Semasa SMP, saya masih inget banget gimana seorang kawan satu kelas didaulat begitu saja menjadi seorang vokalis oleh band kelas kami dengan alasan: “Dia kan sering nyanyi di gereja, pasti suaranya bagus.” Padahal, sepanjang pengetahuan saya di kelas tersebut, kami enggak pernah sekalipun mendengar dia bernyanyi “beneran”.
Stereotip penganut Kristen, baik Protestan maupun Katolik, sebagai penyanyi ulung jelas enggak cuma terjadi di sekolah saya. Di suatu pagi yang cerah minggu lalu, saya menemukan warga Twitter sedang membicarakan kemunculan anekdot tentang dua jenis orang Kristen: mereka yang menjuarai Indonesian Idol dan mereka yang bukan. Meski sekilas kocak, nyatanya dari sepuluh kali gelaran, tujuh musim reality show pencarian bakat ini dimenangkan oleh penganut Kristen.
Gambar besar bahwa orang Kristen pasti bisa nyanyi memunculkan rasa penasaran: apakah memang kebiasaan menyanyikan di gereja sedari kecil berkorelasi langsung dengan kepemilikan suara merdu?
Untuk memahami apakah guyonan netizen ini ofensif, kami bertanya pada Donald Harris, penyanyi profesional yang tumbuh besar dari bimbingan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Medan, Sumatera Utara. Donald ternyata enggak membantah stereotip itu.
“Kami dari kecil udah dimasukin Sekolah Minggu [kegiatan ibadah untuk anak saban hari Minggu]. Itu isinya nyanyi-nyanyi. Ya, mungkin kenapa orang Kristen pasti bisa nyanyi ya karena dari kecil udah sering disuruh nyanyi di gereja,” kata Donald kepada VICE.
“Kalau gereja daerah kayak HKBP, GKJ [Gereja Kristen Jawa], GBKP [Gereja Batak Karo Protestan], itu mereka malah nyanyinya sambil baca notasi loh. Lebih susah lagi kan. Biasanya orang HKBP atau GKJ pasti bisa baca notasi,” tambahnya.
Terkait rutinitas latihan yang bikin orang Kristen “dibentuk” bersuara merdu, Donald mengaku setidaknya dalam sebulan ia dua kali melakukan “pelayanan gereja”, sebutan untuk aktivitas menyanyikan pujian-pujian kepada Tuhan.
“Jadi lumayan sering. Tiap minggu latihan rutin, biasanya Jumat atau Sabtu. Di gerejaku, daftar lagu yang akan dibawakan selama sebulan udah dikasih di awal bulan. Misalnya Desember besok, biasanya 30 November udah dikirim daftar lagu di minggu pertama sampai keempat,” lanjut Donald. “Dari situ aku latihan mandiri dulu.”
Penasaran sama perspektif guru nyanyi, kami bertanya pada Tommy Suditomo. Tommy adalah guru vokal yang bertugas hampir tiga tahun di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Gejayan, Yogyakarta. Terkait stereotip, Tommy menilai itu semua karena kebiasaan.
“Ini sebenarnya karena kebiasaan [bernyanyi]. Setiap ibadah pasti ada nyanyinya, ada buku panduannya, ada yang namanya kidung jemaat [yang dipandu dengan buku himne]. Itu udah ada notasinya. Mau enggak mau pasti belajar nyanyi dari situ. Tapi enggak semua jadi bagus banget, intinya karena terbiasa. Kalau sampai bagus banget ih itu pasti karena mereka latihan lagi,” kata Tommy kepada VICE.
Tapi Tommy setuju kalau anak kecil penganut Kristen biasanya punya head start di dunia tarik suara. Sama kayak Donald, Sekolah Minggu jadi alasan utama. “Anak-anak Sekolah Minggu itu ibadah juga, tapi dengan cara anak-anak, kebanyakan main dan nyanyi. Ya, apa pun ibadah yang ada di umat kristiani, pasti ada ibadah pujian alias nyanyi.”
Selain terbiasa dari kecil, ikutan ibadah pujian juga membuat seorang penganut Kristen diajarkan teknik dasar bernyanyi. Sebagai guru vokal, Tommy rutin mengajarkan teknik pemanasan, bernyanyi sesuai chord, mengulik lagu, pemecahan suara, dan menentukan nada dasar kepada para remaja gereja.
“Menurutku sih latihannya sendiri harus keras. Karena kalau yang namanya ibadah kan melayani, jadi harus tampil maksimal, harus mempersiapkan matang-matang konsep musiknya,” sebut Tommy.
Latihan rutin tanpa sadar juga disepakati Alfanisa, penyanyi gereja asal Surakarta, sebagai alasan penganut Kristen umumnya bisa bernyanyi. “We sing to praise and worship God. Nyanyi enggak bisa dilepasin dari hidup orang-orang Kristen. Mau suaramu bagus atau jelek, di gereja kamu akan nyanyi juga, muji Tuhan juga. Jadi, suaramu kepake tiap minggu. Perkara bagus atau enggak itu urusan belakangan,” jelas Alfa kepada VICE.
“Tapi bayangin ya, misal di satu gereja enggak ada jemaat bersuara bagus, tapi tiap minggu dia nyanyi lagu yang sama. Tadinya enggak tahu lagunya terus jadi hafal, tadinya enggak bisa baca notasi jadi bisa, yang semula off-tune jadi on-tune deh. Kalaupun suara mereka enggak bagus, mereka tetap tahu caranya bernyanyi,” tutup Alfa.