Setelah resmi diundangkan pada 4 Desember 2020, Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 5/2020 dikritik banyak pihak. Beleid itu dianggap melucuti transparansi proses persidangan. Pasal 4 ayat 6 mendapat perhatian khusus, sebab mendetailkan pelarangan pengambilan foto, audio, dan/atau rekaman audia visual tanpa seizin hakim/ketua majelis hakim. Kalau hakim merasa suatu sidang tak boleh direkam dalam bentuk apapun, jeratan hukum mengintai kepada mereka yang berkeras melakukannya, termasuk advokat.
Potensi masalah dari aturan ini cukup jelas. Kerja jurnalis otomatis terganggu sebab enggak punya bukti otentik peliputan persidangan. Di sisi lain, kerja advokat bisa terhambat karena tak bisa lagi memutar rekaman proses persidangan untuk merumuskan langkah selanjutnya.
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) memprotes kebijakan MA tersebut. KPP terdiri atas ICJR, YLBHI, PBHI, LBH Masyarakat, PIL-Net, ICEL, dan IJRS. Melalui rilis resminya, KPP memandang diperlukan kebebasan dokumentasi sebagai bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik. Prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum sesuai dengan Pasal 153 Kitab Undang-Undang Hukum Acara PIdana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman.
“Ijin dari hakim/ketua majelis baru relevan jika para pengunjung sidang, termasuk jurnalis, membawa peralatan atau melakukan cara-cara yang mengganggu tidak hanya persidangan, namun pengadilan secara keseluruhan. Ijin baru tepat dilakukan apabila hakim/majelis hakim terganggu dalam menjalankan sidang,” ujar KPP dalam rilis resmi yang diterima VICE.
Koalisi menyebut apabila aturan ini diberlakukan, maka setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi terkait persidangan baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya yang bisa diakses masyarakat secara bebas.
Kekhawatiran koalisi tentu valid. Pada 2018 lalu, Pengadilan Negeri (PN) Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pernah melarang jurnalis meliput sidang vonis seorang terdakwa Sutrisno akibat dugaan memberikan keterangan palsu.
“Saya memang dari awal memantau kasus persidangan dengan terdakwa Sutrismo yang diduga memberikan keterangan palsu ke notaris dalam pembuatan sertifikat tanah. Namun, kali ini saya dilarang meliput. Ada apa?” ujar jurnalis MNC Media Sigit Dzakwan. Dalam sidang tersebut, Sutrismo diputus bebas murni, menguatkan kecurigaan terkait tindakan pelarangan liputan.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro membela aturan dengan menyebut terbitnya Perma didasari perilaku sebagian masyarakat yang mengganggu kelancaran penegakan hukum di pengadilan yang mengakibatkan terganggunya rasa aman bagi hakim dan aparatur.
“Perma No.5/2020 ini dibuat untuk mengatur protokoler persidangan guna menciptakan suasana dan rasa aman bagi aparat peradilan dan pihak-pihak yang berkepentingan di pengadilan, seperti saksi-saksi, terdakwa, pengunjung, dan lain-lain demi terwujudnya peradilan yang berwibawa,” kata Andi seperti dikutip Hukum Online.
Andi menyebut, bila sidang harus selalu terbuka, tidak jarang banyak insiden penyerangan fisik oleh pihak-pihak yang tidak puas terhadap proses peradilan. Pengambilan video pada saat-saat seperti itu dianggap memperparah suasana, membuat peradilan “kurang berwibawa”.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari sepakat dengan KPP, menganggap publik berhak atas keterbukaan proses persidangan sebagai bagian dari transparansi peradilan. Sejak awal sidang harus berjalan terbuka sehingga otomatis aktivitas perekaman patutnya diperbolehkan.
“Semua dapat membuktikannya, termasuk dengan membolehkan video. Yang pasti, sesuatu yang tertutup biasanya ada yang disembuntikan. Jangan sampai MA dianggap publik ingin menutup banyak hal yang mestinya terbuka,” jelas Feri kepada Tempo.
Feri menambahkan, setiap ketidaktertiban yang dikhawatirkan MA terjadi, maka jangan salahkan yang ambil video. “Mungkin peradilan belum memberikan pedoman bagaimana proses pengambilan video di pengadilan. Jangan videonya yang dilarang karena itu sama saja melarang persidangan dibuka dan terbuka untuk umum,” tambahnya.
Aturan serupa rupanya pernah dirilis MA pada 7 Februari lalu. Melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA, semua bentuk dokumentasi persidangan harus melalui izin Ketua Pengadilan Negeri. Iya, bunyi aturan ini sama dengan Perma terbaru, hanya berbeda harus izin ke siapanya saja. Mendapat tekanan publik, Surat Edaran akhirnya dicabut.