Home Uncategorized Mengenang Geliat Komunitas LGBTQ+ di Indonesia Lewat Arsip Zine-Zine Bawah Tanah

Mengenang Geliat Komunitas LGBTQ+ di Indonesia Lewat Arsip Zine-Zine Bawah Tanah

553
0
mengenang-geliat-komunitas-lgbtq+-di-indonesia-lewat-arsip-zine-zine-bawah-tanah

Jusup Jhonny Rianto ingat betul momen-momen ketika masih berlangganan Gaya Hidup Ceria, salah satu majalah majalah queer yang beredar di Indonesia pada 1982.

“Rasanya seperti angin surga,” kata lelaki 62 tahun kepada VICE World News.

Diyakini sebagai yang pertama di Tanah Air, cetakan Gaya Hidup Ceria hanya berjalan selama beberapa tahun. Bagi orang seperti Jusup yang menyembunyikan jati dirinya, dia mengirim majalah ke kantor agar tidak ketahuan keluarga.

Jusup pun menemukan pasangan dan dunianya lewat rubrik interaktif yang dia isi pakai nama samaran. Dia juga menjadi lebih percaya diri untuk melela. Dari situ pulalah, dia mengetahui atasannya diam-diam juga berlangganan Gaya Hidup Ceria. Si bos memastikan kecurigaannya setelah membaca deskripsi pengirim surat yang terlalu mirip dengan Jusup.

“Saya akhirnya mengakuinya. Tapi, dia bilang tidak usah khawatir. Ternyata dia juga sama dengan saya, gay, dan dia berlangganan majalah itu.”

Menurutnya, majalah itu kurang lebih seperti aplikasi kencan Grindr yang populer bagi komunitas gay masa kini.

“Pasangan gay pertama saya kenal melalui majalah ini,” lanjutnya.

Sampul majalah Gaya Hidup Ceria pada 1982. Foto oleh Queer Indonesia Archive.

Sampul majalah Gaya Hidup Ceria pada 1982. Foto oleh Queer Indonesia Archive.

Walaupun kurang populer dan memiliki sedikit pembaca, keberadaan majalah ini menunjukkan negara kita cukup toleran dulu. Tak seperti sekarang, yang masyarakatnya semakin konservatif dan sentimen anti-LGBTQ di dalam negeri makin lama makin parah. Oktober lalu, TNI-Polri melakukan pemecatan terhadap anggota mereka yang gay.

Hubungan homoseksual tidak ilegal di Indonesia, kecuali Provinsi Aceh yang menerapkan Hukum Syariat dan telah beberapa kali mencambuk pasangan gay. Namun, menurut jajak pendapat Pew Research Center tahun lalu, hanya sembilan persen responden Indonesia yang beranggapan masyarakat seharusnya menerima homoseksualitas.

Kompilasi sampul majalah GAYa Nusantara. Foto oleh GAYa Nusantara

Kompilasi sampul majalah GAYa Nusantara. Foto oleh GAYa Nusantara

Arsip Queer Indonesia Archive menunjukkan bahwa sepanjang 1980-an hingga 2000-an, ada sembilan majalah queer yang pernah terbit di Indonesia. Organisasi nirlaba ini menyalin, memindai dan mengunggah majalah-majalah jadul tersebut untuk mengenang sejarah queer di nusantara. Siapa saja bisa mengirim materi yang ingin dibuat versi digitalnya melalui situs QIA.

Goal-nya supaya orang Indonesia sadar bahwa pergerakan queer di Indonesia sudah lama dan merupakan bagian dari masyarakat. Mereka ada di antara kita, bekerja sebagai pegawai negeri, dosen dan lain-lain. Mereka merupakan bagian dari masyarakat dan sebaiknya diperlakukan sebagai bagian dari masyarakat,” co-founder Queer Indonesia Archive Ais*, 29 tahun, berbicara kepada VICE World News.

