Peringatan: penyebutan perbuatan melukai diri sendiri dan bunuh diri.
Pada Maret 2022, Nadia Tisha (20) tengah menginjak semester 5 studinya dan ia merasa sudah waktunya mencari bantuan.
Ada problem akademik yang membebani Nadia. Semester lalu IPK mahasiswa Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) ini turun 0,2 poin. Ia juga tak jenak berada di rumah. Selama kuliah daring, ada anggota keluarganya yang malah tak mendukungnya berkonsentrasi belajar. Saat jam kuliah daring, kadang ia justru disuruh membantu mengerjakan hal lain.
“Sama ada masalah lain yang aku belum bisa ceritain,” kata Nadia kepada VICE, akhir Februari lalu. Masalah dan ganjalan sempat ia biarkan menumpuk. Tumpukan emosi itu lalu macet karena Nadia tidak bisa menangis untuk mengekspresikan emosinya. Nadia malah jadi kerap marah-marah hanya karena sebab kecil. Ia juga jadi lebih sering menyendiri.
Ketika Nadia merasa butuh bantuan, ia memberi dirinya waktu berpikir. Beruntung kampusnya menyediakan layanan konseling mahasiswa. Usai dua pekan berpikir, ia memutuskan menghubungi layanan itu.
“Momen [akhirnya mutusin daftar konseling] saat bener-benar bingung sama diriku sendiri, bingung harus ngapain, enggak bisa cerita ke temen atau orang rumah, yang bisa aku percaya, ya konselor di layanan kemahasiswaan itu,” tutur Nadia.
Nadia mendaftar lewat website UII pada 8 Maret 2022. Hingga tiga hari kemudian tak ada tanggapan sehingga Nadia mengecek ke Bagian Kemahasiswaan. Seminggu setelah mendaftar barulah ia dihubungi balik.
Tampaknya pendaftar cukup banyak sampai perlu antre. Ada staf yang bakal langsung memilah setiap pendaftar yang masuk, kata Kepala Divisi Pembinaan dan Kesejahteraan dari Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan UII, Nur Pratiwi Noviati.
Pratiwi menjelaskan, masalah mahasiswa yang diadukan ke layanan konseling UII akan dibagi menjadi dua kategori. Pertama, masalah ringan yang akan diarahkan kepada konselor sebaya, terdiri dari mahasiswa yang sudah terlatih. Jumlahnya saat ini sekitar 50 orang, tersebar di setiap fakultas di UII. Kedua, masalah sedang dan berat yang akan langsung diarahkan kepada konselor profesional, yakni psikolog atau psikiater. Saat ini ada 40 konselor profesional yang disediakan UII.
Umumnya, setiap aduan langsung direspons. Selanjutnya mahasiswa dan konselor yang mengatur waktu konseling mereka sendiri. “Biasanya dua hari [sejak mendaftar] sudah [ada komunikasi], jarang juga mahasiswa sehari langsung [bisa ketemu konselor]. Mereka udah prepare [sendiri secara waktu],” kata Pratiwi kepada VICE, akhir Februari lalu.
Sejak layanan konseling mahasiswa UII didirikan pada 2015, Pratiwi bilang pengaksesnya terus bertambah: dari yang awalnya sekitar 10 orang per bulan, saat ini rata-rata 30-40 orang per bulan. Rekor terbanyak layanan ini adalah 50 mahasiswa per bulan.
“Sekarang sudah banyak yang akses, Insya Allah cukup membantu. Misal sedikit [yang akses], justru masalah: mereka enggak tahu atau emang enggak butuh?” seru Pratiwi.
Di UGM, kampus tetangga satu kota UII, konseling mahasiswa disediakan oleh fakultas. Setiap harinya, 2-3 mahasiswa menghubungi layanan psikologi di Career Development Center (CDC) Fisipol. Sementara konseling di Fakultas Geografi baru menerima 3 mahasiswa sejak layanan ini disediakan mulai tahun lalu.
Fakultas Geografi UGM mengadakan layanan konseling karena potensi kasus kekerasan seksual naik selama kuliah daring berlangsung. “Dari yang awalnya mengurusi KS [kekerasan seksual], akhirnya ke kesehatan mental. Sejak Covid-19, kasus di UGM tidak hanya KS, tapi juga kesehatan mental, tim ini yang bergerak,” papar Koordinator Layanan Konsultasi Fakultas Geografi, Umi Listyaningsih, kepada VICE.
UIN Sunan Kalijaga punya juga layanan serupa bernama Klinik Konseling Islam. Klinik ini disediakan Prodi Bimbingan Konseling Islam sejak 2015. Namun, pengunjungnya tak banyak, rata-rata 5 orang/bulan.
