Peran influencer dalam sosialisasi kebijakan pemerintah Indonesia kembali mendapat sorotan. Beberapa tahun terakhir, pemerintah berulang kali menggandeng para pesohor media sosial demi mempopulerkan sejumlah program. Jumlah followers yang mereka punya di berbagai platform menjadi faktor utama mengapa peran mereka disebut krusial.
Sorotan negatif lantas muncul akibat pemilihan Raffi Ahmad sebagai penerima awal vaksin Covid-19 buatan Sinovac, bersama Presiden Joko Widodo pekan lalu. Jauh sebelum mendominasi Instagram dan YouTube, Raffi sudah lebih dulu terkenal sebagai pemain sinetron dan pembawa acara. Di Instagram, 49,6 juta orang mengikutinya. Sementara channel YouTube RANS Entertainment memiliki 19 juta subscribers.
Netizen berspekulasi keputusan tersebut tepat sebab dia merupakan sumber informasi bagi sebagian kalangan masyarakat dan jutaan penggemar yang menjadikannya role model tidak akan ragu lagi untuk divaksin. Celakanya, beberapa jam usai menerima vaksin, Raffi justru menghadiri sebuah pesta dan tampak tidak memakai masker.
“[Target sosialisasi] jadi kontra produktif kan?” kata epidemiolog Dicky Budiman kepada VICE. Sejak awal, dia mempertanyakan strategi untuk menjadikan influencer sebagai agen pemasaran pemerintah. Ini lantaran tidak ada riset atau bukti yang mendukung bahwa jumlah orang yang mengikuti mereka di media sosial berbanding lurus dengan keberhasilan mempersuasi publik, terlebih ketika pandemi.
“Dalam situasi pandemi, selalu upayakan mengambil keputusan, strategi, opsi sekalipun itu berbasis science tentu yang pertama. Kalau enggak ada science, tentu ada riset berupa bukti empiris,” imbuhnya. Artis atau influencer, kata Dicky, hanya dijadikan hiburan oleh masyarakat sehingga sulit untuk mengubah pola pikir yang sudah tertanam soal vaksin.
Munculnya keraguan atau bahkan penolakan terhadap vaksin Covid-19 sendiri sudah muncul sejak jauh hari. Ini mustahil diubah oleh selebritis hanya karena mereka menunjukkan partisipasi dalam vaksinasi. “Publik itu cuma nonton. Mereka hanya penasaran aja kayak hiburan. Kan tujuan kita bukan hiburan. Tujuan kita mengubah image, stigma, membangun kesadaran. Nah, dalam situasi ini, itu tidak terjadi,” tegasnya.
Bukan Indonesia saja yang berharap pada influencer. Otoritas kesehatan Inggris mengatakan pada tahun lalu bahwa akan ada sejumlah sosok terkenal di media sosial yang akan menjadi wajah vaksinasi Covid-19. “NHS Inggris sedang mencari wajah-wajah tersohor, orang-orang yang terkenal dan dicintai. Bisa jadi selebritis yang sangat bijaksana dan telah melakukan hal-hal bijaksana selama pandemi,” kata pejabat kesehatan setempat.
Obsesi pejabat Indonesia terhadap influencer terus berlanjut. Giliran calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo yang ingin mengajak pesohor medsos mengedukasi masyarakat soal perilaku saat berselancar di internet, caranya lewat pembentukan polisi virtual.
“Pembelajaran melibatkan masyarakat, melibatkan influencer yang mempunyai follower cukup banyak untuk berikan edukasi tentang bagaimana beretika, berbudaya yang baik dalam penggunaan media sosial,” tuturnya saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI.
Belum ada penjelasan teknis pelaksanaan mendetail mengenai siapa saja influencer yang dimaksud. Tetapi ide itu sudah cukup membuat netizen bingung. Beberapa pengguna medsos mengungkapkan keberatan karena menganggap banyak influencer yang justru tidak mendapatkan respek dari masyarakat.
Negara yang paling terkenal melakukan patroli internet adalah Tiongkok. Pada 2007 lalu, pemerintah pusat di Beijing resmi meluncurkan polisi virtual. Menurut media setempat, netizen semakin mudah melaporkan adanya informasi sesat atau situs pornografi dengan mengklik kartun polisi yang muncul di semua halaman internet setiap 30 menit.
