Panglima Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya) Dudung Abdurrachman memerintahkan bawahannya mencopot baliho-baliho bergambar pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab di sekitaran DKI Jakarta. Motivasi di balik manuver sang jenderal memicu kekhawatiran di mata pengamat militer, maupun aktivis HAM.
Sepanjang pekan lalu, nama Dudung mendadak muncul di hampir semua pemberitaan media dalam negeri karena memberi instruksi agar pasukan berseragam hijau loreng menyisir kawasan Petamburan dan menurunkan sejumlah gambar Rizieq. Video dan foto para serdadu mencopoti baliho segera viral di media sosial.
Dudung secara terbuka mengatakan dirinya yang berinisiatif agar militer terlibat urusan yang seharusnya domain Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tersebut. Dia beralasan baliho-baliho Rizieq tidak mendapatkan izin dan sudah diturunkan oleh aparat berwenang, tetapi dipasang kembali anggota FPI. Atas alasan itu, kata Dudung, Komando Daerah Militer Jayakarta (Kodam Jaya) turun tangan membantu penertiban.
Rivanlee Anandar, peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menilai sangat tidak wajar pejabat militer sampai mengurusi baliho dan ormas. Menurutnya, itu adalah bentuk “show of force yang sangat berlebihan,” sebab TNI adalah “alat negara di bidang pertahanan yang harus tunduk kepada kebijakan politik negara”. Artinya, harus ada persetujuan DPR dan keputusan presiden atas tindakan Dudung.
“Di sisi lain, itu juga merendahkan marwah TNI sendiri,” kata Rivanlee kepada VICE. Dia menilai alih-alih meributkan tentang FPI, militer semestinya fokus pada masalah internal, seperti reformasi peradilan militer dan harmonisasi hubungan dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Menurut pengakuan Ketua FPI Jakarta Muchsin Alatas, Dudung sempat bertemu dirinya membahas masalah baliho pada 18 November. “Kita dari FPI siap membantu bekerja sama seperti yang diinginkan Pangdam Jaya untuk menertibkan baliho Habib Rizieq yang ada di Jakarta,” kata Muchsin. Ia menyebut masyarakat pendukung Rizieq yang memasangnya.
Tetapi, dua hari kemudian, serdadu yang dikomandoi Dudung langsung mengambil tindakan sendiri. “Kita enggak tahu maksudnya apa, dan tujuannya apa, kita enggak tahu. Yang penting FPI selalu membuka pintu dialog,” tambahnya. FPI meminta agar jangan hanya baliho Rizieq yang dipersoalkan, tetapi yang lain yang juga melanggar aturan.
Sesudah pertemuan itu, Dudung mengeluarkan pernyataan politik bernada mengancam menyangkut keberadaan FPI. Ia mengaku gerah dengan sepak-terjang organisasi Islam tersebut, terutama setelah kepulangan Rizieq dari Arab Saudi. “Jangan coba-coba pokoknya. Kalau perlu, FPI bubarkan saja itu. Bubarkan saja. Kalau coba-coba dengan TNI,” ucap Dudung.
Khairul Fahmi, peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai manuver TNI itu tidak mengejutkan, sekalipun tetap perlu diwaspadai. “Kalau kita melihat kecenderungan [politik] belakangan ini, apa yang terjadi beberapa waktu terakhir, saya kira [bagi saya] ini tidak mengejutkan,” ucapnya, saat dihubungi VICE.
Khairul berpendapat sebenarnya sasaran utama aksi simbolik TNI bukanlah FPI, Rizieq, maupun para pendukungnya. “Kelihatannya remeh, tapi ada target yang lebih besar daripada sekadar ngomong soal balihonya, soal FPI. Tetapi justru penonton, masyarakat [yang jadi target],” imbuhnya.
Dengan muncul di media, TNI melalui Dudung, menjadikan FPI sebagai proksi dari agenda sesungguhnya untuk meraih perhatian masyarakat. Khususnya, yang memiliki sikap oposan terhadap pemerintahan saat ini. “Isu HRS [Habib Rizieq Shihab] dan FPI ini justru digunakan untuk menggertak atau menakut-nakuti masyarakat supaya lebih patuh…kecuali mau berhadapan dengan perangkat kekuasaan negara,” urainya.
