Home Uncategorized Partai-partai Indonesia Ternyata Menjalin Kerja Sama dengan Partai Komunis Cina

Partai-partai Indonesia Ternyata Menjalin Kerja Sama dengan Partai Komunis Cina

866
0

Sebagai wilayah dengan skala perekonomian terbesar di Asia Tenggara, Indonesia semakin akrab dengan Tiongkok di berbagai sektor. Kedekatan keduanya tidak hanya terjalin di level antar pemerintah dan bisnis saja, tapi juga antar-partai politik Indonesia dan Partai Komunis Cina (PKC), yang merupakan satu-satunya partai berkuasa di Tiongkok.

Fenomena ini cukup menarik mengingat Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia memegang prinsip anti-komunis yang kuat sejak pertengahan 1960-an.

Kendati demikian, penelitian yang tengah saya bangun mengenai aktor-aktor yang terlibat dalam hubungan Cina-Indonesia mengungkapkan bahwa ternyata baik PKC maupun parpol Indonesia merasa mendapatkan manfaat timbal balik dari tumbuhnya kolaborasi tersebut.

Dari partai sekuler ke partai Islam

Sebagai konteks, Indonesia melarang paham komunisme sejak 1966 karena komunisme dianggap sebagai ancaman atas kedaulatan negara menyusul dugaan upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada awal tahun 2000-an, presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid, pernah mencoba mencabut larangan tersebut namun tidak membuahkan hasil. Trauma yang mendalam masih menyisakan stigma negatif terhadap komunisme di mata masyarakat Indonesia.

Itulah sebabnya mengapa sebagian besar partai politik di Indonesia sangat berhati-hati terhadap Cina karena tidak ingin dikaitkan dengan ideologi komunisnya.

Sistem partai di Cina juga berbeda dengan yang di Indonesia. Cina memiliki sistem satu partai, sedangkan Indonesia adalah negara multi-partai. Ada dua kelompok besar partai  di Tanah Air, yakni partai sekuler dan partai Islam.

Kubu pertama yang memiliki aliran sekuler, termasuk partai yang berkuasa saat ini PDIPPartai DemokratPartai GolkarPartai Gerindra, dan Partai NasDem. Sementara itu, partai-partai yang bernuansa Islami antara lain PKSPANPPP, dan PKB.

Meskipun ada perbedaan ideologis di kedua kubu partai tersebut, bahkan partai-partai Islam yang memiliki sejarah sentimen yang kental terhadap aliran komunisme sejak awal 1950-an, ternyata juga dilaporkan turut berupaya membina hubungan baik dengan PKC.

Setidaknya hingga kini sudah ada lima partai politik Indonesia yang menjalin kemitraan dengan PKC. Daftar kelima partai tersebut justru merupakan partai-partai besar di Indonesia, meliputi PDIP, Gerindra, Partai Demokrat, Golkar, dan tak terkecuali PKS.

Tentunya keterlibatan partai-partai seperti PKS dan Gerindra cukup menarik, mengingat pihak-pihak tersebut sering berargumen bahwa kekuatan Cina yang kian tumbuh di Nusantara merupakan suatu bentuk ancaman komunis.

Selain PKS, PPP yang merupakan partai Islam, dilaporkan juga telah mengembangkan hubungan yang harmonis dengan PKC, meski mereka kemudian menolak klaim tersebut.

Cakupan yang kian meluas

Sejak 2008, pengurus Golkar dan pengurus PKC secara rutin mengadakan pertemuan  untuk saling berbagi pengalaman tentang manajemen partai. Kedua belah pihak turut menggelar pertemuan lanjutan di Beijing dan Jakarta yang diwakili oleh masing-masing pejabat tinggi dalam partai mereka.

Politikus Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan kegiatan serupa tak hanya dilakukan oleh Golkar, melainkan ia mengklaim bahwa banyak pihak di Indonesia yang telah memupuk kerja sama dengan PKC.

Adapun pada perkembangannya lingkup kolaborasi antarpartai-partai Indonesia dengan PKC kian berkembang, mulai dari pelaksanaan pertemuan, pertukaran informasi mengenai metode pengorganisasian partai, hingga topik kaderisasi.

Sebagai contoh, pertemuan yang terselenggara antara Golkar dan PKC pada 2008 menghasilkan pakta kesepahaman mengenai segala aspek yang berkaitan dengan kaderisasi dan pengorganisasian partai. Sementara itu, PDIP dan PKC telah mengadakan pertemuan beberapa kali guna membahas kerja sama peningkatan sumber daya manusia dan finansial.

