Perempuan 22 tahun yang duduk di atas haynak, bangku kecil yang terbuat dari kayu dan kulit sapi, tampak sibuk merangkai kalung manik-manik yang akan dikenakannya selama festival musim dingin Chawmos bulan depan. Hazar Bibi kawin lari dengan Rustam, tentara angkatan darat Pakistan, pada festival Chawmos enam tahun lalu.
Suaminya kini bertugas di distrik Swat, 85 kilometer jauhnya dari tempat tinggal mereka di provinsi Khyber Pakhtunkhwa, Pakistan. Rustam akan pulang Desember nanti untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang keenam.
“Saya masih 16 tahun dan Rustam sudah 30 tahun ketika kami menikah,” Bibi memberi tahu VICE News. “Ayahku tidak menyetujui hubungan kami karena Rustam jauh lebih tua. Makanya saya kabur ke rumah Rustam selama Chawmos.”
Anggota keluarga Rustam yang perempuan menyambut kedatangan Bibi dengan tepung dan kalung manik-manik. Tradisi inilah yang mengukuhkan pernikahan mereka. Para tamu undangan dijamu dengan goom tasili (roti gandum tipis) dan chamani (keju cottage).
Diselenggarakan satu bulan penuh setiap Desember, Chawmos dikenal sebagai festival keberuntungan oleh suku Kalash, yang populasinya hanya 4.114 orang dan menetap di tiga lembah Bumburet, Rumbur dan Birir. Banyak perempuan muda yang kawin lari selama festival berlangsung.
“Tradisi kawin lari sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Tidak ada yang salah sama sekali dengan kami,” tutur Bibi.
Pakistan adalah negara paling berbahaya keenam bagi perempuan dan menduduki peringkat dua terbawah dalam indeks kesetaraan gender. Namun, suku Kalash percaya bahwa perempuan berhak hidup atas pilihannya sendiri tanpa batasan. Kelompok minoritas ini menetapkan kesetaraan gender di negara yang konservatif.
Warna s’us’utr (hiasan kepala tradisional berornamen cangkang cowrie) yang akan dipakai perempuan dipilih berdasarkan warna kehidupan mereka — merah, kuning, oranye atau hijau. Mereka bebas berinteraksi dan menari bersama laki-laki selama festival musiman seperti Ucaw, Zhoshi, Pu’n’ dan Chawmos. Para pemudi, beberapa di antaranya masih 17 tahun, begadang untuk minum-minum D’a atau anggur yang mereka racik sendiri.
“Lelaki di sini tidak membatasi perempuan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” ujar Reshma Kalash, mahasiswi S1 berusia 21.
Berdasarkan pengakuannya, sang ayah membebaskan Reshma untuk menjalani hidupnya sendiri.
“Ayah selalu mengizinkan saya untuk mengambil keputusan sendiri,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan sebagian besar lelaki seumuran ayahnya bukanlah orang terpelajar. Mereka mencukupi kebutuhan hanya dengan bertani dan beternak saja. Walaupun begitu, mereka ingin agar anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menempuh pendidikan setinggi mungkin. Cukup banyak perempuan Kalash pada generasi ini yang berprofesi sebagai guru, perawat dan dokter.
Bibi baru menyelesaikan sidang skripsi di sebuah universitas negeri. “Saya kuliah jurusan komputer biar bisa dapat pekerjaan bagus,” katanya.
Gaya hidup perempuan Kalash yang bebas membuat banyak orang luar penasaran. Mereka bagaikan pemandangan tidak biasa di provinsi yang mencatat 900 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan sepanjang 2015-2019. Tahun lalu, pejabat Khyber Pakhtunkhwa memerintahkan semua siswi sekolah negeri untuk mengenakan abaya. Peraturannya langsung dicabut begitu menuai kecaman di media sosial.
Wisatawan asing dan lokal berbondong-bondong mendatangi Bumburet untuk menyaksikan langsung kemeriahan festival, sekaligus mencari tahu seperti apa sebenarnya suku Kalash itu. Bumburet menjadi pusat wisata di Khyber Pakhtunkhwa. Dibutuhkan 10 jam perjalanan darat dari ibu kota Pakistan, Islamabad, menuju Bumburet.
Reshma mengaku kurang menyukai kehadiran wisatawan asing di Bumburet, khususnya laki-laki Muslim. Menurutnya, mereka datang ke sana hanya untuk melihat “perempuan bermata hijau tak berkerudung yang mengenakan jubah sulam panjang warna-warni.”
