Di masa pandemi, ketika kasus positif harian sudah tembus empat ribu, akumulasi kasus positif menyentuh 240 ribu, pemerintah masih ngeyel mengadakan pilkada serentak Desember 2020 mendatang.
Selain momen saat pencoblosannya kelak, masa kampanye turut dikhawatirkan epidemiolog bakal menciptakan klaster baru. Sementara dua ormas Islam terbesar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sudah satu suara meminta pemerintah menunda pilkada.
Merespons beragam desakan tersebut, Istana memilih jalan terus.
“Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih, dan hak memilih. Pilkada harus dilakukan dengan disiplin protokol kesehatan ketat disertai penegakan hukum dan sanksi tegas agar tidak terjadi klaster baru pilkada,” demikian keterangan tertulis Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, Senin (21/9), dilansir dari Detik.
Mantra ajaib “sesuai protokol kesehatan” kembali jadi jargon utama pemerintah sebagai pelindung sakti pilkada, kali ini ditambah penyematan frasa “ketat” biar memberi imajinasi situasi versus pandemi ini emang aman terkendali. Kenyataannya? 180 derajat: 60 bakal calon kepala daerah tercatat positif corona, demikian juga sang pemimpin penyelenggaraan pilkada, Ketua KPU Arief Budiman.
Fadjroel Rachman menambahkan, pilkada bisa jadi momentum Indonesia unjuk gigi ke dunia internasional bahwa negara ini mampu menjaga keberlanjutan sistem pemerintahan demokratis sesuai konstitusi.
Namun mengingat 59 negara meminta warganya tidak mengunjungi Indonesia terlebih dulu selama pandemi belum mereda, sikap tersebut menjadi kontradiktif. Lagian, kenapa saat ribuan orang meninggal, masih ada aja yang mikirin cara unjuk gigi?
Jika statement di atas sudah terasa lucu, masih ada yang lebih konyol. Dalam konferensi pers bersama Bawaslu, KPU, dan perwakilan parpol hari ini, Menko Polhukam Mahfud MD berusaha membenarkan keputusan pemerintah dengan menjadikan Amerika Serikat sebagai role model.
“Di negara yang serangan Covid-19 lebih besar seperti Amerika, juga pemilu tidak ditunda, di berbagai negara pemilu tidak ditunda,” kata Mahfud, dikutip Tirto. Masalahnya, AS adalah negara dengan 7 juta kasus positif corona, terbanyak sedunia. Barangkali Pak Mahfud enggak baca berita, Selandia Baru yang lebih dekat dan lebih baik penanganan pandeminya itu tuh, mereka menunda pemilu juga.
Entah kenapa pemerintah bersikukuh padahal penundaan sudah pernah terjadi. Sedianya, pilkada tahun ini akan digelar September, namun diundur ke Desember. Yang jelas, aksi pasti melahirkan reaksi. Sikap pemerintah disambut gelombang penolakan pilkada yang makin gede.
Selain NU dan Muhammadiyah, mantan wapres Jusuf Kalla, Komnas HAM, aktivis Ulil Abshar Abdalla, sampai Habib Rizieq Shihab menyuarakan penolakan. Kalau kata epidemiolog Dicky Budiman, ketika jargon protokol kesehatan gagal terlaksana, siap-siap saja dengan kemunculan lonjakan kasus baru.
“Bila itu [protokol kesehatan] tidak dilaksanakan atau longgar dilaksanakan, maka potensi pesta demokrasi menjadi ‘pesta kasus Covid’ besar kemungkinan akan terjadi,” kata Dicky kepada CNN Indonesia.
Bukan cuma protes yang membesar, bibit golput juga mulai tersemai. Cendekiawan sekaligus guru besar UIN Jakarta Azyumardi Azra mengunggah pernyataan di semua media sosialnya bahwa ia tidak akan menggunakan hak suara di pilkada Desember sebagai ungkapan solidaritas kepada korban meninggal Covid-19.
Azyumardi mengunggah pernyataan tersebut pada 21 September, jam setengah tujuh petang. Belum sehari, cuitan udah dibagikan lebih dari 10 ribu kali.
Ramainya respons terhadap pernyataan tersebut bisa jadi pertanda akan hadir kelompok rakyat yang memilih menggunakan hak konstitusinya untuk tidak memilih.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, situasi seperti ini akan membuat masyarakat semakin skeptis dan apatis dengan proses politik. “Hal tersebut bisa saja memicu gelombang golput massal sebagai teguran dari publik,” ujar Wasisto kepada Tribunnews.
Sikap keras kepala menyelenggarakan pilkada serentak ketika gelombang pertama pandemi bahkan belum berlalu, bisa dihitung sebagai blunder kedua seputar pilkada.
Blunder pertamanya tak kalah irasional, yakni instruksi Kapolri agar pengusutan semua kasus hukum yang membelit peserta pilkada ditunda dulu sampai acara selesai. Yang minta ditunda apa, yang ditunda beneran apa. Bener-bener kebolak-balik.
Oh ya, tulisan ini belum kelar karena ada kutipan lain Mahfud MD yang sayang dilewatkan. Saat ditanya wartawan kenapa sih pemerintah enggak meladeni permintaan masyarakat buat nunda pilkada aja, jawaban doi slengekan banget. “Maka penundaan [pilkada] sudah pernah, untuk jawab suara masyarakat yang ingin ditunda.”