Pada 2013, PDIP bahkan mengirim 15 kadernya mengunjungi Shanghai, Guiyang, dan Beijing untuk meninjau pusat kesehatan anak dan mempelajari perkembangan sektor pertanian di pedesaan Tiongkok.

Dalam kunjungannya ke Guiyang, delegasi dari PDIP tersebut melakukan studi banding untuk belajar mengenai upaya pemerintah daerah Cina membina dan mengembangkan Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam industri kesehatan. Para kader PDIP tersebut juga menghadiri sejumlah lokakarya dan workshop yang bertopik tentang ‘manajemen partai politik’.

Tak sebatas itu saja, dua tahun kemudian tepatnya tahun 2015, Ketua Umum PDIP dan mantan Presiden Indonesia, Megawati Soekarnoputri, mengunjungi Provinsi Shenzhen untuk meresmikan gedung Pusat Kerja Sama Indonesia-Cina (Indonesia-China Cooperation Center). Pemerintah Cina menamakan gedung tersebut ‘Gedung Soekarno’, sebagai penghargaan kepada presiden pertama Indonesia, sekaligus ayah Megawati. Kunjungan tersebut semakin jelas memperlihatkan eratnya hubungan yang terjalin antara PDIP dan PKC.

GettyImages-492683522.jpg

Ketua Umum PDIP sekaligus Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, saat berkunjung ke Beijing pada 2015 disambut anggota Politbiro PKS Liu Yunshan, yang kini pensiun. Foto oleh Li Tao/Xinhua/via Getty Images

Dalam kunjungan tersebut, Megawati juga berkesempatan untuk berbicara dalam diskusi panel yang berjudul “Kepemimpinan Politik: Konsensus Baru untuk Partai Politik” (Political Leadership: New Consensus for Political Party), yang merupakan bagian dari forum Konferensi Internasional Partai Politik Asia di Beijing.

Para pejabat pemerintahan Cina juga pernah mengundang PKS, PAN, dan PKB untuk melakukan studi banding. perwakilan partai-partai tersebut dibawa mengunjungi Hui Muslim Ethnic Autonomous Region yang berlokasi di Ningxia dalam upaya meredam citra negatif yang disematkan pada Cina terkait isu kebijakan yang diskriminatif terhadap komunitas Muslim di Xinjiang.

Keuntungan Mutual

Ahli politik PKC, Julia Bader dan Christine Hackenesch, berpendapat dalam bukunya bahwa dari perspektif PKC, memperkuat hubungan antar-partai dengan Indonesia dapat menjadi metode yang efektif dari implementasi strateginya meningkatkan legitimasi kepentingan ekonomi Tiongkok, yang semakin berkembang di Indonesia.

Membangun hubungan yang harmonis dengan partai-partai Indonesia diyakini oleh Tiongkok akan membawa peluang yang lebih besar bagi keberlangsungan investasi pada masa depan.

Tiongkok bertujuan untuk memiliki kemitraan yang erat dengan partai koalisi yang berkuasa di Indonesia, terutama mereka yang berpotensi besar keluar sebagai pemenang dalam pemilihan umum Indonesia 2024. Oleh karena itulah Cina mulai aktif bekerja sama dengan banyak partai sehingga di kemudian hari dapat mengamankan proyek investasinya di Indonesia.

Oleh karena itu, tak dapat dipungkiri fenomena ini kemudian memunculkan gelombang kritik terhadap Tiongkok di antara anggota dan pendukung partai-partai tersebut di Tanah Air.

Sementara itu, mereka yang mendukung langkah Tiongkok tersebut berpendapat bahwa kerja sama partai dengan PKC tidak hanya bermanfaat guna menjaga hubungan baik, tapi juga untuk membawa proyek-proyek berskala besar dari Tiongkok di berbagai sektor.

Melihat kekuatan finansial Tiongkok yang begitu masif, partai-partai tersebut dapat berposisi sebagai penyalur hibah dan bantuan sosial kepada masyarakat Indonesia. Tentunya hal ini dapat menjadi materi promosi yang baik bagi partai dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan dukungan politik dari instansi yang dibantu, seperti pondok pesantren dan lembaga pendidikan.

Menyongsong pemilihan umum 2024 yang kian dekat, berkolaborasi dengan Tiongkok dapat membantu partai menerima dana yang di antaranya dapat mendukung kegiatan politik mereka dan memastikan bahwa Indonesia akan kecipratan investasi Tiongkok pada masa depan.


Muhammad Zulfikar Rakhmat adalah Assistant Professor di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Zulfikar Rakhmat tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel in

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.