Jam di layar ponsel menunjukkan pukul empat lewat. Anas segera menutup gim Mobile Legends dan mengambil handuk yang tergantung di hadapannya untuk segera mandi. Udara sore itu lumayan gerah. Atap seng menambah beberapa derajat suhu di dalam bedeng seukuran 3 x 5.
Pukul lima nanti, ia sudah harus siap di “kantornya”, sebuah wahana permainan kora-kora.
“Selama di [lapangan] Piyungan, ini jadi kamarku,” ujarnya menunjuk meja kayu panjang beralas karpet abu-abu di pojok bedeng. Ia buru-buru melanjutkan, “Eh kamar bersama ding, bareng karyawan lain.”
Anas Mbranas, yang nampak bongsor meski baru berusia 20 tahun, merupakan salah satu pekerja di kelompok pasar malam Berkah Ria 08. Baru lima bulan ini ia bekerja sebagai juru kendali kora-kora, salah satu wahana ikonik di tiap gelaran pasar malam. VICE menemuinya di Lapangan Piyungan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta awal Juli lalu. Sudah dua minggu ia dan rombongannya menetap di sana dan menyulap lapangan desa jadi theme park dadakan.
Bagi warga luar kota besar, pasar malam yang menyediakan wahana permainan dan bazar serbaada ini adalah hiburan yang atraktif dan terjangkau. Kedatangannya di suatu tempat biasanya ditandai lewat lampu sokle yang menyorot langit malam atau jedhag-jedhug suara house music membahana ke seantero desa. Warga desa senang karena lapangan desa yang biasanya sepi disulap jadi pusat keramaian barang sejenak. Tapi bagi Anas, dan pekerja pasar malam lain yang menjalani hari-harinya di dalam rombongan, keramaian itu berlangsung sepanjang tahun, 24/356.
“Ya pokoknya selama perijinan lancar ya jalan terus, nggak ada liburnya sepanjang tahun. Mungkin emang orang-orang butuh hiburan terus ya?”
Fakta yang barangkali mencengangkan bagi pekerja kantoran ini tak mengagetkan Anas. Bisnis pasar malam dijalankan dengan sistem temporary alias berpindah-pindah lokasi dalam kurun waktu tertentu. Tiap unit pasar malam biasanya memiliki zona operasi sendiri-sendiri. Di satu lokasi, yang biasanya berupa lapangan desa, pasar malam akan menetap selama 3-4 minggu. Lebih dari itu, pihak pasar malam merasa euforia warga sekitar sudah pasti menurun. Momen euforia inilah yang membuat pasar malam keliling tetap laris hingga kini.
“Itu waktu paling ideal, kalau lebih cepat pindah capek angkut dan bongkar pasangnya. Terus kalo libur kan berarti nggak ada pemasukan juga, eman-eman [sayang],” jelas Anas.
Lantaran terus berpindah, Anas memilih tinggal di lokasi saja. Pulang saban hari atau ngekos tentu tidak ada di pilihan Anas, mengingat wilayah kerja Berkah Ria 08 di seputar kota Yogyakarta, sementara ia asli Madiun, Jawa Timur.
“Tapi nggak semua pekerja [tinggal di lokasi] kok. Yang rumahnya dekat, ya malam pulang, tapi karena rumahku jauh mending sekalian tinggal di sini,” jelasnya. Menurut Anas, dari 21 pekerja yang menjalankan satu unit pasar malam di rombongannya, sekitar tiga orang tinggal di lokasi.
“Ini lumayan lho pas sampai udah ada bangunan ini. Kalau nggak ada apa-apa, biasanya ya sudah, tidur di dalam loket tiket atau di dalam sketsel terpal karosel kuda situ,” ia mengedikkan kepala ke arah karosel yang dinding bagian tengahnya disingkap, seperti pintu tenda. Di dalamnya, nampak seorang pekerja tidur pulas di atas tanah beralas terpal.
“Adaptasi tiap pindah sih nggak ada masalah, paling yang agak susah itu soal kamar mandi dan warga sekitar lapangan kayak apa, kan ada yang ramah tapi ada juga yang galak. Soal tempat tidur sih aman di mana aja, yang susah kalau pas musim hujan aja sih,” curhatnya.
Sebagai nomaden, bekal kesehariannya tak banyak. Dari rumah ia hanya membawa satu ransel berisi beberapa potong kaos, celana, pakaian dalam, dan sepotong sarung. Anas ingat, di minggu-minggu pertama bekerja ia sering mencuri kesempatan menikmati wahana-wahana. “Minggu kedua kerja, aku akhirnya mencoba naik bianglala, itu pengalaman pertama,” wajahnya semringah. “Habisnya nggak pernah ada pasar malam di Madiun.” Ia juga mengaku belum pernah main ke theme park.

Pukul lima tiba, Anas bergabung merokok dan bercengkerama sejenak sebelum berpencar ke pos kerja masing-masing. Berkah Ria 08 sendiri punya setidaknya 35 jenis wahana permainan. Yang dihadirkan di Lapangan Piyungan hanya 11, yaitu Kora-kora, Bianglala (kincir), Heli Putar, Ontang-anting (kursi putar), Trampolin, Kereta Putar, Karosel (kuda putar), Gajah Terbang, Istana Balon, Kereta Rel, dan Bioskop 3D.
