Home Uncategorized Kok Bisa Ada Orang Suka Jadi Haters ‘Profesional’? Ini Alasannya Menurut Psikolog

Kok Bisa Ada Orang Suka Jadi Haters ‘Profesional’? Ini Alasannya Menurut Psikolog

544
0
kok-bisa-ada-orang-suka-jadi-haters-‘profesional’?-ini-alasannya-menurut-psikolog

Sebagian besar orang menonton film sebagai hiburan, karena mereka memang menyukai tontonan tersebut. Ada juga yang penasaran dengan filmnya gara-gara ramai dibicarakan di dunia maya. Namun, yang paling menarik adalah tak sedikit orang sulit menahan godaan untuk tidak menyaksikan sesuatu, padahal sejujurnya mereka amat membenci hal itu.

Contohnya seperti Emily in Paris, serial Netflix yang disaksikan lebih dari 58 juta akun pada empat pekan pertamanya. Serial komedi itu bisa laris bukan karena kualitas yang bagus, melainkan banyak orang menonton murni untuk menghujat jalan ceritanya. Emily in Paris panen kritik, tapi musim ketiganya sedang digarap berkat kesuksesan penayangannya.

Fenomena yang biasa disebut “hate-watch” sering sekali terjadi di sekitar kita. Terkadang orang sengaja menyaksikan hal-hal yang mereka benci untuk mengkritik atau menghinanya. Mereka memperoleh secuil kesenangan dari tindakan itu. Kamu sadar betapa norak selebgram satu ini, tapi kamu tak bisa berhenti mengikuti setiap drama yang ia mulai. Itulah kesempatan emas bagimu mengata-ngatai kebodohannya.

Pada kenyataannya, banyak dari kita suka membenci, dan media sosial semakin menyuburkan kebiasaan ini. “Selalu ada media untuk membenci dari jauh,” terang JR Ilagan, psikolog klinis di Manila. “Kebencian yang dimaksud tertuju pada konten publik, persona dan sebagainya.”

Ilagan mengungkapkan hate-follow atau hate-watch mulai berkembang beberapa tahun terakhir, sejak internet mendekatkan kita dengan orang-orang yang dulu mustahil dijangkau. Tapi ada kalanya, tindakan ini sesimpel geli atau malu melihat postingan teman yang cringe abis.

Pertanyaannya, mengapa kita melakukan ini? Apa sebenarnya yang bikin kita ketagihan memantau hal-hal yang dibenci? Untuk memahami fenomena hate-watch, Ilagan menyampaikan kita bisa melihatnya dari aspek biologis, psikologis dan sosial.

Secara biologis, kita bisa menemukan kegembiraan dari hal yang tidak disukai

“Rasa benci, cinta dan senang merupakan respons emosional yang kuat. Kadang-kadang, otak akan melepaskan neurotransmiter pada saat kita merasakan emosi yang begitu kuat, [bahkan] tanpa adanya ancaman nyata,” Ilagan menjelaskan.

Senyawa kimia yang muncul biasanya serotonin, dopamin dan oksitosin, alias “hormon bahagia” yang dapat menimbulkan perasaan positif. Inilah mengapa kita justru merasa senang saat membenci sesuatu. Misalnya, acara realitas TV yang dulunya begitu dibenci menjadi tontonan favorit selama pandemi karena dapat menenangkan pikiran di tengah segala tekanan dan ketidakpastian.

Berbagai penelitian menemukan orang jauh lebih bahagia ketika mereka mampu merasakan emosi, meski emosinya negatif sekalipun. Saat Ria Ricis pura-pura pamit dari YouTube, kamu bisa saja mengabaikan beritanya dan melakukan hal lain yang lebih berfaedah. Tapi bukankah lebih menyenangkan jika kamu bisa ikut mengolok-olok sang YouTuber?

“Pengalaman semacam ini bisa bikin ketagihan karena rasanya menyenangkan pada tingkat emosional,” tutur Ilagan.

