Tidaklah mudah menjadi jurnalis di Pakistan. Banyak sekali rintangan dan tantangan yang dihadapi oleh mereka. Lembaga pemantau bahkan mengungkapkan keamanan pekerja media di negara itu semakin terancam.
Tak sedikit wartawan Pakistan yang mengalami penyerangan dan penculikan. Hasil penelusuran Committee to Protect Journalists menunjukkan sejak 1992, 61 jurnalis tewas dibunuh—baik oleh pemerintah maupun publik—hanya karena menjalankan tugas mereka.
Tahun lalu, Council of Pakistan Newspaper Editors melaporkan pekerja media Pakistan “masih terjebak dalam kungkungan” negara dan “menjadi sasaran intimidasi fisik seperti pembunuhan dan rezim penyensoran”.
Berdasarkan laporan Reporter Without Borders, kebebasan pers di Pakistan merosot dari peringkat 145 jadi 180 tahun ini.
“Media Pakistan semakin dibungkam suaranya melalui berbagai cara penyensoran, seperti pembunuhan, ancaman dan penyerangan, hingga memangkas nilai-nilai jurnalisme yang mengedepankan kepentingan publik,” lembaga pemantau kebebasan pers Pakistan, Freedom Network, menyatakan.
VICE News berbincang dengan Ailia Zehra, perempuan 25 tahun yang berprofesi sebagai editor di media digital Naya Daur. Awal September ini, Ailia mengomentari kasus pembunuhan demi kehormatan (honour killing) yang menimpa jurnalis perempuan di provinsi Balochistan. Tak lama setelah video dia tayang, ancaman datang bertubi-tubi terhadapnya. Kami bertanya kepada Ailia seperti apa rasanya menjadi jurnalis perempuan di Pakistan, serta topik apa saja yang dibenci pemerintah dan bagaimana dia menghadapi segala serangan online yang ditujukan ke arahnya.
VICE: Ancaman seperti apa yang kamu terima belakangan ini?
Ailia Zehra: Pada 7 September kemarin, saya membicarakan kasus pembunuhan jurnalis perempuan Shaheena Shaheen di Balochistan dalam siaran langsung YouTube. Menurut pemberitaan, Shaheena diduga tewas di tangan suaminya yang ingin menjaga “kehormatan” keluarga. Mendiang cukup dikenal di Pakistan. Saya menerima ancaman dibunuh dan diperkosa sejak itu, meski ini bukan pertama kalinya saya menerima serangan verbal.
Topik apa lagi yang memicu reaksi negatif seperti itu?
Saya menulis tentang pekerja Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) yang bernama Badhshai Khan di Waziristan. Dia mengunggah video Facebook yang membenarkan “pembunuhan bagi siapa saja yang menodai tradisi [Pakistan]”. Video itu dilaporkan memicu honour killing pada dua gadis remaja. Saat itu, saya memberitakan bahwa Badhshai melarikan diri lima hari setelah kejadian.
Tak lama setelah artikelnya terbit, saya menerima ancaman dari orang-orang yang berafiliasi dengan PTI dan kelompok pro-pemerintah di Twitter.
Ancaman apa yang menurutmu paling mengkhawatirkan?
Seseorang ngetwit, “Qatal tu tumko bhi kar dena chahiye (kamu juga pantas dibunuh)” ketika saya membicarakan pembunuhan Shaheena.
Bagaimana kamu menanggapinya?
Serangan ini terjadi hampir setiap hari, jadi saya sudah terbiasa.
Pernahkah terpikirkan olehmu bagaimana jadinya jika seseorang menyerangmu secara fisik karena tidak menyukai artikelmu?
Tentu saja pernah. Saya sudah jaga-jaga karena hal ini tidak dapat dihindari dalam profesi saya.
Keluarga ngeri melihat serangan yang saya terima di internet. Mereka menasihati agar saya tidak menulis hal-hal sensitif. Mereka bahkan pernah menyarankanku cari pekerjaan lain.
Topik apa yang paling gampang memicu amarah pemerintah?
Ekstremisme, penghilangan orang secara paksa, gerakan hak-hak sipil dan masalah HAM yang sedang berlangsung.
Apa yang membedakan profesi jurnalis di Pakistan pada masa lalu dengan sekarang?
Profesi ini tidak pernah mudah. Cuma bedanya, pekerja media Pakistan sekarang semakin rentan diserang dan dilecehkan oleh mereka-mereka yang seharusnya melindungi kebebasan pers. Inilah perbedaan terbesarnya. Pihak yang berkuasa tidak dapat menangani kritik dengan baik.
Apakah reaksi ini memengaruhi cara kamu bekerja?
Saya sangat hati-hati memilih kata saat menulis. Misalnya, saya mengganti “militer” dengan “lembaga negara”.
Apa yang membedakan pengalaman wartawan di Pakistan dengan negara lain?
Di Pakistan, penentangannya sering kali dikhususkan terhadap jurnalis perempuan. Pembunuhan karakter dan kekerasan berbasis gender yang dihadapi jurnalis perempuan kami sangat spesifik.
Saya sendiri suka merasa takut dan jiper, tapi saya sadar tidak boleh membiarkan serangan-serangan ini menghentikan saya untuk mengungkapkan kebenaran.
Pada 18 Agustus, kami (jurnalis perempuan) menghadap dewan parlemen HAM untuk menuntut kebebasan pers. Pertemuannya dipicu oleh kampanye #AttacksWontSilenceUs di media sosial.
Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas
Follow Mahwish Qayyum di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.