Gregorius Afioma tidak menyangka bila fotonya, yang memperlihatkan truk pembawa material bangunan beradu hadap dengan komodo, viral beberapa hari belakangan. Foto tersebut diunggah Greg, sebutan akrabnya, di akun Instagram pribadi itu mendulang ratusan ribu likes, serta menyebar begitu cepat ke berbagai platform media sosial lainnya.
“Enggak kepikiran sekali [kalau akhirnya viral],” terang Greg, ketika dihubungi VICE. “Karena sejauh ini, postingan saya gitu-gitu saja, enggak terlalu banyak yang memberi perhatian.”
Greg mengaku menyimpan kepuasan tersendiri, terlepas dari viralnya foto tersebut. Sebab konflik di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Barat (NTB), kembali masuk radar perbincangan masyarakat, setelah sempat tenggelam oleh pemberitaan pandemi.
“Saya pikir ini bisa jadi momentum yang positif untuk perlawanan kami. Dengan viralnya foto tersebut, itu berarti orang-orang mulai perhatian lagi ke masalah di [Pulau] Komodo,” imbuhnya. “Kami di sini seperti memperoleh bahan bakar untuk melawan.”
Dua tahun lamanya Greg bergelut dalam pusaran konflik di Pulau Komodo dan sekitarnya. Bersama teman-temannya yang tergabung di Sunspirit for Justice and Peace, organisasi nirlaba yang berfokus pada advokasi isu-isu lingkungan kawasan Nusa Tenggara, Greg aktif mengawal rencana pembangunan taman berkonsep Jurassic di Pulau Rinca. Dia berkampanye secara online maupun offline, merilis publikasi berbasis riset, hingga mendampingi warga terdampak.
Sejak awal, suara Greg beserta mayoritas warga di sekitar Taman Nasional Komodo segendang-sepenarian: menolak rencana pembangunan wisata premium yang memakai dalih keberlanjutan konservasi. Penolakan masyarakat Pulau Komodo didasarkan pada alasan bahwa alih-alih melindungi konservasi, pembangunan fasilitas wisata premium justru berpotensi meminggirkan penduduk setempat, merusak lingkungan, dan, yang paling ditakutkan, mengancam hewan langka komodo (Varanus komodoensis), yang populasi alam liarnya tersisa hanya di Indonesia.
Ketakutan tersebut tak lahir dari ruang kosong. Geliat pembangunan di Pulau Komodo, menurut Aloysuis Suhartim Karya, Ketua Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp), berisiko membuat komodo stres di habitatnya sendiri.
“Komodo, sebagaimana binatang pada umumnya, tidak suka keramaian. Mereka itu tidak terbiasa dengan penetrasi hal-hal asing di sekitarnya seperti yang terjadi baru-baru ini ketika truk-truk pada masuk di kawasan pulau,” ujarnya kepada VICE. “Kalau sudah stres, mereka tidak akan bisa berfungsi seperti pada normalnya. Ini akan berdampak panjang bagi kelangsungan hidup mereka.”
Tak sekadar stres, pembangunan di kawasan Pulau Komodo berisiko menutup titik-titik berburu komodo. Dengan hilangnya tempat berburu, kata Aloysius, otomatis kebutuhan perut komodo tidak bakal tercukupi secara proporsional.
“Lama-lama, kalau dibiarkan bisa punah saja komodo ini,” tegasnya. “Tentu kita tidak ingin hal tersebut terjadi.”
Kritik dan protes masyarakat setempat, sejauh ini, belum mengubah pendirian pemerintah pusat sehubungan pembangunan pariwisata di Pulau Komodo. Berbekal seperangkat instrumen hukum hitam di atas putih, pembangunan di Taman Nasional Komodo terus berjalan, di tengah ancaman krisis ekologi dan sosial yang mengintai.
Rencana mengubah sebagian Taman Nasional Komodo sudah dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak tahun lalu. “Destinasi pariwisata tersebut meliputi Danau Toba, Candi Borobudur, Labuan Bajo, dan Mandalika,” ucap Joko Widodo, dalam sidang tahunan DPR-MPR 2019.
Pernyataan Jokowi memberi isyarat jelas keempat nama tersebut masuk dalam prioritas percepatan pembangunan pariwisata Indonesia. Demi memuluskannya, pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp6,4 triliun. Pembangunan bakal dilakukan lintas sektor dan terintegrasi serta diharapkan mampu mendatangkan 4,5 juta wisatawan mancanegara hingga ditarget menangguk devisa senilai US$4,5 miliar.
