Misteri dentuman yang didengar warga Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi sejak tahun lalu masih belum terpecahkan. Terakhir, warga Malang mendengar dentuman berkali-kali selama sebelas jam sejak Selasa tengah malam (2/2). Seperti sebelum-sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tak dapat menjelaskan penyebab pasti maupun muasal dentuman.
Polda Jawa Timur juga turun tangan menyelidiki dentuman Malang. Bukan mencari jawaban saintifik yang memuaskan karena bukan ranah mereka juga, polisi Jatim coba melacak orang pertama yang menyebar info dentuman. Lho kok? Soalnya menurut mereka info dentuman bikin “kegaduhan” di masyarakat. Hadeh.
“Dugaan sementara itu mengarah ke aktivitas petir thunderstorm karena sekarang di musim penghujan, banyak pembentukan awan-awan hujan. Awan itu bisa menimbulkan petir. Jadi, kemungkinan besar itu yang dugaan masih sementara ini,” ujar Kepala BMKG Malang Mamuri dilansir iNews. Satu yang pasti, BMKG Malang yakin dentuman yang bikin jendela penduduk bergetar itu bukan aktivitas seismik (dari dalam Bumi).
Jawa Timur menjadi provinsi kedelapan yang warganya mengaku mendengar dentuman besar dalam setahun terakhir. Sejak 2020, suara serupa telah terdengar di DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, dan Bali. Dentuman tersebut pertama kali terdengar di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, sampai ke Sulawesi Selatan pada tengah malam 10 April 2020 hingga pagi 11 April. Suara dideskripsikan warga mendengar seperti gemuruh, bom, dan seolah-olah ada orang sedang main drum malam-malam. Bebunyian ini juga disebut bikin merinding yang mendengarnya.
Masing-masing dentuman punya spekulasi penyebabnya sendiri. dentuman di Bali pada 24 Januari misalnya, berbeda dengan dentuman Malang. Koordinator Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono menyebut ada anomali sinyal seismik tercatat selama 20 detik saat dentuman Bali terdengar. Sementara itu, beberapa warga di Kintamani, Besakih, dan Buleleng mengaku melihat benda yang diduga meteor melintas di langit. Kalau emang karena meteor, Daryono meyakini pergerakan bumi sebesar 1,1 magnitudo itu bisa jadi disebabkan oleh jatuhnya meteor tadi.
Mungkin memang meteor karena empat hari kemudian kasus meteor jatuh terjadi di Lampung (29/1). Kejadian itu disertai bunyi dentuman, secara fisikal, dan fenomena batu meteor dianggap sakti, secara sosial. Kejadian dentuman karena meteor jatuh juga pernah terjadi di Bone, Sulawesi Barat pada 2009.
Akan tetapi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menganggap aneh jika berbagai dentuman berantai yang terjadi di Januari 2021 hanya disebabkan meteor. “Bisa saja [dari meteor]. Tapi, memang agak aneh kalau kita mendapatkan banyak laporan dentuman dalam sebulan dan semuanya diasosiasikan dengan meteor. Secara statistik, meteor yang mampu menimbulkan dentuman semacam itu hanya beberapa kali terjadi dalam sepuluh tahun. Itu pun terbagi di seluruh wilayah Bumi, tidak hanya di Indonesia,” ujar astronom dan peneliti madya LAPAN Rhorom Priyatikanto kepada Detik.
Dan demikianlah dentuman demi dentuman di Indonesia belakangan tetap menjadi misteri. Meski pakar bisa mengidentifikasinya sebagai thunderstorm maupun skyquake, fenomena ini punya banyak kemungkinan penyebab.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa sulit sekali mengetahui penyebab dentuman misterius beberapa kota padahal ini sudah abad ke-21? Untuk menjawabnya, VICE bertanya kepada Wiwit Suryanto, seismolog dari Universitas Gadjah Mada. Inti dari penjelasan Wiwit, pakar kesulitan memberi penjelasan ilmiah atas asal-muasal dentuman karena mereka kekurangan alat penangkap suara.
“Salah satu kendala di Indonesia itu kelengkapan instrumentasi monitoring-nya. Perlu diperbaiki lagi dan ditambah,” jawab Wiwit kepada VICE. Ia menyebut, salah satu pihak yang seharusnya berkapasitas meneliti aktivitas suara alam adalah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di Bandung. Sebab, institusi tersebut memiliki alat penangkap suara.
“Kita kekurangan infrastruktur untuk monitoring [suara]. Kalau itu ada, seenggaknya kita tahu sumbernya dari mana. Tapi, kalau kita punya alat tapi tidak sanggup menangkap frekuensi ya berarti [sama saja] tidak terekam meski fenomenanya ada,” tambah Wiwit. “Bisa jadi demikian [sudah ada alatnya namun tidak sanggup menangkap asal suara]. Kalau itu ada pasti kan ada penjelasan. Begitu terekam [suaranya], secara prinsip posisinya di mana bisa kita cari. Sekarang saya enggak tahu yang punya siapa, setahu saya PVMBG punya.”
Wiwit menekankan pentingnya alat penangkap suara tersebut. Ia mencontohkan bagaimana Singapura memiliki alat tersebut dan mampu mendeteksi suara erupsi Gunung Kelud meski suaranya tidak sampai sana.
“Kalau kita punya yang begitu [dalam jumlah] banyak, mungkin kita bisa menjelaskan. [Atau] paling tidak [kalau tidak bisa menjelaskan], tahu tempatnya dari mana,” kata Wiwit.
Sudah, penjelasannya sesimpel itu. Wiwit sih berharap pemerintah bisa jadi agen pemersatu informasi data-data fenomena alam seperti ini, yang selama ini masih terkendala aksesnya. Kalau data sudah sinkron, menurutnya ahli akan lebih mudah memanfaatkannya sehingga misteri-misteri seperti dentuman bisa terungkap. Namun, ia turut menekankan bahwa pekerjaan tersebut tidak mudah.
“Fenomena ini tidak di Indonesia saja. Di luar negeri pun kadang terjadi dan di catatan mereka, dentuman tersebut disebut misterius juga. Banyak teori lah [yang diduga bisa menjelaskan asal muasal dentuman],” ujar Wiwit. Selain aktivitas gunung api, meteorit, dan badai petir, Wiwit juga menyebut kemungkinan asal dentuman dari teori tunneling effect, di mana gelombang suara tersebut sebenarnya terjadi di tempat lain yang jauh, namun fenomena alam membentuk lorong yang menyebabkan suara berpindah ke tempat lain dengan cepat.
Kalau ada orang pemerintahan baca tulisan ini, tolong deh itu alatnya buruan diperbanyak. Ini bukan cuma soal rasa penasaran kita sama misteri si dentuman. Banyak warga di daerah rawan erupsi dan gempa yang trauma sama dentuman. Kan kasihan kalo jadi waswas terus.
Yang nyebelin, masalah dentuman ini bisa bikin bingung warga mau santai aja atau langsung siaga. Di Surabaya misalnya, dua hari sebelum dentuman Malang, mereka udah lebih dulu dengar ledakan besar. Dikira apa, eh ternyata meriam hampa yang ditembakkan tiga kali oleh Angkatan Laut dalam rangka penyambutan taruna baru. Terus di Palu pada 2019, warga yang tahun sebelumnya ngerasain gempa dan tsunami juga dikagetkan ledakan besar, eh ternyata TNI lagi memusnahkan amunisi.