Pos Anas berada persis di depan pagar perahu Kora-Kora. Suara diesel penggerak perahu yang menderu kasar menandai dimulainya jam kerja Anas hari itu. Normalnya pasar malam mulai ramai sekitar pukul tujuh malam hingga pukul sepuluh. Selain waktu itu, tenaga Anas dipakai ketika bongkar, angkut, dan pasang ketika rombongannya pindah lokasi.
“Tapi kalau lagi ramai banget ya lanjut terus sampai jam 12 maksimal,” tambahnya.
Selepas magrib, suasana yang tadi siang lengang berubah total. Gelegar house music, kerlap-kerlip lampu di hampir seluruh wahana permainan, bau micin dan gorengan yang merebak, semerbak parfum menusuk hidung, dan riuh teriakan histeris pengunjung berjejalan di udara. Situasi ini menjadi pengalaman full-sensory bagi siapapun yang ada di sana.
“Nah, asik ini ku kerjain,” ujar Anas melirik VICE.

Ekspresi usilnya tertuju pada rombongan remaja laki-laki dan perempuan yang nampak riang bercanda sambil mengantri tiket kora-kora. Harga tiap tiket wahana di pasar malam Berkah Ria 08 dibanderol 15 ribu rupiah. Sayup-sayup terdengar mereka taruhan, siapa yang teriak paling kencang adalah pecundang.
Satu per satu mereka naik dan memilih duduk di barisan bangku hampir di ujung perahu. Anas tersenyum saja melihat itu, ia tahu itu bangku paling menegangkan ketika perahu kora-kora diayunkan.
Untuk mulai mengayun perahu, Anas menarik seutas tali untuk memantik mesin diesel. Sambil berpegang ke tiang, satu kakinya menginjak tuas yang terhubung ke ban mobil yang dipasang di mesin. Semakin dalam Anas menginjak tuas, ban mobil yang bersentuhan dengan besi di bawah perahu akan bergerak semakin cepat. Membuat perahu makin cepat dan tinggi berayun.
Di kecepatan tertentu, perahu kora-kora bisa berdiri di kemiringan nyaris 90 derajat. Dengan hanya sebatang besi yang menahan tubuh pengunjung, wahana ini sebenarnya berbahaya. Namun Kora-kora tetap jadi salah satu wahana paling ramai, entah pengunjung kadung percaya atau justru pasrah bertaruh nyawa demi lima belas menit adrenalin di atas wahana.
“Aku paling senang njarak [menggoda] orang-orang kayak gini. Pokoknya semakin mereka teriak-teriak, aku makin senang,” ungkap Anas yang senyumnya semakin lebar mendengar teriakan pengunjung semakin histeris.
Anas berharap kehebohan ini berlangsung lama malam ini. Sebab semakin ramai pengunjung, artinya semakin banyak pula pendapatannya malam itu.
Di pasar malam, semua karyawan menerima jumlah gaji sama, tak peduli kerja di posisi atau jenis wahana bermain yang mana. Gaji ini dibagi saban malam setelah hasil tiket seluruh wahana dikumpulkan ke mandor. Gaji seluruh karyawan diambil dari 15% total pendapatan pasar malam hari itu. Karena bergantung pada ramai atau tidaknya pengunjung, nominal gaji Anas tak pernah tetap yaitu berkisar antara 30-100 ribu,”
“Pernah pas itu di Lapangan Madukismo [Bantul] ramai banget, itu sehari dapat 270 ribu. Lumayan banget,” ujarnya. Ia melanjutkan, “Tapi pernah juga baru buka kena hujan, cuma dapat 30 ribu. Saiki lho, 30 ribu ngge tuku mangan karo rokok ya wis entek [sekarang, uang 30 ribu untuk makan dan rokok sudah habis].”

Dalam rombongan Berkah Ria 08 maupun pasar malam lain, pada umumnya tak ada pekerja perempuan. Beban kerja yang mengandalkan kekuatan fisik, sistem lokasi berpindah sepanjang tahun, dan tempat istirahat seadanya dirasa tak memungkinkan dan tak aman bagi perempuan. Namun, di tiap lokasi pihak pasar malam akan merekrut warga sekitar untuk juga terlibat, yang perempuan biasanya jadi penjaga loket sementara laki-laki mengelola lahan parkir dan kebersihan. Pembagian ini lumrah dilakukan di mana saja.