Pertanyaan lain yang muncul adalah mengapa militer di Tanah Air sulit melepaskan diri dari hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan peran sebagai kombatan. Marcus Mietzner, lewat bukunya The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia, memaparkan betapa politisi dan tentara sengaja melilitkan diri karena membutuhkan satu sama lain. Era reformasi masih mewarisi tradisi tersebut.
“Tentara kita ini lahir dari revolusi kemerdekaan. Militer yang lahir dari revolusi kemerdekaan, DNA-nya itu DNA politik,” kata Khairul. Lantaran mengecap identitas sebagai pejuang di semua bidang, TNI mempunyai mental Praetorian di mana pengaruh lembaga sering dipakai untuk tujuan-tujuan politik. “Sehingga mau diatur seperti apa pun, [militer Indonesia] tetap punya gen politik,” tambahnya.
Pada saat bersamaan, pemerintah perlu legitimasi kekuasaan dengan memperoleh dukungan TNI sebagai alat kekerasan negara. “Ini akhirnya menjadi sesuatu yang resiprokal—sesuatu yang timbal-balik. Tentara bisa menjanjikan apa, politisi bisa menjanjikan apa,” kata Khairul.
Bagi Rivanlee, manuver TNI di isu baliho FPI semakin menunjukkan sikap pemerintahan sipil Joko Widodo yang seolah kurang percaya diri memisahkan domain militer dari urusan sipil. “Padahal negara bisa membangun sumber daya yang baik untuk mengganti peran TNI di sektor ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik,” kata dia.
Kecenderungan ini pun terlihat dari tetap berpengaruhnya pensiunan militer di Indonesia di kancah politik. Mulai dari Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo, Ryamizard Ryacudu, sampai Luhut Binsar Pandjaitan. Tuntasnya masa bakti sebagai tentara membuka peluang petinggi militer untuk memasuki pemerintahan.
Sikap Pangdam Jaya militer tidak menyampaikan informasi kepada Komisi I DPR RI mengenai penurunan baliho juga jadi sorotan. “Kalau dalam TNI pasti ada rantai komando yang jelas. Dia enggak mungkin bertindak atas kehendak pribadi karena konsekuensinya sangat besar,” ujar Rivanlee. “Persoalannya yang bertanggung jawab atau di balik rantai komando ini tidak diketahui publik.”
Apabila publik, dan khususnya pemerintahan Jokowi, membiarkan manuver Dudung, hal itu lambat laun dapat melemahkan demokrasi. Sejauh ini, masyarakat yang tidak menyukai kiprah intoleran FPI cenderung mendukung, atau menoleransi sikap Pangdam Jaya. Sejumlah influencer dengan jumlah followers paling sedikit ribuan turut memuji Dudung. Argumen mereka, karena FPI meresahkan publik dan mengancam persatuan.
Rivanlee khawatir di masa mendatang dukungan itu dianggap blangko kosong bagi TNI berbuat lebih jauh. Hak berserikat di Indonesia akan semakin terancam, sekalipun ada Undang-undang tentang Organisasi Kemasyarakatan.
“Jadi, itu diucapkan oleh Pangdam, yang kalau diiyakan banyak orang karena egonya sebal atau kesal dengan FPI, akan berbahaya sekali buat kebebasan berserikat di Indonesia,” tegasnya.
KontraS melaporkan pada Oktober 2020, bahwa tindak kekerasan yang melibatkan TNI selama setahun belakangan meningkat dari 58 menjadi 76 kasus, termasuk di dalamnya intimidasi dan penyiksaan. Pemerintah dituding memperlihatkan watak represif dengan mewajarkan TNI yang ingin memelihara niat masuk ke area sipil.
“Berbahayanya adalah kalau [tindakan TNI] didiamkan, kita akan menumpuk kesewenang-wenangan dalam bentuk lain,” ucap Rivanlee. “Mungkin hari ini baliho, tapi ke depan adalah represi dari TNI sendiri yang semakin masuk ke ranah ekonomi, sosial dan budaya.”