Singapura mengaku sebagai negara kaya raya yang memiliki beragam budaya. Kru serial HBO, Westworld, bahkan sampai memilih negara kecil ini sebagai lokasi syuting musim ketiga karena takjub dengan kemodernan hidup di sana.
Namun, Singapura tampaknya tidak semaju perkiraan. Nilai-nilai tradisional yang problematik sudah telanjur mengakar kuat di masyarakat. Diskriminasi terhadap komunitas LGBTQ pun masih sangat tinggi.
Singapura menegakkan hukum kolonial yang melarang melarang hubungan sesama jenis. Pada Juni, seorang warga membuat petisi agar siaran langsung perayaan Pride Pink Dot diberi peringkat dewasa karena “mengandung konten yang mempromosikan homoseksualitas”. Meski acaranya tetap dilangsungkan, petisi ini mengumpulkan lebih dari 30.000 tanda tangan.
Media lokal juga belum bisa melepaskan diri dari sikap homofobik. Lembaga penyiaran publik nasional, Mediacorp, dikecam habis-habisan karena menggambarkan tokoh gay secara negatif. Mediacorp baru meminta maaf beberapa bulan setelah dramanya tayang. Ketatnya penyensoran oleh pemerintah Singapura menyebabkan representasi positif tokoh LGBTQ sangat jarang ditemukan.
Platform inklusif sekelas Netflix pun masih terjerat peraturan anti-LGBTQ begitu masuk Singapura. Serial dan film di layanan streaming ini dikategorikan konten dewasa hanya karena sarat LGBTQ.
Setelah membandingkan klasifikasi usia pada 10 tontonan Netflix di Asia, VICE menemukan Singapura adalah negara yang paling ketat meregulasi konten LGBTQ sejauh ini.
Acara makeover Queer Eye mendapat kategori “R21 (restricted 21)” gara-gara menampilkan lelaki gay. Reality TV ini hanya untuk “penonton 21 tahun ke atas”. Queer Eye dikategorikan PG12 di Jepang; 13+ di Filipina, India dan Indonesia; dan PG15 di Korea Selatan.
Sitkom Modern Family mempertontonkan pasangan gay yang mengadopsi anak. Di saat negara lain memberi rating yang sama seperti Queer Eye, acara ini dilabeli R21 di Singapura. Modern Family tidak tersedia di Netflix India.
Program fesyen Styling Hollywood bisa ditonton semua umur di Jepang, tetapi hanya bisa disaksikan orang dewasa di Singapura. Acara ini dibintangi stylist Jason Bolden dan suaminya Adair Curtis.
Ini jelas tantangan berat bagi Netflix, yang konten originalnya sering menampilkan tokoh queer sebagai peran utama dan pendukung. Layanan streaming Amerika ini tergolong vokal menentang transfobia. Pada 2019, Netflix menghentikan produksi di North Carolina sebagai bentuk protes terhadap undang-undang yang melarang kelompok transgender masuk ke kamar kecil sesuai jenis kelamin pilihan mereka. Netflix memberikan kategori khusus LGBTQ di server Amerika Utara dan Britania Raya, yang tidak ditemukan di negara lain termasuk Singapura.
“Penasaran sih kenapa kategori LGBTQ tidak ada di Netflix Singapura, tapi saya salut dengan Netflix yang mendukung komunitas LGBTQ,” penyiar radio Joshua Simon memberi tahu VICE. “Sebelum ada Netflix, menonton acara LGBTQ atau yang ada referensi seksual (misal Sex and the City) rasanya seperti nonton bokep.”
Begitu meluncur di Singapura, konten Netflix ikutan kena sensor. Sebagaimana dijelaskan di situs webnya: “Setiap acara dan film Netflix diberi klasifikasi umur agar penonton dapat menentukan mana saja tayangan yang bisa dan tidak bisa disaksikan oleh mereka dan anak-anak. Klasifikasinya dapat ditentukan baik oleh Netflix maupun organisasi standar lokal. Netflix menentukannya berdasarkan frekuensi dan dampak konten dewasa dalam acara atau film… Setiap label usia Netflix dapat bervariasi tergantung wilayahnya.”
Di Singapura, Netflix mengikuti regulasi Infocomm Media Development Authority (IMDA). Pada 2018, IMDA memaksa Netflix untuk menghapus Cooking on High, The Legend of 420, dan Disjointed karena membahas penggunaan ganja. Sejak itu, Netflix Singapura juga berhenti menayangkan The Last Hangover yang sarat narkoba dan film Martin Scorsese The Last Temptation of Christ yang dicekal di sana.
Tak peduli dari mana asalnya, Netflix harus mematuhi hukum dan budaya di setiap negara yang dihadiri platform. Itu berarti Netflix harus tunduk pada penyensoran konten LGBTQ.
“Film-film yang menggambarkan seksualitas alternatif (misalnya homoseksualitas) harus menjaga kearifan lokal. Dengan demikian, filmnya diberikan klasifikasi usia tertinggi yakni R21,” bunyi kebijakan konten IMDA.
Joshua pun harus mematuhi aturan-aturan ini.
“Semua konten LGBTQ dilabeli R21. Film dan acara apapun yang memiliki rating R21… tidak bisa diiklankan dan dipublikasikan di stasiun televisi dan radio Singapura,” tuturnya. “Saya saja tidak bisa membahas Game of Thrones saat siaran.”
Joshua menganggap kontennya masih tersedia di Netflix saja sudah bagus. Lagi pula, ketatnya klasifikasi usia bukan berarti penonton benar-benar dilarang menyaksikan tontonan semacam ini. Mereka sendiri yang memutuskan apakah akan menonton acaranya atau tidak.
“Kami selalu percaya bahwa pilihan dan kontrol itu penting bagi anggota kami, terutama orang tua,” ujar Michelle Parsons, manajer produk anak Netflix, dalam pernyataan resminya. Alih-alih mewajibkan verifikasi usia, platform ini justru menyediakan fitur built-in yang dapat menyaring konten.
Walaupun dibatasi usia, konten LGBTQ Netflix tetap menjangkau audiens yang lebih luas daripada jenis konten lainnya di Singapura.
Joshua mengungkapkan konten semacam ini perlahan-lahan mematahkan stereotip negatif yang dilekatkan kepada komunitas LGBTQ di Singapura. Keponakan temannya mengajarkan orang tua “cinta tidak memandang jenis kelamin” setelah menonton kartun She-ra, yang salah satu karakternya memiliki dua ayah.
Komunitas LGBTQ semakin sering muncul dalam acara-acara Netflix, dan “tak lagi dikesampingkan, serta lebih mudah menemukan konten [yang merepresentasikan mereka],” Joshua menyimpulkan.
Follow Miran di Instagram.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.