Raungan knalpot blombongan motor RX King remaja tanggung yang kebelet eksis tidak ada harganya di jalanan Bululawang saban sore hari. Sebab, siapa saja yang melintasi daerah tersebut indra pendengarnya akan bergetar kencang terlebih dulu oleh dentuman musik remix, diputar menggunakan piranti sound system yang amat eksesif. Nyaris bersela 500-an meter saja, tiap halaman depan rumah penduduk kecamatan di Kabupaten Malang, Jawa Timur tersebut dialihfungsikan sebagai panggung memajang perangkat sound kebanggaan yang dihadapkan ke jalanan, dan memutar musik dalam full volume superkencang tanpa ampun.
Kecintaan begitu mendalam menyetel musik sekeras mungkin bukan cuma milik penduduk Kabupaten Malang. Sebagian warga kabupaten di kawasan Tapal Kuda juga punya ambisi tak kalah besar. Tidak mengherankan jika akhirnya para pemilik sound system dari berbagai wilayah Jatim itu menciptakan kancah tersendiri dan memicu “duel”.
Lapangan kosong di ujung deretan rumah penduduk desa Bakalan, kecamatan Bululawang, kerap menjadi arena gelanggang pertarungan para sound builder kawakan. Pada 19 Februari 2023, ketika VICE berkunjung, Sriwijaya Production dari Jember bertandang ke kandang lawannya, Riswanda Audio asal Malang.
Duel malam itu menggunakan spek build up speaker, melibatkan 32 speaker subwoofer, yang sanggup mengeluarkan frekuensi sebesar 165 ribu watt dan bisa terdengar hingga radius 7 kilometer. Operator tiap kubu lawan akan memandu pergantian musik yang akan diputar selama duel, tentu bisa saja mengakibatkan sound-nya jebol jika salah pengaturan.
Mayoritas penikmat musik yang dijuliki audiophile lazimnya mengutak-atik speaker demi mengejar clarity. Target macam itu tidak ada dalam kamus pelaku adu speaker Jatim.
Jenis pengeras suara custom ini menghasilkan dentuman uwajurrr merujuk istilah pemuda setempat. Mereka menamainya sound ‘Horeg!’, sensasi getaran yang dikeluarkan dari woofer (speaker bass) suara yang lebih menonjol pada frekuensi rendah. Sensasi dentumannya bisa sampai menyakiti badan dan membuat gendang telinga berdengung, seperti salah satu rumah warga di Jember yang sudah pernah menjadi korban keganasan sound horeg, kaca jendela pecah hingga plafon atap ambrol. Video efek speaker ganas ala skena Jatim itu, yang sering pula dipakai untuk hajatan, beberapa kali viral di medsos.
Di kabupaten Malang sendiri, sound horeg sering jadi sarana hajatan pesta rakyat secara swadaya, yang nantinya hasil dari pendapatan acara akan digunakan untuk membangun masjid atau memperbaiki akses jalan desa. Masyarakat Malang raya pun berbondong-bondong berburu ke tiap desa setiap akhir pekannya untuk mencari pesta horeg paling seru. Di sekitar arena tarung sound juga selalu ada pasar malam yang dibuat dadakan oleh warga desa setempat untuk ikut andil jual jajanan, seperti bakwan Malang, bakso bakar, telur gulung, mie ayam, tahu bulat, dan sejenisnya.
”Kalau ke Malang ya yang dicari itu Horeg,” kata Diki, pemuda 24 tahun asal Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, yang ngobrol bersama VICE sebelum siap ber-horeg ria. “Sejak 2018 [sudah rajin mendatangi horeg] dan waktu itu saya masih duduk di bangku SMA, awalnya ya gara-gara diajak teman desa untuk nonton karnaval sound,” tandasnya,
Pengalaman digedor suara superbising malah membuat Diki ketagihan dengan jagat horeg beserta musik remix favoritnya. Baginya, horeg ampuh mengatasi rasa suntuk. Selain itu berada di kerumunan orang merasakan dentuman secara seksama terasa menyenangkan.
“Mandek sek rek, azan,” terdengar suara operator dari kubu Sriwijaya memberi instruksi, yang menyela persiapan adu bising malam itu. Berselang 15 menit seusai azan isya’ dikumandangkan, duel benar-benar dimulai. Susunan sound system Sriwijaya dan Riswanda disiapkan dengan posisi berhadap-hadapan, persis seperti adegan film Scott Pilgrim vs The World.
Para pemburu horeg mulai berkumpul di antara area sound kedua kubu dan mencari titik paling nyaman untuk mendapatkan sensasi getaran dari subwoofer. Riswanda memulai “serangan” dengan lagu “It’ll Be Okay” dari Rachel Grae yang sudah di-remix pol-polan. Setelahnya gantian Sriwijaya membalas lewat remix lagu “Hello” milik Adele yang tidak kalah horeg-nya.
Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam dan ada info ada 2.000-an lebih orang memadati lapangan Bululawang. “Ya kayak gini ini suasananya, ramai sama seperti yang di Sumbersewu,” celetuk Rino, bos Sriwijaya Production, saat ditemui VICE di belakang panggung. Nama itu adalah desa yang menciptakan sejarah pagelaran adu sound system. Bicara horeg, artinya harus membicarakan kultur desa Sumbersewu, kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi.
Semua ini berawal dari kegiatan iseng menyambut lebaran dengan takbiran menggunakan sound system, seringkali diangkut menggunakan gerobak. Seingat Rino, sejak 2005 semua aspek adu sound system digarap lebih serius. Rino dan Sriwijaya sendiri adalah juara kompetisi ala Sumbersewu pada 2012. Mereka berdiri pertama kali empat tahun sebelum akhirnya jadi juara lomba adu bising.
Jika dulu para peserta menggunakan gerobak, sekarang tiap duel menggunakan truk fuso sepanjang 8 meter dan tinggi 4 meter yang sudah dilengkapi lighting. Adu sound system ala Sumbersewu dirancang mirip karnaval, dimulai dari siang hingga sore hari. Sebanyak 40 truk fuso diparkir mengelilingi lapangan yang berada di desa dan memutar musik secara bergantian, setelah itu truk lanjut keliling takbiran sampai malam. “Takbiran tapi dirayakannya pakai puluhan sound yang muatannya ribuan watt kan cuma ada di Sumbersewu,” kata Rino sembar meringis.
Konsep itu ternyata menarik minat banyak orang dari luar Banyuwangi, mencakup Malang, Jember, Blitar, Kediri dan beberapa kabupaten lain di Jawa Timur. Berawal dari sinilah duplikasi acara pun tersebar ke daerah-daerah yang pernah mengikuti acara di Sumbersewu, termasuk Malang.
Tentu saja keramaian horeg sempat terhenti saat memasuki 2020 awal akibat badai pagebluk Covid-19, iring-iringan truk fuso pun mangkir cukup lama karena surat izin keramaian sudah jadi hal yang sukar didapat. Pengusaha sewa sound system memutar otak untuk cari jalan keluar agar alatnya tetap bisa menyala.
Menurut Rino, sound system harus rutin dinyalakan, jika didiamkan saja bisa soak seperti kelistrikan mobil. Alhasil, meski orderan sewa sepi selama pandemi, mesin harus rutin sesekali dimainkan. Tidak perlu truk fuso, sistem pencahayaan, dan riuh penonton, hanya agenda yang sangat biasa, yaitu ‘check sound’ yang sekedar mencoba-coba alatnya saja. Lalu mengajak sesama pengusaha sewa sound lain untuk gabung dalam satu lapangan, lahirlah kembali sebutan ‘battle sound’ seperti format acara di Bululawang.
“Sekarang Malang termasuk yang perkembangannya paling pesat, karena tiap desa punya acara sound horeg masing-masing,” kata Diki. Dapur pembuatan musik remix khusus sound horeg juga diproduksi di Malang, munculnya Malang City Producer Club (MCPC) membuat pemburu horeg bisa update pilihan musik yang akan diputar selama pesta berlangsung, mulai dari lagu musisi luar negeri, lagu asli Indonesia, hingga lagu bahasa jawa yang disulap jadi musik remix.
Kategori sound horeg yang bagus itu seringkali dinilai dari jangkauan jarak dengar paling jauh. Ketika bisingnya terasa sampai sekian kilometer tapi detail gedorannya terdengar jelas, maka pemilik sound itu dianggap sukses mengungguli lawannya. Adanya standarisasi “mutu suara” macam itu otomatis melahirkan ikatan profesi. Itu sebabnya di kota dan kabupaten Jawa Timur telah berdiri sekian organisasi horeg. Contohnya Paguyuban Sound Malang Bersatu (PSMB) yang diprakarsai beberapa komunitas lokal demi mengorganisir lomba sound system berdasarkan kualitas dan kekuatannya dentuman, dari perwakilan setiap kota nanti akan diadu lagi dengan pemenang dari kota yang lain.
Bahkan, mulai muncul keinginan untuk melebarkan franchise horeg. “Tahun ini [komunitas sound system besar] mulai merambah ke Jawa Tengah, mulai main horeg ke Jepara, Kudus, Pati,” kata Rino menambahkan.