Empat nama di atas masuk dalam program besar Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), atau yang populer dengan sebutan “Bali Baru.” Total, ada sepuluh titik yang jadi pijakan KSPN, terbentang dari Toba, Borobudur, Kepulauan Komodo, Kepulauan Seribu, Wakatobi, hingga Morotai.
Program KSPN diharap menggenjot devisa dari sektor pariwisata, yang sejak 2012 hingga 2018 konsisten memperlihatkan kenaikan, kendati ambisi itu pada 2020 babak belur sebab pandemi. Devisa pariwisata dinilai cukup penting, karena berpeluang membantu upaya pemerintah menurunkan defisit neraca transaksi berjalan yang lahir setelah performa ekspor tak memperlihatkan tanda-tanda memuaskan.
Di saat bersamaan, kemunculan program KSPN juga difungsikan untuk mengurangi ‘beban’ Bali sebagai penyangga sektor pariwisata dalam negeri. Sejauh ini, Bali masih jadi andalan utama pemerintah dalam menarik para wisatawan asing. Pada 2018, misalnya, realisasi investasi pariwisata di Bali mencapai $655,7 juta atau kurang lebih Rp9,8 triliun.
Kondisi tersebut mendorong pemerintah menciptakan deretan Bali baru, dengan maksud agar pemasukan dari sektor pariwisata lokal tak cuma berpusat di Pulau Dewata. Demi memaksimalkan program ini, pemerintah memakai pendekatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Masalahnya, implementasi di lapangan seperti jauh dari yang dibayangkan. Demi mewujudkan ambisi pembangunan pariwisata di area Taman Nasional Komodo—terdiri dari Pulau Pindar, Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan sekitarnya—pemerintah menerabas aturan yang dibikinnya sendiri.
Paling kentara adalah ihwal perubahan sistem zonasi. Di Pulau Padar, misalnya, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No: 65/Kpts/DJ-5/2001 tentang zonasi Taman Nasional Komodo, zonasi hanya dibagi menjadi dua bagian: inti dan rimba. Dua zonasi ini tertulis jelas bahwa tidak boleh terdapat aktivitas manusia, kecuali wisata alam terbatas.
Pada 2012, lewat Keputusan Direktur Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. SK.21/IV-SET/2012 tentang Zonasi Taman Nasional Komodo, ketetapan tersebut diotak-atik oleh pemerintah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) mengkonversi 303,9 hektar dari pulau itu menjadi zona pemanfaatan wisata darat.
“Peraturan zonasi itu, kan, sebetulnya politik pembagian ruang. Tapi, yang terjadi di lapangan memperlihatkan bentuk ketidakadilan. Investasi pariwisata dan pembangunan diberi sebesar-besarnya, sementara lingkungan dan ruang hidup yang ada ditekan habis-habisan,” papar Greg. “Ini enggak sesuai dengan semangat konservasi.”
Tak sekadar regulasi, konsep “wisata super premium” yang digencarkan pemerintah di kawasan Taman Nasional Komodo pun tak kalah problematis. Rencananya, pemerintah bakal menerapkan fee dengan sistem keanggotaan (membership) senilai belasan juta Rupiah bagi mereka yang ingin menikmati wisata di kawasan Taman Nasional Komodo. Artinya, pariwisata hanya bisa dinikmati orang-orang tajir, begitu pula fasilitas pendukungnya yang dibikin khusus menyesuaikan kebutuhan kelompok tersebut.
Supaya misi itu tercapai, pemerintah membuka selebar-lebarnya keran keterlibatan swasta, salah satunya berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang izin pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Di Pulau Komodo, pemerintah, sejauh ini, telah memberi izin pembangunan kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) untuk Izin Pengusahaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA). Lahan seluas 151,94 disodorkan kepada pengembang dengan perencanaan pembangunan seperti restoran hingga tempat penginapan.
Sedangkan di Pulau Rinca, pemerintah memberi konsesi kepada PT Sagara Komodo Lestari (SKL), dengan lahan pengelolaan seluas 22,1 hektare guna kepentingan pariwisata alam, pembangunan tempat penginapan, sampai restoran.
Di Pulau Rinca pula pemerintah sedang membangun sarana-prasarana wisata alam dengan desain, yang menurut tim arsiteknya, berkonsep ‘Jurassic’ (yang kemudian memunculkan pemeo ‘Jurassic Park’ dalam pemberitaan media). Pembangunan dilakukan di atas lahan seluas 1,3 hektare. Infrastruktur pendukung seperti kafe, gudang, penginapan, serta jalan elevated tak luput didirikan.