Masalah kuliah dan keluarga adalah keresahan yang paling banyak mendorong mahasiswa mengakses layanan konseling di UII. Sebanyak 70 persen konsultasi di Layanan Konseling UII adalah sola akademik dan perkuliahan. Sisanya, 20 persen masalah keluarga dan 10 persen masalah asmara.
Masalah kuliah mencakup keluhan tak bisa membagi waktu, susah berbaur dengan teman, dan transisi kuliah daring ke luring. Pratiwi yang juga dosen Psikologi UII menilai banyak mahasiswa memerlukan bantuan psikologis.
“Sebelum [layanan ini] terbentuk, keluhan kebanyakan: stres kuliah, bingung cara bagi waktu, atau kesulitan tidur karena banyak tugas jadi kebablasan, gaya hidup berubah, masalah pertemanan, enggak bisa caranya menjalin pertemanan atau merasa dikucilkan, dan lainnya,” kata Pratiwi.
Selama ini Pratiwi belum menemukan mahasiswa konseling dengan kondisi sudah sampai tahap menyakiti diri sendiri. Sementara di Fakultas Geografi UGM, Umi tiga kali mendapati mahasiswa melukai diri. Itu terjadi sebelum layanan konsultasi didirikan.
Menurut Umi, kegundahan mahasiswa yang paling sering ia temukan adalah kombinasi masalah kuliah dan keluarga. Mahasiswa yang semasa sekolah menengah kerap juara kelas, terbebani tuntutan tidak boleh gagal. Akibatnya mereka tertekan ketika nilai mereka turun.
“Mungkin saat SMA biasa ranking satu, dua, tiga, ketika masuk UGM, dosen tidak seperti guru, sistem penilaian tidak seperti SMA, sudah belajar tapi nilainya B. Enggak jelek dari IPK 3,8 ke 3,7, [tapi untuk ukuran] mahasiswa UGM udah jatuh. Mungkin itu tadi, [dia] tidak terbiasa jatuh,” ujar Umi.
Dalam kasus seperti itu, Umi akan bilang kepada ortu mahasiswa bahwa semua orang berhak gagal. Anak-anak perlu berlatih menerima dan mengatasi kegagalan.
Selain di kampus, juga ada mahasiswa yang mengakses layanan konseling di puskesmas. Misalnya Puskesmas Depok II di Sleman yang tiap hari melayani 2-3 mahasiswa. Psikolog klinis puskesmas tersebut, Swastika Ayu Normalasari, menyoroti usia pengakses layanan yang makin muda. Sebelumnya pengakses dari usia sekitar 25 tahun, kini bergeser ke rentang usia 18-20 tahun.
“Mostly dalam satu tahun ini karena transisi pembelajaran online ke offline. Beberapa hal lain: kurang dukungan keluarga, riwayat bullying, tuntutan akademik, sosial, hingga pasangan,” kata Swastika kepada Harian Jogja, Oktober tahun lalu.
Lebih dari separuh responden berusia 16-24 tahun mengaku pernah menyakiti diri dan ingin mengakhiri hidup karena masalah yang mereka hadapi. Demikian temuan riset Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan UI.
Riset tahun 2020 tersebut dilakukan pada 393 responden untuk mencari tahu situasi kesehatan mental remaja usia peralihan di Indonesia. Petikan di atas menggambarkan hasilnya yang mengkhawatirkan. Hampir semua responden menyatakan pernah mengalami gejala kecemasan, dan hampir semua pula menyatakan kurang paham cara mengatasi stres.
Tiap tahun berita merekam kasus bunuh diri mahasiswa yang diduga akibat depresi, meski begitu belum ada riset yang mengukur prevalensi bunuh diri pada mahasiswa dan pelajar.
Tahun lalu, seorang mahasiswa semester 1 UGM bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 11 sebuah hotel. Dalam tas milik korban polisi menemukan surat keterangan dari psikolog. Sebelumnya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma menggantung dirinya dan meninggalkan surat di Google Drive untuk dibaca publik.
Sebelum pandemi, dokter spesialis psikiatri dari Universitas Padjadjaran menyebut ada survei yang mendapati, sebanyak 20 persen mahasiswa di Bandung pernah berpikir untuk bunuh diri.
Pada usia lebih muda, tahun lalu Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun lalu mendapati bahwa 1 dari tiap 20 remaja Indonesia terdiagnosis Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Artinya ada 2,45 juta remaja Indonesia usia 10-17 tahun (rentang umur survei ini) yang berpotensi terdiagnosis sebagai ODGJ.
