Arkeolog menemukan mumi berusia 3.000 tahun yang dibungkus dengan cara aneh. Teknik yang berbeda dari biasanya ini mengungkapkan detail baru tentang ritual pemakaman di Mesir kuno.
Diterbitkan Rabu dalam jurnal PLOS ONE, hasil penelitian menjelaskan mumi itu terbungkus cangkang lumpur mirip kepompong. Metode pembungkusannya lantas disebut langka karena “belum pernah dilaporkan sebelumnya”.
Jasad yang dimumikan — kemungkinan perempuan jelata yang meninggal saat berusia 30-an — telah diperbaiki karena rusak di beberapa bagian. Proses perbaikan tersebut tampaknya memiliki makna spiritual.
“Jenazah mengalami kerusakan yang tidak jelas penyebabnya setelah dikubur,” bunyi penelitian yang diketuai oleh Karin Sowada dari Universitas Macquarie, Australia. “Dalam upaya menyatukan kembali bagian tubuh yang rusak, jasadnya dibungkus ulang dengan kain dan dikeraskan pakai lumpur.”
Sir Charles Nicholson mengambil mumi lumpur pada 1850-an, dan menyumbangkannya ke Universitas Sydney. Mumi langka itu lalu dipajang di Museum Chau Chak Wing sebagai koleksi Nicholson. Peneliti mengungkapkan, “kolektor Amerika dan Eropa sering membeli jasad dari Mesir pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.”
Ukiran di peti mati mengklaim sisa-sisa mumi tersebut milik perempuan terkemuka bernama Meruah. Tapi pada 2011, Sowada dan rekan-rekan membeberkan informasinya tidak benar.
“Penjual lokal kemungkinan memasukkan mumi yang berbeda ke dalam peti untuk melengkapi barang dagangannya. Praktik ini biasa dilakukan dalam perdagangan barang antik lokal,” tulis peneliti dalam studi terbaru.
Pada akhir 1990-an, peneliti menemukan cangkangnya terbuat dari lumpur setelah jasad dan bungkus diperiksa menggunakan CT Scan. Namun, detail cangkang baru terungkap pada Desember 2017. Saat itu, tim Sowada menggunakan teknik yang lebih canggih untuk memindai mumi.
Peneliti mampu memetakan sifat cangkang lumpur dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, menunjukkan bahwa lumpurnya diaplikasikan di antara lapisan kain. Ketebalan lapisannya berkisar dari beberapa milimeter di bagian wajah dan dua centimeter di sekitar kaki. Tim Sowada juga mendeteksi lapisan dasar putih di atas cangkang lumpur, kemungkinan berasal dari batu kapur, dengan mineral bubuk merah-cokelat yang membungkus wajah.
Studinya menduga mumi baru dilapisi lumpur beberapa generasi kemudian untuk memperbaiki kerusakan yang mungkin disebabkan oleh perampok makam di masa lalu.
“Jarak waktu antara mumifikasi jenazah, penguburan, kerusakan pertama, dan pelapisan cangkang sepertinya cukup singkat,” Sowada dkk melanjutkan. “Kuburan sering dirampok tak lama setelah jasad dikebumikan karena tanggung jawab orang yang masih hidup untuk mengurusnya berlangsung sebentar, terlepas dari tingginya kepercayaan pada akhirat sepanjang sejarah Mesir kuno.”
Selain untuk memperbaiki bagian tubuh yang rusak, peneliti menebak muminya dilapisi lumpur agar “proses transisi roh ke alam baka dan lingkungan dewa Osiris menjadi lebih mudah.”
Dalam mitologi Mesir kuno, Osiris adalah dewa kebangkitan dan kelahiran kembali, sehingga praktik pemakaman ini bisa saja mencerminkan elemen-elemen mitologisnya. Jasad Osiris yang hancur disatukan kembali, sama seperti yang terjadi pada mumi lumpur.
“Cangkang lumpur ini dibuat, bersama dengan pembungkusan ulang, untuk menyatukan kembali jasad almarhum dan memastikan hubungan yang berkelanjutan dengan Osiris,” tutur peneliti. “Lumpur dinilai efektif dalam mempermudah proses ini, mengingat kebangkitan Osiris berkaitan dengan kesuburan tanah di sekitar sungai Nil.”
Tim Sowada berencana mempelajari lebih lanjut cangkang lumpur ini. Mereka berharap bisa menemukan cangkang serupa yang berasal dari sekitar 1200 SM, selama periode Kerajaan Baru akhir.
“Kami memerlukan studi radiologis dan bukti mumi non-bangsawan lain dari zaman Kerajaan Baru akhir untuk mencari tahu seberapa lazim praktiknya pada era ini,” mereka menyimpulkan.