Pemandangan serupa terlihat di Pulau Padar. Pemerintah memberi izin investasi kepada PT KWE (pengembang di Pulau Komodo) di atas lahan seluas 273,13 hektare. Rencananya, di pulau ini bakal dibangun sentra kuliner dan dermaga eksklusif sebagai penopang wisata super premium di Taman Nasional Komodo.
Pembangunan yang tak berwawasan lingkungan juga hadir di luar kawasan Taman Nasional Komodo, tepatnya di Labuan Bajo. Ambil contoh Golo Mori, yang berada di gerbang timur Taman Nasional Komodo. Pemerintah berencana membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di lahan seluas 560 ha. Akan ada convention center serta hotel berbintang di lokasi yang juga jadi venue KTT G-20 2023 tersebut.
Kemudian di Wae Sano, pintu masuk Labuan Bajo, pemerintah mendirikan proyek geothermal (panas bumi). Proyek ini mengancam ruang hidup penduduk setempat sebab adanya kehadiran sumur-sumur pengeboran.
Kebutuhan pembangunan pariwisata yang digencarkan pemerintah di lahan konservasi Taman Nasional Komodo memakan 447,170 ha, dari total 132.572 ha. Jumlahnya tak sampai setengah wilayah taman nasional. Namun, aktivis lokal meyakini bila dibiarkan terus-menerus, potensi kerusakan yang kudu ditanggung bisa jauh lebih besar.
Venan Haryanto, peneliti Sunspirit for Justice and Peace, menilai urusan pembangunan di wilayah konservasi, terutama di Taman Nasional Komodo, pemerintah senantiasa bersembunyi di balik dalih “zona pemanfaatan.”
“Selama lima tahun terakhir, mereka terus memperluas zona pemanfaatan,” katanya kepada VICE. “Padahal, wilayah konservasi itu krusial bagi lingkungan. Kalau diotak-atik terus, jadinya makin terancam.”
Venan khawatir bila pemerintah tak ambil langkah serius dalam usaha pelestarian wilayah konservasi, branding yang dilakukan warga sekitar selama ini dapat berakhir sia-sia. “Kencangkan promosi saja, tak perlu sampai masif membangun,” tegasnya.
Lagi pula, jika acuannya ingin meningkatkan jumlah wisatawan, tanpa kehadiran konsep super premium pun kawasan Labuan Bajo sudah jadi destinasi favorit sepanjang lima tahun terakhir. Pada 2018, menurut catatan Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, wisatawan yang datang ke Labuan Bajo mencapai 163.087 orang. Angkanya naik jadi 184.206 orang setahun berselang.
Meningkatnya wisatawan di Labuan Bajo turut berdampak pada bertambahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masuk ke kas kabupaten. PAD 2018 khusus biaya retribusi pariwisata berada di angka Rp34 miliar. Setahun setelahnya, jumlahnya melonjak drastis menjadi Rp60 miliar. Semua berkat kehadiran Taman Nasional Komodo.
“Pembangunan yang dipaksa ini cuma membuktikan betapa nafsunya pemerintah dalam mengejar kepentingannya. Mereka gencar membangun, membeton, dan sama sekali tidak mengetahui karakter alam di sini,” ucap Aloysius.
Konflik di Taman Nasional Komodo dengan visi “Bali Baru”, menurut aktivis berpeluang besar melahirkan banyak tumbal, terutama penduduk setempat. Atas nama pemerataan pembangunan, investasi, dan pariwisata, masyarakat sekitar, yang selama berpuluh-puluh tahun berupaya menjaga kelestarian alam di lokasi bersangkutan, terancam kehilangan ruang hidup.
Akbar Tayubi, dari Garda Pemuda Komodo, mengungkapkan pembangunan di Taman Nasional Komodo punya potensi menutup mata pencaharian para nelayan yang mencari ikan di sekitar wilayah konservasi.
“Alat-alat berat yang datang sampai proses pengerukan yang dilakukan untuk membangun ini dan itu bisa membuat nelayan kehilangan pekerjaan mereka karena ikan-ikan yang ada bisa lenyap,” tuturnya, saat ngobrol dengan VICE. “Hal yang sama juga bisa terjadi ketika pembangunan selesai. Mereka akan kesulitan mencari ikan karena bakal dianggap melewati wilayah pemilik hotel atau restoran yang dijaga security.”
Tak cuma berpeluang menghilangkan pekerjaan warga sekitar, pembangunan juga melahirkan wacana relokasi penduduk Taman Nasional Komodo ke wilayah lain. Rencana urung terlaksana sebab penolakan keras dari masyarakat.
