Awanya Mozuna Khatu gembira mendengar kabar Aung San Suu Kyi ditangkap. Pengungsi Rohingya asal Myanmar itu berasumsi ada perubahan di internal pemerintah yang selama ini menindas etnisnya.
“Tadinya saya berpikir, ‘alhamdulilah, dengan begini mungkin ada peluang kami bisa pulang ke negara asal’,” ujarnya saat dihubungi VICE World News, di tengah kamp pengungsi Bangladesh. Namun setelah sadar bahwa Suu Kyi ditahan militer lewat proses kudeta, semua harapan itu segera lenyap.
Aung San Suu Kyi, sosok peraih Nobel Perdamaian yang menjadi ikon demokrasi Myanmar, dicap negatif oleh etnis Rohingya. Pemerintahan sipil diarsiteki Aung San Suu Kyi bertanggung jawab atas represi sistematis yang membuat jutaan orang Rohingya kabur dari Negara Bagian Rakhine selama kurun 2012 hingga 2017. Lebih dari satu juta pengungsi kini bertahan hidup seadanya di perbatasan Bangladesh, termasuk Khatu.
Meski Aung San Suu Kyi punya andil dengan sikap plin-plannya yang enggan melindungi hak asasi orang Rohingya, pengungsi seperti Khatu paham benar, otak represi paling utama adalah elit-elit militer. “Orang Rohingya kehilangan segalanya karena berbagai kebijakan tentara. Ketika militer berkuasa lagi, makin jelas kalau kami mustahil bisa pulang,” tandasnya.
Dibanding Aung San Suu Kyi, para pengungsi Rohingya lebih takut pada Min Aung Hlaing, Panglima Angkatan Bersenjata yang sejak 1 Februari 2021 ditetapkan sepihak sebagai pemimpin tertinggi Myanmar. Sang jenderal mengembalikan lagi kehadiran junta militer, setelah transisi damai menuju demokrasi digelar negara itu pada 2011.
Sejak awal, konsep transisi demokrasi Myanmar separuh hati menghapus pengaruh tentara dalam berbagai kebijakan publik. Konsitusi yang sekarang berlaku bikinan tentara, dengan harapan menghadirkan “demokrasi disiplin” (mirip konsep dwifungsi ABRI era Orde Baru di Indonesia). Perwakilan militer memiliki jatah kursi khusus di parlemen, dan harus diajak kompromi di setiap kebijakan pemerintahan sipil yang secara de-facto dipimpin Suu Kyi.
Besarnya pengaruh para jenderal itu yang membuat Suu Kyi enggan mengecam operasi militer pada 2017 yang membumihanguskan beberapa desa orang Rohingya di Myanmar. Pemerintahan Suu Kyi yang seharusnya demokratis, jadi dianggap plin-plan. Mayoritas orang Rohingya tak bersimpati melihat dia digulingkan dalam kudeta awal pekan ini.
“Kami tidak akan pernah mendukung Aung San Suu Kyi,” kata salah satu pengungsi Rohingya di Kamp Bangladesh yang mengelola kedai kopi.
Akses internet yang lambat di pengungsian membuat kabar kudeta menyebar sehari sesudah kejadian di kalangan orang Rohingya. Mereka kini waswas menantikan manuver Min Aung Hlaing setelah berkuasa. Jenderal itu disebut terlibat langsung berbagai operasi militer dan penindasan yang sudah masuk kategori genosida pada etnis minoritas muslim di negaranya. Min Aung Hlaing, dalam pernyataan terbuka, pernah menyebut orang Rohingya sebagai “urusan yang belum kunjung tuntas”.
Afrosa, pendiri yayasan the Rohingya Women for Justice and Peace, memiliki pandangan cukup berbeda soal kudeta ini. Dia khawatir tak bisa pulang, tapi sekaligus menyayangkan nasib demokrasi di negaranya yang bakal kembali direnggut tentara.
“Mayoritas penduduk Myanmar tidak memberi simpati atau dukungan ketika mayoritas etnis saya terusir dari Rakhine. Tapi saya tidak dendam. Saya sekarang yang bersimpati pada masa depan mereka,” kata Afrosa. “Sebab, Min Aung Hlaing sepertinya bukan sosok yang mengenal konsep keadilan dan perdamaian.”
Myanmar adalah negara multi-etnis dan agama. Orang Rohingya bukan satu-satunya etnis di sana yang dominan menganut Islam. Namun, di tengah arus populisme kelompok Buddha yang jadi mayoritas di Myanmar, etnis Rohingya sering jadi kambing hitam problem sosial dan persekusi. Mereka tidak pernah mendapat kewarganegaraan Myanmar, meski ratusan tahun sudah berdiam di Rakhine.
Puncaknya, ketika terjadi insiden pemerkosaan perempuan Buddhis oleh beberapa pemuda Rohingya pada 2012, ada prakondisi untuk pengusiran paksa yang dilakukan oleh militer dibantu ormas-ormas radikal setempat. Militer, pada 2017, menambah alasan persekusi pada etnis minoritas ini karena dugaan sebagian orang Rohingya bergabung dengan kelompok teroris.
Sebagian pengungsi yang diwawancarai VICE khawatir kembali berkuasanya militer di Myanmar berpotensi meningkatkan kebijakan keras bagi orang Rohingya yang masih bertahan di Rakhine.
“Semua orang di tempat tinggal kami akan mengalami lebih banyak kekerasan ketika tentara yang menjalankan kebijakan pemerintah. Tidak peduli apa agamamu, namun kekerasan sudah pasti akan meningkat di Rakhine,” kata salah satu pengungsi Rohingya yang minta namanya dirahasiakan karena keluarganya masih bertahan di Myanmar.
Ada juga pendapat berbeda disampaikan Mohib Ullah, salah satu tetua Rohingya di pengungsian. Dia justru optimis junta militer bersikap toleran pada para pengungsi, mengingat mereka tak ingin reputasinya makin buruk di dunia internasional setelah kudeta.
“Kami sebetulnya tidak suka kudeta, apalagi pemerintahan sipil dan militer sama-sama musuh bagi orang Rohingya,” kata Ullah. “Tapi sangat mungkin junta akan menormalisasi situasi, dan malah mengizinkan kami pulang kampung. Apalagi kebijakan macam itu sekarang tinggal ditetapkan sepihak. Dulu waktu Aung San Suu Kyi berkuasa, ide repatriasi pengungsi Rohingya ruwet sekali karena harus disetujui banyak pihak.”
Para pengungsi sekarang saling berkoordinasi soal dampak kudeta dengan keluarga di kampung halaman, maupun yang tersebar di negara lain seperti Malaysia, Indonesia, hingga Australia. Sebagian besar tak lagi memendam asa bisa balik ke Rakhine.
“Kalau tentara benar-benar berkuasa lagi, tipis sudah peluang saya pulang ke rumah,” kata Zafor Alom, imam masjid di kamp pengungsian. “Tapi saya terus berdoa agar Myanmar diberi perdamaian. Hati saya tetap tertanam di negara itu.”
Apakah Imam Alom membenci Aung San Suu Kyi?
“Saya lahir dan besar di Myanmar. Selepas salat, saya juga akan mendoakan beliau,” kata Alom diiringi secercah senyuman.