Selamat datang kembali di kolom Shit Indonesians Say. VICE berusaha menelisik kebiasaan verbal orang-orang di Indonesia yang tumbuh subur, diinternalisasi, dimaklumi, sampai dianggap wajar dalam pergaulan sehari-hari. Padahal kata-kata atau pertanyaan itu bermasalah banget.
Siapa yang sudah eneg mendengar keluhan para orang tua memanggil semua anak muda dengan sebutan milenial? Semoga saya tidak sendirian. Apalagi kalau label itu dipakai buat marah-marah atau menyebar stereotipe soal anak muda.
Saya jadi kepikiran begini, sehabis membaca berita pernyataan kepala museum di Jakarta, kalau kunjungan ke museum makin sepi gara-gara “milenial”. Di artikel lain disebut bahwa kajian sejarah turun peminat, karena “milenial”. Bahkan, mantan presiden Megawati sampai protes, sebab “milenial” dianggap terlalu dimanja Jokowi dan malah ikut-ikutan demo.
Padahal kita semua tahu dua hal. Pertama, manja dan ikutan demo tidak pas disebut berbarengan. Kedua, milenial yang murni dimanja Jokowi hanya lah Gibran, Kahiyang, dan Kaesang. Dua di antaranya sampai didukung “memiliki” daerah kekuasaan. Sayang anak, sayang anak.
Oke, serius dikit. Masalah utamanya, tujuan kemarahan Megawati enggak akurat. Soalnya, yang ikut demonstrasi kemarin kan banyak dari kalangan mahasiswa dan siswa STM, dua kelompok yang saat ini udah didominasi Generasi Z, generasi yang lahir setelah milenial. Hal sama berlaku kepada contoh museum sepi dan sejarah turun peminat di atas.
Istilah milenial yang lahir dari keperluan ilmu pengetahuan mengalami perluasan makna yang kebablasan. Semua orang, terkhusus generasi yang lahir sebelum milenial, bersatu padu menyamaratakan seluruh anak muda dalam sebutan ini. Dikit-dikit karena milenial, sebentar-sebentar untuk milenial. Keseringan disebut, istilah ini jadi sama memuakkannya dengan frasa “zaman now” pada masa terpopulernya.
Puncaknya di Indonesia, milenial jadi kata terpopuler 2019 dan didaulat masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hadeh.
Mungkin ini saatnya saya, sebagai bagian dari milenial, meminta para masyarakat luas, dari Om-Tante sampai mantan presiden, untuk berhenti melakukan generalisasi. Agar para generasi tua ini berhenti menjuluki semua anak muda sebagai milenial, saya akan jelaskan sedikit asal-muasal kata ini dan bagaimana cara pemakaiannya.
Dengan begini, siapa tahu saya bisa mengubah pandangan Bu Mega tentang milenial, dan syukur-syukur kalau dikasih daerah kekuasaan oleh Pak Jokowi, sang pemanja milenial (di keluarganya sendiri).
Sejarah mencatat, istilah ‘millenial’ (huruf ‘l’-nya dua ya karena yang nemuin orang Amerika Serikat [AS]) disebut pertama kali oleh demografer AS Neil Howe dan William Strauss pada 1991 dalam buku Generations. Howe dan Strauss menggunakan kata ini untuk menjelaskan kelompok manusia yang brojol dari 1980 sampai 2000. Kata ‘millenials’ dipilih sebagai nama sebab manusia tertua kelompok ini baru lulus SMA saat pergantian milenium, menandakan mereka akan berada pada umur produktif di milenium baru. Mereka dikelompokkan karena menurut Howe, generasi ini terbukti mempunyai sikap dan tingkah laku berbeda dari generasi sebelumnya sehingga butuh nama pembeda.
Namun, kata ‘millenial’ baru populer lintas negara pada 2013 sebab digunakan para kaum pemasaran dalam menentukan target kelompok calon konsumen, dengan bantuan internet tentu saja. Perusahaan multinasional macam Gallup, ManpowerGroup, dan Nielsen Media Group menggunakan sebutan milenial sebagai kategori anak muda dengan range umur berbeda-beda. Mirip-mirip, milenial versi mereka tetap berakhir pada pertengahan 90-an.
