Sebuah aturan kontroversial termuat dalam surat perjanjian berjudul “Pakta Integritas Mahasiswa Baru Universitas Indonesia 2020”. Surat tersebut diketahui publik setelah beredar di media sosial empat hari lalu.
Isinya, tiga belas poin janji mahasiswa baru selama belajar di Universitas Indonesia (UI). Kepala Kantor Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI Amelita Lusia telah mengonfirmasi pakta ini memang dibuat oleh rektorat UI dan jadi kewajiban bagi mahasiswa angkatan 2020, saat dikonfirmasi Kompas.com.
Dalam pakta integritas tersebut disebutkan, mahasiswa UI harus siap menerima sanksi dari kampus maupun proses hukum jika diketahui melakukan pelanggaran.
Meski memasukkan poin penting tentang larangan melakukan kekerasan seksual, sejumlah hal lain dalam pakta integritas ini dianggap mengancam hak mahasiswa bebas berkumpul dan berpendapat. Aturan yang disorot negatif terdapat dalam poin nomor 4 dan 5 yang berbunyi:
… selama menjadi Mahasiswa Universitas Indonesia, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab berjanji untuk:
4. Tidak terlibat dalam politik praktis yang mengganggu tatanan akademik dan bernegara
5. Tidak melaksanakan dan/atau mengikuti kegiatan yang bersifat kaderisasi/orientasi studi/latihan/pertemuan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan yang tidak mendapat izin resmi dari pimpinan fakultas dan/atau pimpinan universitas Indonesia.
Aktivis dan mantan tahanan politik era Orde Baru, Saleh Abdullah, mengatakan kepada VICE, diksi politik praktis berpeluang menjadi aturan karet yang mengebiri hak politik mahasiswa. Ia juga menyayangkan mahasiswa dibatasi hanya boleh ikut kegiatan yang diizinkan kampus.
“Apa maksud ‘berpolitik praktis’ tidak jelas. Nanti demo kebijakan bisa dianggap politik praktis. Dan larangan berpolitik itu berpotensi jadi politis juga. Kayaknya ada arah yang ingin dikembangkan untuk tidak ngutak-ngatik kekuasaan,” ujar Saleh.
Fenomena pakta integritas UI mengingatkan pada pembersihan kampus dari gerakan politik mahasiswa sesudah Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Berbagai senat kampus-kampus ternama, pertengahan dekade 70’an, juga mulai kritis terhadap kepemimpinan Suharto.
Demonstrasi besar mahasiswa yang mengkritik pemerintah Orde Baru dibalas dengan pembubaran organisasi politik mahasiswa. Pada 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Jusuf mengeluarkan SK Menteri tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang membubarkan senat mahasiswa dan dewan mahasiswa di semua kampus di Indonesia.
Setahun kemudian menyusul SK Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang melarang aktivitas organisasi politik mahasiswa diadakan di dalam kampus. Hingga hari ini, NKK/BKK belum dicabut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik praktis diartikan ‘kehidupan politik secara nyata’. Dalam pemakaian sehari-hari, frasa ini ditafsirkan beragam: kadang semata sebagai kontestasi elektoral, kadang untuk menyebut segala aktivitas mengkritik pemerintah.
Dalam opini ini misalnya, kejadian ketua BEM UI mengacungkan kartu kuning kepada Presiden Jokowi tahun 2018 silam turut dilabeli sebagai “politik praktis”. Bisa jadi kelak bakal ada polemik semisal, menulis opini politik di media massa atau diundang sebagai narasumber di Mata Najwa termasuk politik praktis ga sih?
Selain isinya, cara agar pakta integritas ini disetujui mahasiswa juga disorot. Menurut Saleh, meski ada redaksional “secara sadar dan tanpa ada unsur paksaan”, pada dasarnya mahasiswa baru dipaksa menyetujui kesepakatan karena penandatanganannya diwajibkan. Sehingga, tak mengherankan bila Universitas Indonesia dianggap membuat simulasi kembali ke masa Orde Baru.
“Di pakta integritas itu ada narasi harus ditandatangani secara sukarela, tanpa paksaan. Lah, kalau sukarela, enggak usah ada risiko apa-apa buat yang enggak mau tanda tangan dong? Jadi contradictio in terminis, kan,” kata Saleh. “Harus nandatangani sesuatu tanpa paksaan, tapi di dalam pakta penuh dengan ancaman. Nilai tanpa paksaan jadi runtuh.”