Sebagian besar anak pasti susah disuruh mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi bagi mereka yang kesulitan mengidentifikasi kata-kata, PR bisa menjadi sumber masalah, terutama pada sistem pendidikan Tiongkok yang keras.
Disleksia diperkirakan memengaruhi lima hingga 10 persen orang di seluruh dunia. Anak yang mengidap gangguan belajar ini sering kali sama cerdasnya seperti anak-anak seusia mereka. Hanya saja, kemampuan membaca mereka cenderung tertinggal dari teman sekelas.
Terlepas dari meningkatnya kesadaran akan pentingnya mengubah sistem pendidikan dan mengajarkan hal-hal yang lebih dibutuhkan di dunia, ukuran keunggulan akademik yang sempit masih berlaku di masyarakat. Keberhasilan anak menguasai bahan pelajaran hanya ditentukan oleh serangkaian ujian. Kesulitan ini terpampang jelas di Tiongkok, negara yang sistem pendidikannya kompetitif dan budaya kerjanya begitu toksik.
Di Tiongkok, kesadaran publik tentang disleksia sangat kurang. Anak-anak disleksia kerap dicap malas dan bodoh. Stigma yang melekat pada disleksia telah membuat orang tua, guru dan penderita itu sendiri frustrasi.
Film dokumenter The Chosen One menggambarkan Xiaoxiao sebagai anak supel dan menyenangkan. Dia mudah bergaul dengan siapa saja. Bocah itu sudah kelas lima, tapi belum lancar menulis huruf/karakter Mandarin yang diajarkan dari tingkat awal.
Keluarganya berantakan ketika terungkap bahwa dia mengidap disleksia. Saking seringnya meributkan pendidikan putra mereka, kedua orang tua Xiaoxiao sampai terpikir untuk cerai.
Namun, di luar kemampuan akademik yang rendah, Xiaoxiao memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa.
“Xiaoxiao memiliki kemampuan bersosialisasi yang luar biasa,” ujar sutradara Li Ruihua. “Dia berhubungan baik dengan teman-teman sekelasnya sebagai bentuk perlindungan diri, agar tidak didiskriminasi oleh mereka.”
Kemudian ada Qunxiao dari kota Jinzhong, Provinsi Shanxi. Siswa kelas lima itu belajar lebih giat untuk mengatasi disleksia.
“Dia berharap bisa mengatasi disleksia,” tutur Li dan co-director Fan Qipeng. “Dibandingkan dengan anak-anak seusianya, dia memiliki harapan yang lebih tinggi dan selalu siap menghadapi tantangan.”
Walaupun dia tidak perlu diawasi orang tua saat mengerjakan PR, Qunxiao membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan tugas sekolah.
Bagian ketiga dokumenter mengisahkan tentang siswi kelas lima bernama Ruoxi di Provinsi Hebei. Di saat kakaknya masuk sekolah unggulan karena berprestasi, Ruoxi kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah dan tidak pernah memenangkan penghargaan akademik. Guru seni bahkan mengabaikannya. Ruoxi pantang menyerah menghadapi berbagai tantangan.
Kedua sutradara berbincang dengan peneliti yang mendalami disleksia. Lalu pada 2017, mereka tergerak mendokumentasikan perjuangan anak-anak yang mengalami gangguan belajar.
“Kami menyadari kalau kesadaran masyarakat Tiongkok soal disleksia masih rendah. Banyak anak mengalami stigma dan dipandang sebelah mata karena menghadapi masalah serupa,” Li mengutarakan. “Kami memutuskan untuk menggarap film dokumenter yang bisa meningkatkan kesadaran publik.”
Menurut Fan, alasan utama anak disleksia jarang menerima bimbingan yang memadai yaitu karena adanya keharusan mendapatkan “pendidikan elit”. Gaokao atau seleksi nasional masuk perguruan tinggi menjadi contoh penentuan keunggulan akademik yang sempit. Berhubung seleksinya sangat ketat, anak-anak ditekan untuk belajar secara terus-menerus jika mau lulus.
Sementara sistem saat ini memungkinkan individu berbakat untuk mencapai status sosial tertentu, kesulitan anak disleksia mengikuti obsesi terhadap nilai bagus mengekspos keterbatasan yang ada.
“Mengukur kecerdasan anak hanya dari nilai ujian tidak adil. Film dokumenter ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada cara yang lebih baik untuk melengkapi sistem pendidikan saat ini, [dan] membantu anak-anak berkebutuhan khusus. Saya pikir inilah yang perlu diperhatikan [pada perencanaan] pendidikan Tiongkok di masa depan,” terang Fan.
Dia menjelaskan, judul dokumenternya menggambarkan bahwa “setiap anak memiliki keunikannya sendiri”. Hidup di tengah masyarakat yang mementingkan prestasi akademik, anak disleksia dan orang tuanya harus bergulat dengan ekspektasi dan keraguan tentang nilai mereka. The Chosen One mempertontonkan bagaimana orang tua harus menyesuaikan diri dan mengubah pola pikir mereka tentang pendidikan sang anak.
“Orang tua mungkin menekankan pada peningkatan yang stabil dari nilai anak-anak mereka, tapi itu bukan satu-satunya fokus mereka. Itu hanyalah cara mereka untuk memotivasi anak,” Fan melanjutkan. “Dan yang lebih penting lagi, mereka membiarkan anak mendefinisikan kembali arti pendidikan yang sebenarnya.”
Digarap selama lebih dari tiga tahun, The Chosen One menangkap kebingungan dan kegelisahan para orang tua membimbing anak menghadapi disleksia, sekaligus melindungi kesejahteraan mental buah hati mereka dan mencari keseimbangan di antara dilema kompleks yang bermunculan.