Dari berbagai perbedaan rentang tahun lahir, saya sarankan Om-Tante menggunakan kategorisasi milik Pew Research Center. Pada 2018, lembaga think-tank asal AS tersebut menentukan garis batas antar generasi versi mereka. Tujuannya, jadi “alat” yang memudahkan penelitian tentang persepsi publik terhadap isu-isu penting, yang kerap dipengaruhi kelompok demografi umur.
Oke, jadi generasi ada apa aja sih?
Pertama, baby boomers. Generasi ini lahir pada 1946-1964, rentang 19 tahun. Artinya, Bu Megawati yang lahir tahun 1947 masuk kategori ini sehingga sah dikasih meme “OK, boomer”. Kenapa namanya baby boomers? Ceritanya, setelah perang dunia kedua berakhir pada 1945, banyak penduduk memutuskan punya anak karena muncul harapan masa depan gemilang untuk generasi selanjutnya. Tentu saja ini konteksnya di AS, tempat istilah ini berasal.
Generasi selanjutnya disebut Generasi X, lahir pada 1965-1980 dengan rentang 16 tahun. Kenapa muncul nama ini? Budaya pop punya peran penting. Howe sendiri bilang generasi pasca-boomers enggak disematkan nama apa-apa sampai 30 tahun setelah mereka lahir. Terminologi “X” diduga berasal dari novel Generation X: Tales for an Accelerated Culture karya penulis asal Kanada Douglas Coupland.
Kata ‘X’ disematkan kepada kelompok generasi pada buku yang menolak status, uang, dan jaringan sosial sebagai target pengejaran eksistensi diri yang saat itu tengah terjadi. Penyematan ini dikutip Coupland dari Paul Fussell dalam buku sosiologi berjudul Class (1983). Lantas, muncul film Malcolm X pada 1992 yang semakin menyematkan istilah ini pada generasi pasca-boomers.
Selanjutnya, generasi Y atau milenial, generasi favorit Bu Mega. Pew memotong garis milenial pada 1981 sampai 1996. Alasan pemotongan ini, manusia yang lahir di rentang tahun tersebut memperlihatkan perbedaan sikap merespons milestone duniawi macam kemajuan internet dan bencana ekonomi. Lalu, rentangnya juga dibuat pas 16 tahun sama kayak Gen X. Jadi, butuh nama pembeda.
Muncul obrolan untuk ngasih nama generasi selanjutnya (1997-2012) dengan beberapa calon Generation Z, iGeneration, atau Homelanders. Dari beberapa sebutan, Gen Z paling populer dipakai dalam budaya pop dan jurnalisme. Ditambah, Merriam-Webster Dictionary ikut menggunakan istilah ini untuk menyebut generasi post-milenial. Enggak ada proses keilmuan mengapa nama ini dipakai, namun momentumnya saat itu jelas mendukung Gen Z. Ditambah, Gen Z jadi karena sebelumnya juga menggunakan nama huruf, X dan Y.
Dibanding milenial yang tumbuh menghadapi resesi, Gen Z tumbuh dengan ekonomi kuat dan jumlah pengangguran sedikit. Harapan akan kehidupan mapan dan punya rumah di Menteng hadir, sebelum COVID-19 menyerang. Karena pandemi, masa depan cerah mereka terancam. S Banyak Gen Z yang baru lulus kuliah justru dihadapkan dunia kerja yang tak menentu. Pada Maret 2020, Pew Research Center menyebut setengah dari Gen Z berumur 18-23 tahun melaporkan mereka atau seseorang di keluarga mereka mengalami kehilangan pekerjan atau pemotongan gaji, lebih banyak dari milenial (40 persen), Gen X (36 persen) dan Boomer (25 persen).
