Pada 2018 lalu, riset Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Nahdlatul Ulama mengklaim 41 dari 100 masjid di lingkungan kantor pemerintah tersusupi paham radikalisme Islam. Meski data ini dibenarkan dengan sedikit koreksi oleh Badan Intelijen Negara, saat itu masih misterius bagaimana paham radikal tersebut bisa masuk masjid pemerintahan. Baru dua tahun kemudian, pada Rabu kemarin (2/9), kita mendapat jawabannya.
Adalah Menteri Agama Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi, S.I.P., S.H., M.H. yang membocorkan strategi propaganda senyap tersebut. Dalam acara diskusi daring peluncuran aplikasi “ASN No Radikal” di akun YouTube Kementerian Pendayagunan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada Rabu (2/9), Menag menyebut paham radikal masuk ke masjid-masjid di masyarakat secara umum dan masjid di lingkungan kantor pemerintah secara khusus lewat… anak good looking.
“Caranya masuk mereka gampang. Pertama, dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arabnya bagus, hafiz, [lewat situ] mereka mulai masuk,” kata Fachrul, dikutip CNN Indonesia.
Menteri Agama lalu memaparkan skenario penyusupan itu sebagai berikut. Dengan modal good looking dan penguasaan agama yang baik, si “anak” akan meraih simpati dari pengurus dan jamaah masjid. Lalu pelan-pelan ia akan berhasil dijadikan imam di masjid tersebut. Puncaknya, si “anak” diikutkan sebagai pengurus masjid.
Di titik itulah si “anak” good looking akan memasukkan teman-temannya sesama penganut paham radikalis ke barisan pengurus masjid. Akhirnya, taraaa, masjid dikuasai kelompok radikal Islam.
Sejumlah pertanyaan mengendap setelah mendengar penjelasan tersebut. Apakah si anak good looking beneran anak-anak alias belum berumur 18 tahun? Bagaimana cara si anak menyamarkan pahamnya dari para orang tua pengurus masjid? Terus, kok Pak Fachrul Razi bisa tahu skenario ini, sumbernya dari mana?
Semoga di masa depan pertanyaan-pertanyaan itu terjawab. Untuk saat ini, kita harus berpuas diri dengan rekomendasi Menteri Agama. Ia usul, untuk menahan susupan radikalis-radikalis cilik ini, yang jadi pengurus masjid di kantor pemerintahan mending pegawai internal aja. Jangan sampai pengurusnya orang luar.
One should ask, Pak, kalau pegawai pemerintahannya sendiri yang radikalis, gimana dong? Tenang, kita akan dapat jawabannya di akhir tulisan ini.
Balik ke penelitian P3M NU 2018 lalu. Jadi di tahun itu, selama tiga minggu mereka mantengin khutbah Jumat, buletin, brosur, kalender, dan mading di 100 masjid dalam lingkungan kantor pemerintahan, lembaga negara, dan BUMN. Hasilnya, 41 masjid divonis kemasukan paham radikal dengan kadar berbeda-beda.
Apa sih yang dimaksud radikal di sini? Ketua Dewan P3M NU Agus Muhammad waktu itu ngejelasin ke Republika, radikalisme adalah pandangan dan perilaku yang menganggap dirinya benar dan lainnya salah. Selain tak menerima perbedaan, kelompok radikal juga mudah mengafirkan kelompok lain.
Juru Bicara Kementerian Agama Mastuki sempat memberikan solusi darurat. Yakni dengan meminta masjid terkait memakai khatib yang moderat serta mengimbau agar khotbah , mengatakan disepakati untuk menampilkan khatib yang lebih lebih moderat. Selain itu ia mengimbau khatib membaca buku panduan khotbah dari Kemenag yang berisi ajaran cinta tanah air.
Riset P3M NU hanya berselang setengah tahun dari huru-hara Ramadan 2018. Pada bulan Mei tahun itu, media sosial riuh mengetahui sejumlah penceramah yang diidentifikasi pro-khilafah mengisi kajian Ramadan di masjid milik salah satu BUMN.
Gara-gara kasus ini, dua minggu kemudian Kemenag merilis rekomendasi 200 mubalig untuk diundang berceramah oleh masyarakat. Rilis ini menciptakan keriuhan baru karena tak memuat nama penceramah kondang Ustaz Abdul Somad. Sejak itu pemerintah jadi punya concern lebih pada isu radikalisme di kalangan ASN. Tindak lanjutnya lumayan ekstrem, yakni dengan membuat sistem pengawasan sejawat.
Idenya, agar sesama ASN bisa saling mengawasi tendensi radikal satu sama lain. Jika ada temuan, si penemu diminta mengadu lewat situs aduanasn.id yang dibikin khusus demi misi ini. Portal ini diluncurkan bersama oleh 12 kementerian dan lembaga negara pada 12 November 2019.
Tapi itu rupanya belum cukup. Mungkin mengadaptasi semangat 4.0 yang latah disebut-sebut para pejabat sejak 2019, Menpan-RB Tjahjo Kumolo meluncurkan versi aplikasinya yang dinamai aplikasi “ASN No Radikal”. Nah, dalam peluncuran inilah Menag Fachrul Razi bicara skenario penyusupan tadi.
“Kita ingin coba dengan aplikasi, sehingga teman-teman kepala daerah yang memonitor para sekda dan BKD untuk proses eselon II harus hati-hati,” ujar Tjahjo dikutip Tempo. Waktu dicek di Play Store maupun App Store, saya sih belum bisa nemuin aplikasi ini.
Karena baru kelar baca novel 1984-nya George Orwell, jujur saya serem sama sistem pengawasan sejawat yang sampai dibikinin aplikasinya ini. Kalau saya seorang ASN, pasti horor banget ketika nemu teman sesama ASN nyimpen aplikasi ini di hapenya. Ada tukang ngadu nih…