Angka remaja yang tergolong Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) jauh lebih tinggi, yakni 1 ODMK tiap 3 remaja. Ini setara dengan 15,5 juta remaja. Meski angka ODMK begitu besar, sangat sedikit yang mencari bantuan konseling maupun medis. Jumlahnya hanya 2,6 persen.
Jiwanya rentan tapi tak berobat. Itulah potret besar masyarakat Indonesia. Riskesdas Kemenkes 2018 mencatat sebanyak 6,1 persen penduduk di atas 15 tahun pernah mengalami depresi, atau setara 12 juta orang. Dari 12 juta itu, hanya 9 persen yang berobat secara medis.
Remaja butuh layanan kesehatan mental yang menjamin kerahasiaan, tidak menghakimi, berkelanjutan, dan bisa diakses online, demikian kesimpulan peneliti UI.
Uniknya, kerahasiaan justru jadi alasan Nadia lebih memilih menjangkau konselor yang notabene orang asing, daripada bercerita pada teman. Ia khawatir curhatannya akan menyebar ke teman-teman di lingkungan terdekatnya.
Selain itu ia waswas bercerita pada teman akan membuatnya mendapat respons tak diinginkan. Ia juga takut ceritanya membebani si teman.
Ketika dihubungi balik oleh layanan konseling UII, Nadia dipersilakan memilih bantuan konselor sebaya atau konselor profesional. Ia memilih konselor profesional.
Namun, setelah mendapat kontak konselor pun, Nadia masih sempat gamang. Ia sempat merasa masalahnya terlalu sepele untuk dibicarakan dengan konselor. “Tapi ternyata konselornya bilang enggak ada masalah yang sepele, pasti perlu dibantu,” kisah Nadia.
Ia dan konselornya bicara pertama kali lewat sambungan telepon. Mereka merancang janji konsultasi sesi pertama secara daring karena suasana pandemi. Sesi pertama terjadi 10 hari setelah Nadia mendaftar.
Pada sesi pertama, Nadia diminta menceritakan masalah yang ia rasakan. Ia juga diberi tugas melakukan journaling atau menuliskan kegiatan dan perasaan yang dia alami sehari-hari pada sebuah buku. Catatan itu akan dibawa pada sesi kedua, 6 hari setelah sesi pertama.
Pada sesi konsultasi ketiga yang masih berlangsung daring, konselor meminta Nadia menyiapkan ruang kosong yang kondusif di rumahnya.
Di balkon rumah, Nadia menyiapkan dua kursi untuk terapi the empty chair. Di balkon rumah, Nadia duduk di satu kursi, sementara satu kursi lain dibiarkan kosong. Nadia diminta membayangkan salah satu anggota keluarga, yang selama ini persinggungannya sering bermasalah dengannya, sedang duduk di kursi kosong itu. Nadia diminta bicara “dengannya”.
“Aku ceritain apa yang aku rasakan sama orang itu, aku ceritain apa harapanku sama orang itu, itu bisa keluar semuanya. Sampai aku nangis sesenggukan dan bener-bener bikin aku lega,” kata Nadia.
Setelah terapi the empty chair, konselor menganggap sesi pendampingan sudah cukup. Itu menjadi percakapan terakhir Nadia dengan konselornya.
“Ada satu pesan dari konselor, sebagai anak kadang kita enggak punya power apa-apa untuk ngubah struktur atau bentuk keluarga, setidaknyamannya kita, enggak punya power sekuat itu buat ngubah. Aku jadi lebih ngerti dan mahamin, mencoba, ya udah, mungkin emang fasenya kaya gitu,” kata Nadia.
Nadia mengaku konseling membuatnya “Jadi lebih fokus pada hal yang bisa aku kontrol. Kurang lebih kaya gitu, fokus pada apa yang bisa aku kerjain, susun rencana 5-10 tahun ke depan.”
Satu setengah tahun berlalu sejak bimbingan konseling itu. Nadia merasa dampak konseling cukup berarti dalam melengkapi puzzle kehidupannya, menjadi pedomannya saat menghadapi masalah.
Nadia berbagi cerita ini kepada VICE usai ia bersama teman-temannya jogging di sekeliling Embung Tambakboyo di Sleman.
Di kawasan waduk yang selalu ramai orang berolahraga tersebut, enam hari sebelum Nadia menceritakan kisahnya, seorang mahasiswa Psikologi semester 2 di Universitas Mercu Buana Yogyakarta ditemukan tewas mengambang. Penyelidikan polisi meyakini ia bunuh diri karena stres masalah keluarga dan biaya kuliah.
Nyawa setiap orang berharga. Jika kamu atau orang di dekatmu terpikir untuk bunuh diri, mohon sempatkanlah membaca panduan pencegahan bunuh diri ini. Baca panduan mencari layanan psikologi di sini.