Kemudian, pelapor diminta mengisi formulir berisi keterangan lebih detil yang akan diperiksa polisi. Ini menentukan apakah polisi akan menindaklanjuti sebuah aduan atau tidak. Jika ide Listyo disetujui dan dijalankan, tidak jelas apakah fungsi influencer di dalamnya, terutama karena mereka sendiri juga bergantung pada kebebasan memakai internet.
Asumsi bahwa semakin tinggi jumlah followers maka semakin berpengaruh seorang influencer masih diperdebatkan para peneliti. Riset UM, sebuah agensi media asal Inggris, pada 2019 lalu menemukan hanya 47 persen orang di dunia yang terpengaruh pendapat-pendapat yang ada di internet. Angka ini menurun dibandingkan pada 2017 sebanyak 54 persen.
Saat dikerucutkan pada kategori influencer, hanya empat persen pengguna internet global yang percaya pada informasi yang mereka sajikan. Di Inggris sendiri, hampir 70 persen orang mengaku tak percaya pada pendapat influencer. Menurut Head of Client Insight UM Liz Haas, hasil ini mencerminkan semakin banyak orang menyadari ada masalah kredibilitas dan transparansi di internet, sehingga informasi yang tersedia pun layak diragukan.
Persoalan pertama yang disorot adalah influencers bergantung kepada popularitas. Akhirnya, muncul bisnis fake followers yang memudahkan seorang influencer dalam membeli akun palsu untuk mengesankan mereka sangat populer. Pada 2019, Jaksa Agung New York Letitia James sampai mengumumkan penjualan followers dan likes palsu di media sosial sebagai aktivitas ilegal, bukan hanya karena mencuri identitas orang asli, tetapi juga menipu publik secara online.
Setahun sebelumnya, Instagram menyatakan siap untuk memerangi akun-akun palsu yang dibuat oleh perusahaan maupun agensi. Media sosial tersebut mengaku menyiapkan cara untuk mendeteksi dan menghapusnya.
“Baru-baru ini kami melihat akun-akun memakai aplikasi pihak ketiga untuk pura-pura menambah audiens mereka,” kata manajemen Instagram lewat situs resminya. “Sejak hari ini, kami akan mulai menghapus likes, pengikut dan komentar palsu dari akun-akun yang menggunakan aplikasi pihak ketiga untuk meningkatkan popularitas mereka.”
Problem berikutnya adalah para influencer mendapatkan uang dari endorsement. Salah satunya adalah pemerintah. Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2014 sampai 2020 pemerintah mengeluarkan sebesar Rp90,45 miliar untuk membayar berbagai kegiatan yang melibatkan influencer. Lembaga yang paling banyak menggelontorkan uang adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yaitu sebanyak Rp77,26 miliar.
Oktober 2020, kementerian tersebut mengumumkan ada 11 influencer tanah air yang diajak mempromosikan pariwisata di tengah pandemi. Tagar seperti #WonderfulIndonesia dan #DiIndonesiaAja dipakai untuk memperluas gaungnya. Tidak diketahui berapa biaya yang dikeluarkan untuk membayar masing-masing influencer.
Peneliti ICW Egi Primayogha menilai pemerintah bukan hanya tidak percaya diri dengan program-programnya, tetapi juga tidak transparan dalam pemilihan influencer untuk mempengaruhi opini publik. “Ini tidak sehat dalam demokrasi karena mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan tertutupnya percakapan dengan publik,” kata Egi.
Tetapi, meningkatnya kecerdasan masyarakat dalam medsos juga harus diperhitungkan. Mereka tetap punya pendapat pribadi yang tidak terpengaruh oleh influencer. Dr Benedetta Crisafully, pakar pemasaran dari University of London, mencontohkan saat sebuah brand bermasalah, penggunaan jasa influencer justru tidak efektif.
“Penelitian kami menunjukkan konsumen menginterpretasikan kontribusi influencer dalam komunikasi krisis sebagai sebuah taktik persuasif oleh brand untuk mencoba dan membuat konsumen percaya bahwa krisis yang terjadi tidak seburuk kelihatannya,” kata dia. “Upaya ini justru dipandang sebagai bentuk manipulasi, sehingga mendapatkan penolakan.”