Secara psikologis, kita suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain

Menurut Ilagan, dengan memantau hal-hal yang memicu emosi negatif, kita akan terdorong untuk membandingkan diri sendiri. Kita bisa saja cemburu atau bersyukur setelah melihat kehidupan suatu tokoh dalam film, tapi medsos telah menjadi alasan utama kita suka mengintip kehidupan seseorang dan membandingkannya dengan kehidupan pribadi.

Ilagan membeberkan kebiasaan ini bisa muncul dalam dua bentuk. Pertama, kita iri melihat orang lain hidupnya jauh lebih bahagia. Kita sadar hanya akan menimbulkan rasa dengki saat ngepoin akun medsos mereka, tapi tanpa sadar kita rajin mengecek ada kabar terbaru apa lagi dari mereka. Kecemburuan ini kemudian dapat menumbuhkan rasa benci dalam diri kita.

Tidak jarang juga orang diam-diam mengikuti postingan teman atau orang lain yang hidupnya tidak seberuntung mereka untuk merasa lebih baik dengan dirinya sendiri.

Secara sosial, kebencian bisa mempersatukan orang

Kamu pasti pernah merasa ingin mencak-mencak di Twitter usai menonton film yang jeleknya bukan main. Setelah itu, kamu memasukkan judulnya di kolom pencarian untuk melihat berapa banyak orang yang sependapat denganmu. Atau bahkan, kamu mengajak teman nonton bareng untuk menghujatnya bersama-sama.

“Lebih menyenangkan jika kita punya teman yang sama-sama membenci sesuatu,” ungkap Ilagan. “Bisa dibilang musuh kalian sama.”

Karena alasan ini jugalah orang nobar The Room untuk mencemooh ucapan gaje dalam film dan melempar sendok ke layar lebar.

Ilagan lebih lanjut menyampaikan bergunjing atau ngegosip bisa mendekatkan kita dengan orang lain. Beberapa orang rela mengikuti profil medsos teman yang menyebalkan, lalu menyebarkan hal-hal bodoh yang mereka lakukan kepada sobat ngerumpi. Ada pula yang sengaja memfoto adegan tolol dalam film dan mengejeknya di Insta Story.

Salahkah kita jika melakukan ini?

Ilagan berpandangan semuanya tergantung pada alasan dan motivasi kamu melakukan hate-watch. Terkadang media yang kita konsumsi tidak sesuai ekspektasi, sehingga kita ingin membicarakan kenapa kita menganggapnya kurang bagus. Selain itu, keinginan untuk panjat sosial telah mendorong sebagian orang melakukan hal-hal yang patut dipertanyakan. Dengan demikian, sangatlah wajar jika kamu ingin mengkritik konten yang memang jelek.

“Orang bisa merasa kesal karena terkadang hal-hal yang dilakukan dan dibagikan netizen di internet begitu konyol,” tutur Ilagan. “Ada ekspektasi untuk sadar diri saat membagikan konten dan media [di medsos]. Dengan kata lain, kamu perlu mengetahui situasinya [sebelum memuat unggahan].”

Ilagan menerangkan, kamu perlu memperhatikan caramu mengelola rasa benci itu. Katakanlah kamu nge-stalk postingan teman di medsos. Apakah kamu sadar kalau kamu melakukannya sekadar untuk membuat perasaan lebih baik, atau kamu justru menjadikannya alasan untuk membenci mereka?

Tindakan ini menjadi bermasalah apabila sampai membuatmu gampang membenci orang lain dan mencari-cari alasan untuk tidak menyukai mereka. Hate-watch atau hate-follow sudah di tahap tidak normal jika itu mendorong kamu untuk meninggalkan komentar yang melukai perasaan orang lain. Kalau sudah begini, kayaknya kamu perlu rehat dari medsos.

Follow Nikki Natividad di Instagram.