Home Uncategorized Korban Pencurian Terancam Penjara karena Tewaskan Maling, Apa Batasan Membela Diri?

Korban Pencurian Terancam Penjara karena Tewaskan Maling, Apa Batasan Membela Diri?

600
0

Pemuda 21 tahun berinisial YAP asal Simalungun, Sumatera Utara, tewas dikeroyok warga setelah aksi pencuriannya ketahuan calon korban. Pemilik rumah yang ia satroni, HS (41), langsung meluapkan emosi dengan mengeroyok YAP bersama IM (15) dan MAR (16), kedua anaknya, beserta tiga petugas keamanan berinisial HSD (37), HS (36), dan YAP (21). 

YAP tewas di tempat dalam kondisi babak belur, membuat keenam pengeroyoknya dibawa ke meja hijau atas tuduhan menghilangkan nyawa orang.

Insiden terjadi pada 27 Desember 2020, dini hari. HS yang menangkap basah aksi YAP sempat terlibat adu pukul dengan si pencuri. Tiga petugas keamanan segera datang setelah mendengar teriakan minta tolong HS. Pada titik ini, pencuri sudah terpojok karena kalah jumlah. Telanjur emosi, keenam orang tersebut terus melanjutkan perkelahian berat sebelah ini.

“Langkah-langkah yang telah diambil dalam penanganan kasus ini, kami telah membentuk tim khusus dipimpin Kasat Reskrim dan kami bekerja dalam waktu 1 x 24 jam dengan mengumpulkan saksi-saksi, alat bukti yang ada di TKP dan keterangan dari kedokteran. Akhirnya, kemarin penyidik telah mengambil sikap kepastian hukum dengan enam orang ditetapkan sebagai tersangka,” kata Kapolres Simalungun AKBP Agus Waluyo kepada Kompas.

Agus menyebut, tersangka bersalah karena tidak segera menyerahkan maling ke kepolisian. Sebuah telenan kayu disita sebagai alat bukti penganiayaan. HS beserta tiga petugas keamanan kini sudah ditahan dengan jeratan KUHP Pasal 338 subsider Pasal 170 dengan ancaman pidana 15 tahun. Sedangkan dua anak HS tidak ikut ditahan karena masih di bawah umur.

Kasus membela diri yang berakhir fatal kerap terjadi di Indonesia, beberapa di antaranya bisa dilihat di video ini. Lantas muncul pertanyaan, apakah keputusan polisi mempidana penganiaya maling sudah benar? Apa yang membuat sebuah tindakan masuk kategori main hakim sendiri atau pembelaan diri? Seperti apa batasnya?

Untuk menjawabnya, mari kita pahami definisi masing-masing perbuatan. Pertama, tentang main hakim sendiri. Profesor Sosiologi Donald Black dari University of Virginia menyimpulkan main hakim sendiri, atau bahasa ilmiahnya eigenrichting, adalah kondisi ketika pengendalian sosial diambil alih perannya oleh rakyat, dipicu anggapan bahwa pengendalian sosial yang dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan gambaran keadilan masyarakat. Dalam negara hukum, main hakim sendiri bersifat ilegal.

Dimuat jurnal hukum Kertha Wicara, dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana I Gusti Ngurah Parwata dan mahasiswanya, Ni Putu Maitri Suastini, mengamini teori tersebut. Mereka menjelaskan praktik kekerasan ini adalah perwujudan emosional warga terhadap penegak hukum dan pelaku. Artinya, memang ada unsur kekecewaan pada proses hukum yang kerap gagal memberi keadilan bagi korban.

KUHP mengatur pelaku main hakim sendiri melanggar Pasal 170 dan Pasal 351 dengan ancaman penjara maksimal 12 dan 7 tahun. Aturan ini dianggap berguna sebagai kontrol sosial. Oleh karena itu, polisi berhak memproses pelaku main hakim sendiri.

Kedua, soal pembelaan diri saat terancam. Situs Hukum Online menyebut KUHP Pasal 49 telah menjelaskan seseorang tidak dapat dihukum karena membela diri atau orang lain secara darurat ketika dirinya atau hartanya dalam ancaman. Untuk membedakan pembelaan diri dengan main hakim sendiri, harus ada beberapa unsur yang dipenuhi. Pertama, ada ancaman serangan yang sangat dekat dan melawan hukum atas kehormatan kesusilaan (seperti percobaan perkosaan), harta benda (seperti pencurian/penjambretan) diri sendiri atau orang lain. Kedua, ancaman atau serangan tersebut bisa menyebabkan keguncangan jiwa yang hebat.

Masih dari Hukum Online, untuk bisa disebut pembelaan diri, kekerasan melampaui batas (seperti membuat orang lain tewas) harus memenuhi beberapa unsur. Pertama, pertahanan dan pembelaan diri itu harus amat perlu dan boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Kedua, kepentingan yang dibela harus termasuk soal kepentingan badan, kehormatan, dan harta benda baik diri sendiri atau orang lain. Ketiga, ada serangan melawan hukum yang mengancam saat itu juga.

Kalau diterapkan dalam kasus HS, pencuri bisa dilawan saat melakukan penyerangan ketika dipergoki. Ancaman juga jelas terjadi pada barang maupun orang. Namun, saat pencuri sudah kalah jumlah ketika tiga petugas keamanan hadir, HS tidak boleh melanjutkan perkelahian karena pada saat itu sudah tidak ada ancaman dari pihak pencuri, baik terhadap orang atau harta bendanya. Ditambah, pencuri yang dikeroyok sudah kehilangan unsur “mengancam saat itu juga” karena, well, dia sedang dikeroyok.

Kasus ini penting jadi pengingat bahwa di negara hukum kekerasan enggak boleh dibalas dengan kekerasan.