam ini, bisa diprediksi akan muncul thread dari pengguna media sosial tentang body shaming dan rasisme.
Lalu, penggambaran sosok Oneng yang diperankan Rieke Diah Pitaloka juga berpotensi mengundang perdebatan. Kurang lebih seperti waktu karakter Bu Tejo dalam film pendek berjudul Tilik mendadak terkenal dan diperkarakan di media sosial karena dinilai memainkan stereotip perempuan desa tukang julid.
Nah, istri Bajuri itu dipotret sebagai perempuan yang sangat domestik dan lemot bukan main sehingga sering salah paham. Bajuri pun berkali-kali membentak Oneng karena karakter tulalit yang susah diperbaiki itu bikin kesal.
Contoh nih, saat mereka baru punya telepon rumah, Bajuri tanya ke Oneng: “Tadi waktu gue pergi ada telepon enggak?” Sambil melipat baju di tempat tidur, dia jawab: “Ada noh di ruang tamu. Dari mulai pasang sampai sekarang itu telepon di situ, kagak ada yang pindahin.” Sejujurnya Oneng enggak keliru. Memang telepon mereka ditaruh di ruang tamu, kan?
Guyonan seputar seks juga bolak-balik dipertontonkan. Siapa lagi dalangnya kalau bukan Pak Yanto? Supir truk paruh baya yang sekalinya pulang ke rumah malah keluyuran itu dikenal di kampungnya sebagai mata keranjang. Setiap ngobrol dengan karakter laki-laki, topik bahasan mereka enggak jauh dari selangkangan dan selingkuhan.
Istri Pak Yanto, Mpok Hindun, digambarkan sebagai perempuan 50-an tahun yang genit dengan kebaya yang memperlihatkan belahan dadanya. Dalam suatu adegan di salah satu episode, Mpok Hindun dijuluki sebagai ayam tua, sedangkan Pak Yanto butuh ayam muda.
Tetapi, benarkah semua ini tak menggambarkan realitas masyarakat menengah ke bawah di perkampungan ibu kota? Mereka adalah demografi yang sampai sekarang tetap loyal mengonsumsi televisi, tapi sering direpresentasikan minor dalam layar kaca oleh para pemilik media.
Realitasnya body shaming, rasisme, dan seksisme adalah obrolan yang memang sering muncul dalam keseharian. Kita tentu tak perlu menormalisasinya, tapi faktanya, isu macam ini memang ada.
Pada saat yang sama, terobosan paling menarik dari Bajaj Bajuri adalah keberaniannya menerabas tabu. Mpok Hindun adalah contoh paling jelas. Perempuan seusianya secara terang-terangan memperlihatkan gairah seks, yang dalam “adat ketimuran” kerap dipandang negatif. Dalam hal ini, Mpok Hindun menjadi sosok perempuan yang tak merasa perlu minta maaf kepada masyarakat hanya karena menjadi diri sendiri.
Mampirnya beberapa karakter pekerja seks juga harus diapresiasi, meski hanya terkesan sebagai pajangan. Penggambaran pekerja seks di sitkom ini lebih bagus daripada sinetron sekarang yang mengesankan profesi tersebut terlalu ekstrem ditampilkan di layar televisi. Padahal di kota besar, keberadaan pekerja seks adalah hal lumrah, tak peduli seberapa keras usaha pemerintah atau Satpol PP buat menyingkirkan mereka.
Dengan bekal kenakalan itu, yang eksekusinya bisa problematis atau malah menarik, Bajaj Bajuri mencapai puncak kejenakaan ketika menyinggung topik-topik aktual, dan dekat dengan keseharian, pada masanya.
Pak Yanto, Ucup, Said dan Pak RT dalam salah satu episode pernah nonton bokep bareng di siang bolong. Kata Pak RT: “Mumpung undang-undangnya belum sah.” Maksudnya Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang kala itu. Celetukan ini tengil banget karena sebelum diketuk palu oleh DPR, cukup banyak elemen masyarakat yang mempertanyakan urgensi dari aturan tersebut.
Contoh berikutnya adalah soal persepsi terhadap bahasa Arab yang disamakan dengan Islam. Dalam suatu episode soal kenduri, Pak RT menolak memimpin doa. Said meminta pamannya, orang asli Timur Tengah, yang duduk di sebelahnya buat menggantikan. Kebetulan dia enggak bisa bahasa Indonesia. Ngobrol lah mereka berdua dengan bahasa Arab yang intinya si paman juga enggak bersedia.
Tiba-tiba warga malah merespons dengan “amin” karena mengira dia lagi berdoa. Ini bisa jadi sentilan buat orang-orang yang selalu mengidentikkan Islam dengan Arab atau untuk mereka yang bisa membaca huruf Arab dari Al Quran, tetapi enggak tahu artinya. Padahal orang Arab juga kalau mengumpat pakai bahasa Arab, kan?
Ucup enggak kalah mind-blowing. Awalnya dia bekerja sebagai tukang ojek yang beberapa kali kena tipu, apalagi sama perempuan yang dipandangnya menarik. Lalu, dia jadi pengangguran yang sering utang, bahkan sampai susah bayar kontrakan. Tetapi, Ucup sepertinya punya koleksi jersey sepak bola yang jumlahnya enggak sedikit.
Beberapa orang curiga sebenarnya itu palsu alias bisa dibeli di pasar. Beberapa yakin sebenarnya itu asli. Kenapa? Mendapatkan jersey KW Manchester United, Arsenal, Barcelona, timnas Inggris atau Argentina sih mudah. Cuma Ucup juga pernah memakai jersey retro lengan panjang Celtic dan Deportivo La Coruna. Dia pun punya jersey timnas Nigeria edisi Piala Dunia 2002. Ini jenis jersey yang agak susah dicari.
Kreator Bajaj Bajuri enggak menjelaskan soal ini. Jadi, memang bisa saja semua koleksi jersey Ucup palsu. Apa pun kebenarannya, tetapi dia bisa dipastikan adalah seorang glory hunter karena di rumahnya juga ada poster AC Milan dan Manchester United. Di kehidupan nyata, orang seperti Ucup menempati kasta terbawah dari penonton sepak bola.
Dengan segala guyonan menggelitik sekaligus problematis yang ditampilkan, Bajaj Bajuri masih tetap layak diapresiasi sebagai satu dari beberapa sitkom dalam negeri yang lugas menggambarkan (sekaligus memprioritaskan) ragam pengalaman masyarakat menengah ke bawah di pinggiran Jakarta.
Komedi macam ini belakangan semakin langka dari layar kaca, digantikan lawak variety show (yang juga akhirnya redup), dan justru, banyak orang kini tertawa melihat cuplikan sinetron yang mutunya acakadut, lalu diunggah ulang ke media sosial.
Setidaknya, dalam Bajaj Bajuri, kalau kita sampai tertawa itu semua karena tayangannya. Berbagai candaan tersebut adalah snapshot singkat tentang negara yang kita tinggali, dengan segala ketidaksempurnaannya.