Mahkamah Agung (MA) menganulir Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang seragam di sekolah yang statusnya didanai pemerintah. Menurut majelis hakim, beleid yang diterbitkan pada 3 Februari 2021 tersebut bertentangan dengan aturan dalam undang-undang yang lebih tinggi.
Dalam arsip salinan putusan, MA memutuskan: “Mengadili, memerintahkan kepada Termohon I, Termohon II, dan Termohon III untuk mencabut Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021.”
Termohon I, II, dan III adalah ketiga menteri yang menandatangani surat tersebut yaitu Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, serta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Sedangkan pemohon adalah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat dengan nomor perkara 17/P/HUM/2021.
Menurut majelis hakim, Keputusan Bersama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah itu bertolak belakang dengan sejumlah pasal dalam empat undang-undang.
Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Lalu, SKB 3 Menteri juga bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta asal 1 angka 1 dan 2, Pasal 3, dan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan pertimbangan tersebut, majelis hakim menyatakan SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah “tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
Terbitnya surat keputusan 3 menteri tersebut dilatarbelakangi kejadian yang menimpa pelajar bernama Jeni, yang dipaksa memakai jilbab oleh SMK Negeri 2 Padang. Siswi beragama Kristen itu berkali-kali menolak hingga merasa tertekan. Pada akhir Januari 2021, ayah Jeni mengunggah video yang berisi percakapan antara dirinya dan pihak sekolah yang terus memaksa anaknya memakai atribut keagamaan itu.
Usai videonya viral, SMK Negeri 2 Padang banyak menerima protes dari berbagai kalangan. Pemerintah pun diminta turun tangan, apalagi kasus-kasus yang dialami Jeni diyakini juga banyak terjadi di berbagai daerah. SKB 3 Menteri lantas dianggap sebagai respons terbaik agar sekolah negeri tidak memaksakan seragam berbasis agama tertentu, terutama pada mereka yang punya keyakinan berbeda.
Dalam keterangan resminya, Nadiem menjelaskan keputusan yang termuat dalam surat itu adalah upaya pemerintah untuk “membangun karakter toleransi di masyarakat dan menindak tegas praktik-praktik pada sektor pendidikan yang melanggar semangat kebangsaan”.
Apabila ada sekolah yang melanggar, SKB 3 Menteri mengatur bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa memberikan sanksi yang berkaitan dengan bantuan operasional sekolah dan bantuan pemerintah lainnya yang berasal dari anggaran kementerian.
Begitu pula seandainya kepala daerah gagal memastikan tidak adanya pemaksaan pemakaian atribut tertentu terhadap siswa, maka Kementerian Dalam Negeri akan menjatuhkan teguran.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut pemaksaan atau pelarangan memakai jilbab di sekolah tidak bisa dibenarkan dan “melanggar HAM”. Lewat keterangan pers yang diterima VICE, Retno mengatakan “aturan sekolah seharusnya berprinsip pada penghormatan terhadap HAM dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan”.
KPAI turut mengapresiasi pemerintah yang menerbitkan SKB 3 Menteri. “SKB tersebut menjawab sekaligus menghentikan berbagai polemik yang selama ini ada di sejumlah daerah karena munculnya berbagai aturan terkait seragam di lingkungan sekolah bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang dinilai cenderung diskriminatif dan intoleran,” kata Retno.
Sesuai Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, KPAI menegaskan bahwa sekolah “harus demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
“Anak perempuan seharusnya diberikan kebebasan dalam menentukan apa yang dikenakan,” kata Retno saat dihubungi VICE. “Dengan kata lain, hak untuk memakai atribut keagamaan merupakan wilayah individual. Individu yang dimaksud adalah guru, murid, dan orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut.”
Menurut KPAI, ada berbagai peristiwa yang menimpa anak-anak perempuan yang dirundung akibat tidak memakai jilbab. Kemudian, mereka mendapatkan dukungan pemulihan kesehatan mental dari psikolog setelah depresi, bahkan hampir bunuh diri.
Retno menambahkan: “Mereka juga tertekan karena dinilai belum dapat hidayah dalam berpakaian dan dianggap bukan wanita baik-baik.”
KPAI sendiri mendorong pemerintah untuk segera mencari jalan keluar agar kasus-kasus diskriminasi terhadap pelajar perempuan, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban maupun larangan memakai jilbab, tidak terjadi lagi.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada setidaknya sembilan kasus serupa yang terjadi sejak 2014 hingga 2021. Kasus-kasus yang terungkap itu salah satunya di SMA Negeri 2 Denpasar, Bali, saat pihak sekolah melarang siswa memakai jilbab pada 2014. Sedangkan pada 2019, Kepala Sekolah SD Negeri Karang Tengah 3, Yogyakarta, mewajibkan siswa baru untuk mengenakan seragam Muslim.
Peristiwa-peristiwa tersebut memicu desakan publik agar muncul intervensi pemerintah, demi memastikan tidak ada diskriminasi berbasis agama. Seperti dialami pelajar sekolah negeri di Padang, maupun di Bali beberapa tahun lalu.
Fahriza Marta Tanjung selaku Wakil Sekjen FSGI khawatir pemaksaan seragam, baik melarang seseorang menggunakan atribut sesuai keyakinan atau memaksa pelajar menggunakan atribut agama tertentu, dapat kembali terjadi dengan putusan MA. Implementasi putusan MA di sekolah-sekolah negeri akan terus dipantau oleh serikat guru.
“Dengan dibatalkannya SKB 3 Menteri ini, tentunya muncul kekhawatiran akan timbul euforia atas kemenangan kasusnya di MA, sehingga [ada daerah] bertindak sewenang-wenang yang berpotensi menimbulkan tindakan intoleran,” kata Fahriza saat dihubungi VICE terkait putusan MA.
Di sisi lain, menurut Fahriza, SKB 3 Menteri turut membuat batas intoleransi sangat kabur bagi guru yang bertugas. Sebab, guru mata pelajaran agama tertentu, misalnya Islam, jadi kesulitan mengajarkan materi soal pentingnya hijab bagi perempuan. “Apakah Guru PAI yang menganjurkan siswa yang beragama Islam mengenakan jilbab termasuk dalam tindakan Intoleran? Karena dalam SKB 3 Menteri ini jangankan mewajibkan, mengimbau saja pun tidak boleh,” tuturnya.
FSGI berharap Kementerian Pendidikan dan Ristek bersedia kembali berdialog dengan daerah-daerah yang diasumsikan memaksakan seragam tertentu bagi pelajar sekolah negeri. Tanpa dialog mendalam, masalah ini dikhawatirkan berlarut-larut. “Aturan serupa dengan SKB 3 Menteri tetap perlu ada. Tetapi harus dibicarakan baik-baik dengan stakeholder yang terlibat,” tandas Fahriza.