Rubrik ‘Ask VICE’ diperuntukkan bagi para pembaca yang membutuhkan saran VICE untuk menyelesaikan masalah hidup, dari mengatasi cinta yang bertepuk sebelah tangan hingga menghadapi teman kos yang rese.
Curhatan pembaca: Saya dan pacar sudah jalan dua tahun. Hubungan kami awalnya baik-baik saja. Dia lelaki yang luar biasa. Orangnya pede, berpenampilan rapi dan sudah mapan. Kami juga satu tongkrongan, jadi sering kongko bareng teman-teman kami.
Sampai suatu hari, saya cekcok dengannya gara-gara Kim Kardashian. Tak ada angin dan hujan, dia berkata: “Sayang, bisanya cuma jual diri”. Menurutnya, kalau Kim Kardashian bisa sukses karena badan seksinya, itu membuktikan hidup perempuan jauh lebih enak daripada laki-laki. Dia tidak terima saat saya membalas ucapannya. “Kok kamu malah tersinggung,” sindirnya. Dia bilang saya terlalu naif sebagai perempuan.
Tak terhitung seberapa sering kami berargumen tentang isu perempuan. Sampai-sampai saya suuzan, jangan-jangan dia sengaja merendahkan perempuan untuk melihat reaksiku. Buktinya, dia pernah menyetel keras-keras podcast Andrew Tate ketika kami makan malam bersama. Dia juga dengan entengnya bilang cewek matre pantas dipukuli.
Di lain waktu, dia menyindir saya karena bahas kerjaan saat kami sedang mengobrol. Pacar juga ingin saya menghubunginya sepanjang waktu. Dia selalu bertanya saya sedang apa, lagi di mana, sama siapa.
Kalau saya perhatikan, dia cenderung mengolok-olok perempuan ketika suasana hatinya buruk. Masalahnya, kondisi mentalnya tak kunjung membaik. Saya tidak mau hubungan kami kandas gara-gara perbedaan pendapat, tapi saya bingung cara memperbaikinya. Dia selalu menolak setiap saya mencoba membantunya.
Saya malu minta saran teman. Mereka sudah ogah berurusan dengannya. Sebaiknya saya harus bagaimana?
Hasil survei HOPE not hate pada 2020 menunjukkan, setengah dari total 2.076 responden laki-laki di Inggris berpandangan feminisme ancaman terbesar bagi kaum adam.
Sarah Bracke, guru besar sosiologi gender di Universitas Amsterdam, juga mengutarakan hal serupa. “Feminisme telah mencapai kemajuan besar, sehingga laki-laki merasa maskulinitas mereka terancam,” terangnya. Akibatnya, tak jarang feminis dituduh benci laki-laki.
“Orang yang terlena dengan hak istimewa akan marah ketika mereka merasa posisinya terancam,” Bracke melanjutkan. “Mereka merasa paling menderita dan tak ada lagi kesempatan untuknya.”
Ketakutan inilah yang dimanfaatkan oleh influencer anti-feminis macam Andrew Tate. Orang sepertinya menanamkan benih-benih misogini dalam pikiran lelaki insekyur. Dari sudut pandang mereka, perjuangan perempuan adalah kedok merebut kekuasaan laki-laki.
Pola pikir ini tercermin dalam sikap dan tingkah laku mereka terhadap perempuan, terutama bagi laki-laki yang sudah mempunyai pasangan. Walau faktanya mereka terlahir dari rahim seorang ibu, mereka cenderung menganggap perempuan lebih rendah daripadanya, yang dapat memicu terjadinya konflik dalam hubungan asmara.
Kamu boleh marah ketika pasangan mewajarkan diskriminasi terhadap perempuan, karena secara tidak langsung isunya menyangkut dirimu juga. Kamu berhak kecewa pada pasangan yang melarangmu mengejar karier. Akan tetapi, ada baiknya perkataan pasangan ditanggapi secara bijak.
Terapis pasangan Joey Steur mengemukakan, bersikap emosional hanya akan semakin memprovokasi pasangan untuk mengajakmu bertengkar. “Banyak pasangan merasa paling benar saat bertengkar,” tuturnya. “Jika sudah begini, kamu dan pasangan akan kesulitan memahami akar masalahnya.”
Meskipun sulit, cobalah kamu berkepala dingin dan meminta kejelasannya kenapa berpikir demikian. Kalau ternyata ada yang membuatnya merasa tidak aman atau minder, berikan ruang untuknya menceritakan hal itu. Jangan langsung menghakiminya.
“Kamu bisa bertanya alasannya merendahkan perempuan saat kalian berdua sedang akur,” lanjut Steur. “Kamu juga bisa mencari tahu apa yang membuatnya berpikiran begitu, dan apakah ia mendiskusikan topik itu bersama teman-temannya.”
Pada saat membicarakan hal ini, kamu harus ingat bahwa sikap pasangan terhadap perempuan berasal dari dalam dirinya sendiri.
Pasangan yang baik sepatutnya siap diajak berdiskusi berat, dan bersedia introspeksi diri jika melakukan kesalahan. “Setelah pasangan menyadari perbuatannya, kamu bisa memberi tahu perasaanmu ketika mendengarnya menjelek-jelekkan perempuan.”
Namun, kita juga tak bisa memungkiri kemungkinan pasangan menolak diajak berbicara baik-baik. Enggak gampang jujur dengan perasaan sendiri. Jika begini kejadiannya, kamu dapat mempertimbangkan sanggup tidaknya kamu berkompromi dengan sikap pasangan.
Dalam setiap hubungan, pasti ada perbedaan. Kita tak melulu sependapat dengan pasangan, bahkan urusan penting sekalipun. Akan tetapi, kalau menurutmu sudah tidak ada cara menyelesaikan perselisihan paham ini, lebih baik kamu mengakhiri hubungannya.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.