Ais mengatakan, proyeknya diluncurkan pada 2020 dengan bantuan Beau Newham, warga Australia yang bekerja untuk program pencegahan HIV. Ais lebih lanjut mengungkapkan, ada saja aktivis queer yang menolak untuk menyumbang materi karena stigma yang begitu kuat.

“Saya kira mereka takut mendapat reaksi negatif setelah diarsipkan,” tebaknya.

Queer Indonesia Archive berharap suatu saat nanti, mereka bisa membuat konten otobiografi lisan dalam bentuk podcast. Mereka juga ingin mengarsipkan organisasi queer yang pernah ada di daerah-daerah terpencil.

Sampul majalah GAYa Nusantara, salah satu majalah LGBTQ+ terkenal di Indonesia. Foto oleh GAYa Nusantara.

Sampul majalah GAYa Nusantara, salah satu majalah LGBTQ+ terkenal di Indonesia. Foto oleh GAYa Nusantara.

Dede Oetomo selaku pendiri majalah GAYa Nusantara menjelaskan, pembaca tidak bisa terang-terangan mengoleksi majalah tersebut. GAYa Nusantara bahkan hanya didistribusikan di toko buku yang menjual karya-karya terlarang pada saat itu.

“Kadang-kadang teman untuk memiliki majalah itu takut, sehingga mereka kadang meminjam dari teman, atau mengkopi, setelah selesai dibaca langsung dibakar,” ujar Dede. “Sebab, kalau majalah dibawa pulang dan ketahuan akan hancur hidup.”

Pada puncaknya, GAYa Nusantara terjual hingga 1.000 eksemplar. Majalah ini mencetak edisi fisik terakhirnya pada 2005, lalu kembali dalam format online pada 2014.

Sampul GAYa Nusantara No. 10. Foto oleh GAYa Nusantara.

Sampul GAYa Nusantara No. 10. Foto oleh GAYa Nusantara.

Terlepas dari intoleransi dan lonjakan diskriminasi dari pemerintah, aktivis tetap optimis pola pikir masyarakat perlahan berubah karena adanya organisasi semacam QIA di internet.

Cangkang Queer, afiliasi Pelangi Nusantara yang fokus mengadvokasi hak-hak LGBTQ+ di Indonesia, rutin mengunggah postingan Instagram terkait kegiatan komunitas LGBTQ+ di Medan.

Mereka dulu menerbitkan majalah Q Buletin, tapi hanya satu edisi saja. Alasannya? Tentu karena kekurangan finansial.

“Yang penting kan sekarang tujuannya sama, apa yang diperjuangkan masih sama seperti dulu,” tutur Amek* yang mengelola Cangkang Queer. Dia meminta VICE World News agar namanya dirahasiakan untuk menghindari persekusi.

Sampul majalah Gaya Betawi pada 1994 yang membicarakan film Tom Hanks “Philadelphia”. Foto oleh Queer Indonesia Archive

Sampul majalah Gaya Betawi pada 1994 yang membicarakan film Tom Hanks “Philadelphia”. Foto oleh Queer Indonesia Archive

Masih terekam jelas di ingatan kita tentang dua jurnalis Universitas Sumatra Utara yang terancam dikeluarkan dari kampus karena menerbitkan cerita pendek yang dituduh “mempromosikan homoseksualitas”. Kasus yang viral pada 2019 membuktikan betapa sulitnya memperjuangkan hak-hak LGBTQ+ di sini.

Amek tengah mempersiapkan dokumenter tentang perjalanan hidup komunitas queer selama pandemi. Video itu rencananya akan tayang di YouTube. Dia berujar, platform berbasis internet lebih efisien daripada majalah fisik dan mampu menjangkau masyarakat lebih luas lagi.

Masalahnya, perjuangan mereka tak serta-merta lebih mudah sejak ada internet.

“Masih butuh waktu lama, dan tidak cukup hanya dengan cara online, tapi juga offline,” simpul Amek.

*Sebagian nama narasumber dirahasiakan untuk melindungi privasi mereka