Secara ras dan budaya, Gen Z juga lebih beragam dan berpeluang jadi generasi paling berpendidikan. Kondisi ini terbantu karena Gen Z memiliki orang tua berpendidikan sarjana lebih banyak dari milenial. Pada 2019, 44 persen Gen Z umur 7-17 tahun hidup bersama orang tua sarjana atau lebih, sementara milenial hanya 33 persen pada saat usia sama. Karena lebih fokus pendidikan, Gen Z tercatat jarang bekerja di usia muda dibanding generasi sebelumnya: 18 persen. Untuk catatan, milenial ada 27 persen, sementara gen X 41 persen.
INSEAD Emerging Markets Institute, Universum, dan the HEAD Foundation melakukan survei yang dimuat di Harvard Business Review kepada 18 ribu profesional dan pelajar lintas generasi di 19 negara untuk melihat perbedaan nilai dan aspirasi para generasi. Hasilnya, tentu saja berbeda-beda tergantung negara. Secara global, 61 persen Gen Y dan Gen Z mirip dan melihat menjadi pemimpin itu penting, sementara Gen X 57 persen. Namun, 76 persen Gen Y di Meksiko melihat pemimpin penting, sementara hanya 47 persen Gen Y Norwegia beranggapan hal sama.
Perbedaan yang paling jelas adalah pendekatan terhadap teknologi. Ngeliat milestone, Baby boomers tumbuh dengan televisi, Gen X tumbuh dengan revolusi komputer, sedangkan milenial tumbuh dengan ledakan internet. Masing-masing generasi saling beradaptasi atas penemuan-penemuan di generasi selanjutnya. Namun, Gen Z tumbuh besar pada kondisi ketiga penemuan di atas sudah hadir di kehidupan mereka. Pew menyebut, kalau milenial tumbuh beradaptasi dengan perkembangan teknologi, Gen Z terlahir dengan itu semua.
Di AS, perbedaan generasi diperlihatkan dari makin beragamnya perbedaan ras. Data 2014 menyebut populasi kulit putih boomers mencapai 72 persen dari total, Hispanik 10 persen, Kulit Hitam 11 persen, dan Asia 5 persen. Gen X jadi lebih beragam dengan 61 persen kulit putih, 18 persen Hispanik, 12 persen Kulit Hitam, dan 7 persen Asia. Milenial paling beragam dengan 57 persen kulit putih, 21 persen HIspanik, 13 persen Asia, dan 6 persen Kulit Hitam. Gen Z juga diprediksi lebih beragam lagi dibanding milenial.
Variasi ras dan budaya generasi milenial juga berpengaruh pada pandangan politik. Misalnya, banyak milenial sudah masuk dalam perbincangan politik dan membantu presiden kulit hitam pertama Barack Obama memenangi pemilu AS 2008. Melihat Gen Z diprediksi lebih beragam lagi, capaian politik seperti ini diprediksi semakin banyak terjadi di masa depan. Terpilihnya Kamala Harris sebagai wakil presiden perempuan beretnis Asia-Afrika Amerika bisa dilihat dengan kacamata sama.
Perbedaan penting lain, generasi Z jadi yang paling peduli sama perubahan iklim. Sebanyak 70 persen Gen Z menuntut individu melakukan hal lebih untuk menyelamatkan lingkungan. Milenial, Gen X, dan Boomer masing-masing cuma 64 persen, 53 persen, dan 49 persen.
Nah, sementara Om-Tante masih sulit membedakan generasi, pelan-pelan dunia sudah diramaikan oleh para Generasi Alpha, terlahir 2011 sampai 2025. Menurut Lembaga Penelitian McCrindle, mereka digadang-gadang akan menjadi generasi terkaya, paling berpendidikan, dan paling melek teknologi dalam sejarah.
Nama Alpha disebut karena huruf alfabet sudah habis dan ilmuwan memutuskan berpindah ke alfabet romawi. Karakter paling mencolok: Alpha sudah meninggalkan jejak digital bahkan sebelum mereka sadari. Gempi, misalnya.
Akhir kata, awas ya kalau sudah dijelasin panjang-panjang gini, Roy Marten kelak masih aja ngomelin Gempi yang beranjak dewasa dan rebel dengan keluhan: “hadeh, milenial ini enggak bisa diatur.