“Banyak wisatawan laki-laki memfoto kami tanpa izin,” ungkapnya. “Mereka kira kami perempuan bebas yang mau kawin lari sama siapa saja.”
Sebagian perempuan yang berasal dari masyarakat politeis ini menjadi mualaf begitu menikahi lelaki Muslim di Bumburet — lelakinya bisa jadi wisatawan, bisa juga penduduk Bumburet. Tujuannya supaya mereka bisa memiliki kehidupan lebih baik. Beberapa diduga dipaksa menganut ajaran Islam oleh lelaki Muslim yang jumlahnya semakin banyak di wilayah tersebut. Pernikahan beda agama menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh komunitas yang jumlah populasinya kian menipis.
“Banyak temanku kawin lari dengan laki-laki Muslim, tapi pernikahan mereka hancur karena perempuan Kalash tidak dapat menyesuaikan diri dengan keluarga Muslim konservatif. Kebebasan mereka hilang setelah menikahi orang Islam,” Sabah Kalash, 20 tahun, menjelaskan. “Banyak dari mereka yang pulang ke kampung halaman setelah mengalami KDRT.”
Namun, perempuan Kalash yang sudah jadi mualaf menghadapi masalah lain ketika pulang ke tempat asalnya.
“Perempuan mualaf tidak diizinkan bergabung dalam perayaan festival,” Ekbal Kalash, pemimpin komunitas yang baru berusia 25, memberi tahu VICE World News. “Sedangkan hidup kami tidak bisa lepas dari festival.”
Perempuan Kalash yang menikahi sesama anggota suku diberi kebebasan untuk bercerai, meskipun dengan mas kawin.
Calon suami kedua harus memberikan sejumlah uang tunai dan hadiah kepada suami pertama sebelum menikahi perempuan yang telah bercerai. Akan tetapi, hadiahnya harus dua kali lipat lebih besar dari mahar yang diserahkan suami pertama ketika menikahi mereka.
“Perempuan minta cerai adalah hal tabu di daerah lain. Kalau di sini sudah jadi hal yang wajar,” tutur Shamil Kalash, 26 tahun. “Perempuan tidak pernah disalahkan jika ingin mengakhiri pernikahannya.”
Perempuan Pakistan kerap dipaksa suami untuk pulang ke rumah ketika mereka menuntut diceraikan. Suami akan memanfaatkan restitusi hak perkawinan (PCR), sebuah mekanisme hukum di bawah Undang-Undang Keluarga Muslim yang awalnya disusun untuk membantu memulihkan hubungan suami istri.
Shamil khawatir UU perkawinan yang dirancang pemerintah Khyber Pakhtunkhwa akan menghambat kebebasan perempuan Kalash untuk menikah dan bercerai.
“Kami tidak mau pemerintah Pakistan memaksakan undang-undang yang membatasi kebebasan perempuan komunitas kami yang telah diturunkan dari generasi ke generasi,” lanjutnya.
Nabaig Shahrakat, 39 tahun, adalah satu-satunya pengacara di komunitas itu. Dia membantu pemerintah menyusun undang-undangnya. Kepada VICE World News, Nabaig mengklaim hanya akan “mengomodifikasikan tradisi dan adat” suku Kalash, bukan “merusaknya”.
Sabah justru berkata lain. Dia menjelaskan pemerintah sudah mulai berusaha mengintegrasikan suku Kalash dengan budaya “mainstream” Pakistan.
“Kami menggunakan bahasa asli Kalash, tapi kami disuruh belajar bahasa Urdu di sekolah,” terangnya. “Banyak orang Islam yang diizinkan membuka usaha di Bumburet, yang pada akhirnya memengaruhi keaslian gaya hidup kami.”
Sapaan tradisional “Ishpata” telah membuka jalan bagi sapaan Islam “Assalamualaikum”. Perempuan Kalash kini memanggil pengunjung perempuan dengan sebutan baaji, atau saudara perempuan dalam bahasa Urdu. Kizila Matoni dan Shura Gal’I adalah nama populer Kalash di masa lalu, tapi sekarang nama-nama Islam seperti Iqbal Shah dan Gul Bahar jadi lebih populer.
Meskipun demikian, Bibi yakin anggota suku Kalash akan terus mempertahankan tradisinya. “Kalau bukan kami, siapa lagi yang akan menyelamatkan budayanya?”
Follow Sonia Sarkar di Twitter.