Praktik penegakan hukum di Indonesia begitu atraktif, kita enggak berhenti dibuat heran olehnya. Terbaru, terpidana kasus suap Badan Keamanan Laut (Bakamla) Fahmi Darmawansyah resmi mendapatkan pemotongan masa tahanan, karena permohonan peninjauan kembali (PK)-nya ke Mahkamah Agung (MA) dikabulkan.
MA sepakat dengan logika aneh kuasa hukum Fahmi bahwa pemberian mobil Mitsubishi Triton seharga Rp427 juta oleh tersangka kepada Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husein bukanlah suap, melainkan “kedermawanan.
Iya. Ada orang sedang dipenjara, ngasih ratusan juta ke penguasa penjara, lalu ruangan tahanan si penyuap direnovasi bagus. Transaksinya jelas dan terang benderang, tapi si penyuap ngotot bilang ratusan juta tersebut bukan buat dapat keistimewaan di penjara, tapi emang lagi pengin panen pahala aja. Lalu, jajaran hakim dengan segala keilmuan kehakimannya percaya. Apa enggak atraktif ini namanya?
Fahmi divonis 3,5 tahun penjara oleh pengadilan tipikor di PN Bandung pada Maret 2019 karena terbukti menyuap Wahid agar merenovasi selnya biar lebih mewah. Sebagai alat tukar, ia memberi mobil kepada si Kalapas, tapi itu cuma salah satu gratifikasi. Upeti lainnya adalah uang servis mobil, uang menjamu tamu lapas, tas merek Louis Vuitton, dan sepatu sandal merek Kenzo
“Pemohon peninjauan kembali menyetujuinya untuk membelikan mobil tersebut bukan karena adanya fasilitas yang diperoleh pemohon, melainkan karena sifat kedermawanan pemohon,” bunyi pertimbangan putusan dari situs Direktori Putusan MA.
Pengabulan tersebut dilandasi keterangan Andri Rahmat, saksi Wahid Husein, dan keterangan Fahmi sendiri. “Yang pada pokoknya bahwa pemberian mobil tersebut bukan dikehendaki [niat jahat] terpidana/pemohon untuk mempengaruhi Kepala Lapas agar dapat memperoleh fasilitas dalam lapas yang bertentangan dengan kewajiban Kepala Lapas,” putus majelis hakim.
Hasilnya, majelis hakim yang terdiri atas Salman Luthan sebagai ketua, Abdul Latif sebagai anggota, dan Sofyan Sitompul sebagai anggota, memotong hukuman Fahmi dari 3,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta menjadi 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Wahid sendiri masih dihukum 8 tahun penjara karena kliennya yang dermawan bukan cuma Fahmi, tapi juga terpidana korupsi lain.
Merespons pengabulan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai keputusan ini akan mengaburkan makna dan esensi kedermawanan, yang tentu saja berpeluang dimanfaatkan sebagai celah para koruptor di masa mendatang. Ya dipikir aja, gimana frustrasinya kita kalau sampai kuasa hukum mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bilang uang suap yang diterima Edhy adalah wujud kedermawanan pengusaha benih lobster, karena Edhy udah membuka izin ekspor benih dengan sukacita?
“Pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara ataupun pegawai negeri karena kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki si penerima sedangkan si pemberi ada kepentingan di baliknya, tentu itu perbuatan tercela. Bahkan, dalam konteks penegakan hukum, hal tersebut dapat masuk kategori suap atau setidaknya bagian dari gratifikasi yang tentu ada ancaman pidananya,” ujar Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, dilansir dari Kumparan.
Putusan janggal untuk Fahmi adalah indikasi kesekian betapa MA makin permisif pada koruptor. Koran Tempo mencatat, sepanjang 2019-2020 MA telah memangkas hukuman 23 terpidana korupsi. Salah duanya, politikus Anas Urbaningrum dari 14 menjadi 8 tahun penjara dan pengacara O.C. Kaligis dari 10 menjadi 7 tahun penjara.
Selain itu pada 2019 lalu, para hakim MA ini juga membebaskan terpidana kasus korupsi BLBI, eks kepala BPPN Syafrudin Tumenggung, di level kasasi. Korupsi ini telah merugikan negara Rp4,58 triliun.
Melihat kecenderungan MA tersebut, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melancarkan kecaman. “Implikasi maraknya putusan PK ini: tidak akan ada pemberian efek jera bagi terpidana dan meruntuhkan kerja keras KPK. Komisi Yudisial harus aktif untuk melihat apakah ada potensi pelanggaran kode etik hakim yang menyidangkan perkara PK korupsi,” ujar Kurnia kepada BCC Indonesia.