Pengacara hak asasi manusia Veronica Koman Liau yang rutin mendampingi kasus-kasus dugaan kekerasan terhadap rakyat Papua bersengketa dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Lembaga pemberi beasiswa di bawah naungan Kementerian Keuangan itu meminta Veronica mengembalikan dana beasiswa senilai Rp733,8 juta yang sudah diberikan pemerintah untuk membiayai kuliah S2-nya di Australia pada 2016 lalu. LPDP beralasan Veronica gagal memenuhi syarat wajib kembali ke Indonesia setelah studi.
Veronica saat ini bermukim di Kota Sydney, Australia, atas alasan mengalami beberapa kali intimidasi dan masuk daftar pencarian orang (DPO) oleh kepolisian pada September 2019. Tuntutan LPDP ini mencuat, setelah pengacara 32 tahun itu mengunggah keberatannya di akun media sosial pribadi.
Saat dihubungi oleh Detik.com, Direktur LPDP Rionald Silaban membenarkan lembaganya meminta pengembalian dana pada Veronica. Alasannya, sejak selesai kuliah dua tahun lalu, Veronica dianggap tidak kunjung pulang ke Tanah Air.
“Dalam kontrak beasiswa LPDP, penerima beasiswa yang berkuliah di luar negeri harus kembali ke Indonesia setelah selesai studi,” kata Rionald. LPDP mengklaim sudah mencoba mediasi sebelum akhirnya menuntut pengembalian beasiswa, tapi tidak direspons Veronica. “Yang bersangkutan menolak untuk kembali ke Indonesia.”
Lewat surat terbuka yang diunggah di Facebook dan Twitter, Veronica menuding LPDP serta Kemenkeu sengaja menjatuhkan “hukuman finansial” atas aktivitasnya sebagai pengacara untuk kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua. Dia pun membantah bila sama sekali tidak pulang ke Tanah Air.
“Kenyataannya, saya kembali ke Indonesia pada September 2018, setelah menyelesaikan program Master of Laws di Australian National University,” tulisnya.
Semasa satu tahun kembali ke Tanah Air itu, menurut Veronica, dia berada di Jayapura, lalu mendampingi kasus yang menjerat aktivis Papua di tiga pengadilan berbeda di Timika, Papua. Semuanya dilakukan secara pro-bono, alias tidak dibayar. Akibat semua aktivitas itu, Veronica mengaku menerima ancaman pembunuhan, pemerkosaan, serta misinformasi daring.
“Melalui surat ini, saya meminta kepada Kemenkeu terutama Menteri Sri Mulyani untuk bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini,” tandas Vero.
Merujuk kronologi yang dilansir CNN Indonesia, Veronica mulai berurusan dengan kepolisian setelah mengunggah banyak video seputar unjuk rasa warga di Manokwari, Merauke, serta Jayapura selama Agustus 2019.
Gelombang unjuk rasa kala itu muncul spontan untuk merespons kekerasan, serta ucapan rasis, yang dilakukan aparat terhadap penghuni asrama mahasiswa Papua di Surabaya.
Polisi kemudian menilai Veronica sudah melakukan penghasutan dan menyebar kabar bohong lewat media sosial, sehingga dia dijerat dengan UU ITE. Pengacara mantan anggota LBH Jakarta itu tidak datang saat dipanggil beberapa kali oleh kepolisian, sehingga pada 20 September 2019 muncul statusnya sebagai DPO yang diteruskan ke Interpol. Polisi turut mengajukan permintaan pencabutan paspor Veronica ke Ditjen Imigrasi serta membekukan rekening bank miliknya di Indonesia.
Aktivis HAM dan gender Tunggal Pawestri, saat dihubungi VICE beberapa waktu lalu, mendukung keputusan Veronica menyuarakan isu yang dia percaya. Sikap berbeda garis politik dengan pemerintah tidak bertentangan dengan semangat beasiswa yang dia terima.
“Kita dapat beasiswa kan karena prestasi dan komitmen membangun Indonesia. Jadi kalau [terima] beasiswa, tanggung jawab moral kita ya harusnya juga pada pembangunan. Dengan catatan pembangunan harus berkeadilan.”
Tunggal menyebut kelompok penerima beasiswa adalah kaum privileged, sepantasnya membaktikan tenaga pada kelompok rentan, minoritas, serta kepada rasa keadilan di masyarakat, bukan pada pemerintah.
Tunggal juga merasa selama ini pembangunan dan juga kebijakan yang dilaksanakan selalu Jawa-Sentris dan kurang merangkul opini orang Papua.
“Dulu pas zaman Suharto saya juga dapat beasiswa Supersemar. Tapi kalau memang pemerintahannya fasis ya saya lawan. Tanggung jawabnya kita [penerima beasiswa] itu ke masyarakat. People voted for the government, people are the mandate giver.“
Sementara bagi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, kriminalisasi yang dialami Veronica harus dilihat sebagai ancaman serius bagi kebebasan berpendapat. Selain Veronica, aktivis Surya Anta—yang juga kerap bersuara membela aktivisme warga Papua—sudah ditahan memakai pasal makar.