Orang-orang seperti Rino punya peran penting dalam duel. Mereka bukan cuma pemodal alat. Selama duel berlangsung di desa Bakalan, contohnya, sorotan penonton kerap tertuju ke sang pemilik nama sound system. Tak henti-hentinya penggemar mengajak swafoto ‘Mbah’ Rino, julukan sang bos Sriwijaya. Konten yang beredar di sosial media tentang acara macam ini justru seringkali terkait sang pemilik saat melontarkan bacotan konyol di atas panggung. Owner dari sound horeg memang mempunyai daya tarik yang unik terhadap penonton, karena saling lempar guyonan hingga kata-kata sarkas kepada lawan tandingnya.
Penggemar fanatik horeg juga menjadi bumbu keseruan ajang adu sound system, deretan nama-nama seperti Sriwijaya Production, Riswanda Audio, Giant Music, Brengos Pro, Brewog Audio. “Walah, sound kalahan disewo [walah, ayo jangan menyewa sound yang sering kalah duel-red],” jadi jurus andalan para penggemar untuk menjatuhkan nama sound system lawan.
Kegiatan battle diakui merupakan sarana promosi jasa mereka lewat cara ngguatheli. Pengusaha sewa sound akan totalitas unjuk horeg kepada calon konsumennya, harus tampil maksimal agar alatnya menarik perhatian telinga banyak orang.
“Bagi orang-orang ada rasa bangga, kalau bisa sewa sound yang pernah menang battle,” kata Diki.
Menciptakan dentuman horeg bukan hobi murah. Sekali menyewa jasa Sriwijaya Production, contohnya, si empunya hajat wajib menyiapkan mahar minimal Rp30 juta. Itu baru set paling standar, mencakup 32 unit subwoofer, 16 unit mid high, dan 4 unit low high sekali pentas. Harga bisa melonjak untuk set sound system yang lebih ekstrem.
Tiap desa juga punya gengsi dalam memilih jasa penyewa sound system. Anggaplah desa Bakalan berhasil mendatangkan Riswanda Audio, maka bulan depan desa sebelah di kecamatan yang sama akan menyewa jasa sound yang tak kalah berpamor. Semakin banyak subwoofer-nya akan semakin memikat pemburu horeg untuk datang. Sudah biasa jika dalam satu pentas, tiap rumah produksi sampai membawa 60 subwoofer. Jumlah sebanyak itu hasil dari dua perwakilan nama sound, yang bisa menentukan jumlah penonton yang datang.
Ingat, duel horeg bagaimanapun acara komersial. Ini bukan gig bawah tanah dengan semangat kolektif. Penggemar horeg wajib membayar tiket masuk yang seringkali dibanderol Rp10 ribu per orang, plus biaya parkir Rp10 ribu (yang biasanya kelola bersama “tokoh pemuda”). Itu sebabnya, perputaran duit dari duel horeg tak main-main. Sekali acara, sedikitnya Rp100 juta bisa terkumpul. Jika penonton di atas tiga ribu, acara di satu desa bisa meraup Rp200 jutaan semalam saja.
Menariknya, tiap sound builder dari mazhab sumbersewu turut menjual eksperimen tata suara mereka kepada orang yang berminat. Para pembeli itu akan ganti menyewakan alat custom itu ke daerahnya yang masih jarang memiliki bisnis sewa alat pengeras musik. Rino mengakui pembeli sound rakitannya kelak mungkin bisa jadi pesaing, tapi dia tak ambil pusing. Makin banyak yang membeli sound rakitan Sriwijaya, menandakan Rino Cs masih punya pamor tersendiri.
“Tujuan Sriwijaya sebetulnya cuma untuk memacu bagaimana sound itu bisa lebih enak, yang penting tidak tenggelam, karena biar tetap eksis di dunia sound system Jawa Timur itu lumayan susah,” ujarnya.
Justru, dengan acara duel sound system inilah, Rino menganggap bisa dihindari persaingan yang tidak sehat. Di ajang ini, para owner pemilik sound saling silaturahmi dengan sesama pemain. Kegiatan ini, menurutnya, juga berhasil menyatukan minat banyak anak-anak muda di wilayah Malang Selatan.
“Sebetulnya tidak ada yang menang dan kalah. Sekedar buat senang-senang saja,” ujar Rino.
Namun dia mengakui, aspek horeg yang utama adalah persaingan menjadi yang paling bising, yang paling menggedor telinga. Mengejar titik ekstrem dentuman itu lah tantangan utama yang membuat banyak orang di Jatim kecanduan subkultur ini.
“Kalau tidak ada tantangan, pasti sudah banyak yang berhenti dari dulu,” tandasnya.
Muhammad Ishomuddin adalah jurnalis lepas, fotografer, sekaligus pegiat komunitas pemberdayaan anak muda di Gresik, Jawa Timur. Simak laporan-laporannya yang menggelitik untuk VICE di tautan ini.