Gimana cara bikin pemerintah sadar kalau enggak ada warga suka jalan rusak? Diprotes, udah. Jelas-jelas bikin orang celaka, udah. Dibikin penelitian ilmiahnya, juga sudah. Emang cocoknya diviralin aja deh. Lagian banyak masalah yang terbukti bisa kelar pakai cara terakhir. Jadi cara itulah yang dipakai suami-istri di Lampung Selatan ini.
Mulanya Ummu Hani (31) dan Dani Abdullah (30) kesal karena jalan utama beserta jalan-jalan kecil di Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan tempat mereka tinggal berlubang dan rusak berat selama bertahun-tahun. Menurut Hani, jalan tersebut adalah penghubung utama Tanjung Bintang dengan kota terdekat. Bukan cuma mereka, warga juga kerap protes karena selain merepotkan, jalan tersebut berkali-kali makan korban. Bagian ia sendiri pernah celaka di jalan rusak tersebut. “Aku dan suami juga pernah jadi korban, jatuh di daerah itu,” ujar Hani kepada Kompas.com.
Karena keduanya enggak suka marah-marah, mereka memutuskan bikin konten sindiran. “Sampai akhirnya karena banyak keluhan tapi tak kunjung direspons, saya, suami dan dibantu satu teman punya ide. Idenya kami photoshoot, tapi lokasinya di jalan rusak itu,” Hani mengatakan kepada IDN Times.
Keduanya membuat 25 foto dalam berbagai pose. Dari mulai pose pasaran kayak tangan megang dahi sambil tengkurap di kubangan, pose nyuci baju di lumpur lengkap dengan properti ember, hingga gaya memercikkan lumpur sambil ketawa berasa lagi berendam di Ubud aja.
“Aku lebih memilih pakai cara jargon sindiran begitu karena aku kurang suka sama ujaran kebencian, dan basic aku suka buat video komedi. Alhamdulillah warga support kami,” terang Hani. Ia lalu mengunggah foto-foto itu di Facebooknya kemarin (10/2) dan yah, karena berita ini dibikin, artinya postingan itu viral.
Yang patut dipuji, meski mengaku niatnya nyindir, Hani to the point menandai pasangan Nanang-Pandu pemenang pilkada Lampung Selatan di pos FB itu. Sayang banget, pos itu sudah enggak bisa dilihat. Satu-satunya pos Hani yang bisa dilihat menyebut serial foto jalan rusak itu udah direspons pemerintah lokal.
Memprotes akses jalan yang bapuk bukan hal baru. Praktik paling umum sampai-sampai perlu kita nobatkan sebagai kearifan lokal adalah menanam pohon di lubang jalan. Sampai pada 2019 lalu muncul anak muda di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan yang memelopori kritik infrastruktur ini lewat cara baru.
Mereka memadukan fotografi, tren Instagramable, dan media sosial sebagai alat buat ngejek inkompetensi pemerintah membangun jalan. Dianggap brilian, konsep persis sama ditiru anak muda di Polewali Mandar, Sulawesi Barat hanya berselang sebulan kemudian.
Enggak nyangka juga tren satire di ranah tulisan sejak 2014 sekarang menular ke fotografi. Yang jelas, ini trik cerdas ketika orang makin gampang dipidanakan pakai UU ITE karena protes di media sosial. Kami udah nulis kok, tahun lalu ada orang di Lebak yang sampai dijemput polisi karena mengkritik kepala desa lewat medsos gara-gara jalan rusak di desanya menyulitkan ibu hamil yang mau melahirkan. Seserem itu emang.