Di saat ribuan pengunjuk rasa Belarus turun ke jalan bulan lalu, pemerintah memblokir sebagian akses internet negara untuk meredam gelombang protes. Upaya mereka sia-sia saja. Demonstran terus berdatangan, menolak hasil pilpres yang kembali memenangkan Presiden Alexander Lukashenko.
Dalam satu dekade terakhir, akses internet menjadi senjata andalan rezim untuk membatasi gerak aktivis dalam menjaring massa. Namun, peneliti menemukan cara ini biasanya tak membuahkan hasil. Dalam beberapa kasus, pemutusan internet malah memperkeruh situasi.
“Hampir tidak ada aksi protes yang terhenti begitu akses internet diblokir,” tutur research analyst Jan Rydzak di Ranking Digital Rights, organisasi yang memperjuangkan kebebasan sipil.
Rydzak dan rekan peneliti menggambarkan dalam studi terbaru mereka, seperti apa dampak pemblokiran atau penyensoran internet pada rangkaian demonstrasi yang terjadi di Afrika. Rupanya tidak ada efek kausatif. Pemblokiran internet selalu dikaitkan dengan demonstrasi yang ricuh, tapi langkah ini terbukti tidak efektif memadamkan pergolakan rakyat.
Peneliti mengungkapkan Ethiopia “gagal total” menekan aksi protes yang disebabkan oleh konflik etnis, bahkan setelah mereka memblokir media sosial pada 2017. Yang terjadi justru lonjakan bentrokan selama akses internet diputus.
Peneliti menggunakan data lokasi protes dan mempelajari apakah demonstrasinya berlangsung anarkis, tapi mereka tidak dapat mengakses informasi yang lebih rinci terkait jumlah demonstran yang hadir saat itu atau seperti apa aktivitas mereka di internet sebelum diblokir.
Deborah Brown, peneliti senior dan advokat hak digital Human Rights Watch, berujar kegigihan pengunjuk rasa menghadapi keterbatasan komunikasi baru bisa diketahui setelah memahami poin terakhir.
Dia menambahkan pemblokiran internet tak cukup membungkam aktivis. “Mereka menggelar aksi karena ingin suaranya didengar. Kehilangan akses komunikasi takkan mengendurkan semangat atau mengubah prinsip mereka.”
Sebagaimana dijelaskan Rydzak, pengunjuk rasa tak kehabisan akal menyiasati pemadaman internet. Demonstran Belarus, misalnya, menyalakan jaringan pribadi virtual (VPN) agar bisa mengakses medsos. Mereka juga berkomunikasi lewat aplikasi alternatif semacam Telegram ketika WhatsApp tidak dapat digunakan.
Kenapa pihak berwenang masih saja memutus akses internet jika upaya itu tak pernah berhasil menghentikan aksi protes?
Joss Wright, peneliti senior di Oxford Internet Institute, melihatnya sebagai “pilihan terakhir” ketika tak ada lagi yang mempan meredakan amarah rakyat. Namun, menurutnya, strategi ini berpotensi meningkatkan penyebaran kabar miring dan berita palsu dari platform lain dengan konsekuensi yang tidak bisa diprediksi.
“Pemblokiran internet menciptakan rasa takut dan ketidakpastian,” tutur Rydzak. Dia menambahkan langkah ini dapat meningkatkan rasa kekacauan baik secara nasional maupun lokal, sehingga menciptakan situasi yang secara tak langsung diharapkan pemerintah.
Namun, data lagi-lagi menunjukkan itu hampir tak pernah terjadi.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.