Taman Nasional Komodo baru satu contoh pembangunan pariwisata yang digencarkan pemerintah mendorong timbulnya konflik agraria dengan masyarakat. Kasus serupa lebih dulu hadir di Mandalika, kawasan di Lombok, Nusa Tenggara Barat, bagian lain dari “Bali Baru” dengan fokus pembangunan lintasan sirkuit MotoGP.
Pembangunan yang dilakukan PT Indonesia Tourism Development Corporation diiringi penggusuran paksa dan intimidasi terhadap warga sekitar, tepatnya di Kecamatan Pujut, dengan pusat sengketa berupa lahan warga seluas 70.910 meter persegi. Tak itu saja, pihak pengembang juga menggugat warga bernama Gema Lazuardi—pemilik tanah 6.000 meter—karena dinilai “menggunakan tanah tanpa izin yang berhak.”
Praktik-praktik culas yang dilakukan pengembang menuai kritik Komnas HAM. Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM, menyatakan langkah yang ditempuh PT ITDC merupakan bentuk kesewenangan.
“Upaya tersebut sebagai tindakan pengambilalihan lahan secara sewenang-wenang karena dilakukan tanpa melalui proses peralihan hak dengan pemilik lahan secara sah,” ucapnya. “Menurut informasi yang diterima, terdapat tekanan dan ancaman dari pihak PT ITDC dibantu oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang memaksa untuk meninggalkan atau menyerahkan lahan.”
Konflik yang lahir di Pulau Komodo dan Mandalika menambah daftar hitam persoalan agraria sepanjang masa pemerintahan Jokowi. Berdasarkan perhitungan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama 2015-2018, atau hanya dari periode pertama pemerintahan Jokowi, tercatat ada 1.769 konflik agraria. Jumlah ini diprediksi bisa bertambah, mengingat sepanjang periode kedua dia menjabat, berbagai kasus baru bermunculan, mulai dari Urutsewu, Bone, Teluk Benoa, Majalengka, hingga Lumajang.
Segala dinamika tersebut sebetulnya bisa diantisipasi pemerintah jika mereka berkenan melibatkan partisipasi penduduk sekitar, sebagai pihak yang paling berurusan dengan ruang hidupnya, dalam pengambilan keputusan kebijakan. Bila bicara konteks Taman Nasional Komodo, hal itu sudah diatur lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menyebut peran serta rakyat tak boleh ditepikan.
Partisipasi itu nyaris tak terdengar. Semua kebijakan diambil dari Jakarta, tanpa melihat langsung kondisi objek yang tengah digarap.
“Ini memperlihatkan bahwa sampai sekarang semua urusan pariwisata hanya dilihat dari kacamata Jakarta,” terang Venan. “Mereka datang, membawa kebijakan yang merusak, dan tutup telinga atas kritik masyarakat setempat.”
Perwakilan pemerintah mengklaim bahwa sudah ada audiensi berulang kali soal rencana pembangunan wisata premium di Pulau Rinca, dengan mempertimbangkan konservasi Komodo. “Kalau ada yang kurang berkenan saat pelaksanaan pembangunan, mungkin ada yang tidak mengikuti prosesnya dan bisa jadi kurang paham esensinya,” kata Pungky Widiaryanto selaku pejabat Bappenas, lewat keterangan di akun Instagram pribadinya.
Greg menepis asumsi tersebut. Warga dan pegiat lingkungan sudah mengajukan permintaan audiensi, tapi tak pernah ditanggapi. Greg dan beberapa perwakilan warga berniat menemui pejabat KLHK di Jakarta pada Agustus lalu, tapi ide itu urung karena keterbatasan biaya. “Ajakan pemerintah untuk audiensi kepada yang menolak belum pernah ada. Kami sempat inisiatif untuk mengajak pemerintah berdialog via DPRD, tapi tidak pernah ada tindaklanjut sampai sekarang,” ujarnya.
Jalan perlawanan masyarakat Pulau Komodo dalam usaha mempertahankan kelestarian lingkungan alam dan ruang hidupnya masih panjang. Namun, semua narasumber yang VICE hubungi sepakat pada satu hal: mereka tak bakal tinggal diam melihat ambisi bisnis menggempur ekosistem Taman Nasional Komodo, lewat beton-beton yang keras maupun barisan mesin berat yang datang silih berganti.
Faisal Irfani adalah jurnalis lepas yang bermukim di Jakarta. Follow dia di Twitter