Rombongan Berkah Ria 08 yang diikuti Anas adalah satu dari puluhan unit pasar malam milik bosnya. Gudang dan kantor pusat Berkah Ria yang ternyata merupakan perusahaan keluarga ini berada di Klaten dan telah beroperasi hampir di seluruh Jawa. Suro Diryo mendirikan usaha pasar malam yang dulu bernama Cipta Ria pada 1946 setelah pulang merantau dari Jakarta. Usaha ini diwariskan ke anak cucu, hingga tahun 2003 lalu berganti jadi Berkah Ria dan dikelola oleh generasi ketiga. Berkah Ria sendiri terbagi jadi sembilan anak perusahaan, sesuai jumlah cucu. Berkah Ria 08, tempat Anas bekerja, punya lima unit pasar malam dan dipimpin oleh H. Muhammad Wahyudi yang merupakan cucu termuda.
Sigit, koordinator lapangan Berkah Ria 08 menjelaskan, ada dua konsep penyelenggaraan pasar malam: ngamen dan tradisi. Di acara tradisi, unit pasar malam diundang untuk mengiringi acara rutin tiap tahun atau tiga bulanan di suatu daerah, misalnya ulang tahun kabupaten, HUT kemerdekaan, dan lainnya. Sambil menunggu panggilan mengiringi acara tradisi, kelompok pasar malam berkeliling menyewa lapangan desa secara mandiri, seperti yang mereka lakukan di Lapangan Piyungan ini. “Kalau ngamen gini, wahana yang dikeluarkan yang standar aja, mengisi waktu sambil menunggu acara tradisi lagi, kan nggak mungkin dibawa balik ke gudang,” jelas Sigit.
Di Berkah Ria, pekerjaan Sigiet serupa kurator, ia mendesain bagaimana flow pengunjung, denah wahana bermain, dan menentukan apakah suatu lokasi punya ambiens potensial untuk mengumpulkan keramaian. “Bianglala dan Kora-kora itu kan maskot pasar malam, jadi penempatannya harus diutamakan di spot paling terlihat. Misalnya di pintu masuk,” tambahnya.
“‘Ria’ itu kan bahagia, di sini kan isinya orang cari bahagia aja. Padahal sakjane ya susah [sebenarnya juga susah],” tambahnya.
Sigit merasa, pilihan lokasi turut memengaruhi seberapa ramai pasar malam. Misalnya, di daerah yang jauh dari kota , animo masyarakat biasanya lebih tinggi. “Pernah pas di Kulonprogo sampai antri banget. Orang nggunung [pelosok] pada turun semua, padahal posisi becek habis hujan. Mungkin saking alternatif hiburannya sedikit ya.”
Berkah Ria 08 dulu jadi salah satu pengisi rutin di gelaran Sekaten (pasar malam yang jadi bagian dari acara peringatan Maulid Nabi oleh Keraton Yogyakarta), sampai terakhir diadakan tahun 2018 lalu.
Sepanjang malam itu Anas nampak menikmati pekerjaannya. “Ya selain bisa bikin orang-orang heboh, biasanya kan orang lihatnya kerja di pasar malam itu enak karena bisa lihat banyak cewek cantik. Tapi aku biasa aja sih,” ceritanya. Pada VICE, ia mengaku belum punya pacar setelah kisah cinta yang ia bangun selama lima tahun kandas beberapa bulan lalu.
Tinggal dalam rombongan di lokasi terbuka seperti ini, privasi jadi barang langka yang jarang Anas nikmati. Tak jarang jika pikiran sudah terlalu jenuh dengan keramaian, Anas memilih berkamar di kotak loket. Meski kecil, ia merasa ruangan ini yang paling tertutup. Loket tiket biasanya juga jadi pilihan kamar bagi pekerja yang membawa serta istrinya.
Jam kerja Anas barangkali terlihat normal, tapi karena tak membawa motor pribadi ke lokasi, ia benar-benar menghabiskan mayoritas waktunya di lokasi pasar malam. “Ya paling main HP, nongkrong ngopi di warung. Kadang jam 3 [dini hari] juga baru bisa tidur saking capeknya.”
Jika sudah benar-benar jenuh, pilihan Anas untuk menghibur dirinya adalah dengan berjalan kaki ke desa atau minimarket di sekitar lokasi. Satu bungkus snack dan minuman botolan ditemani YouTube jadi kawannya membunuh sepi.
“Pernah juga pas bongkaran aku judheg karo wong-wong kabeh [emosi pada semua orang], aku tinggal aja jalan kaki sampai jam 2 pagi,” ceritanya menggebu, “Paling dongkol kalau kancaku dolan [rekan kerja pergi main] sama ceweknya, nggak balik-balik terus dicariin mandor, yang kena kan aku,” ia terkekeh.

Interaksi yang intens dan keharusan menghadapi banyak ketidakpastian selama berpindah-pindah membuat Anas dan rekan pekerja lain di rombongan Berkah Ria 08 jadi akrab. Karena merupakan pekerja paling muda di rombongan, Anas yang kerap dipanggil “Gendut” dianggap sebagai adik dalam rombongan. Sudah biasa bagi mereka, untuk misalnya saling meminjami uang, saling berkeluh kesah, dan berbagi makanan.
“Misal pas nggak megang uang, kan ada teman yang istrinya buka stand makanan ya ditawari,” cerita Anas, “Ya bisa dibilang udah kayak keluarga sih.”
Hubungan dekat antarpekerja ini di satu titik bisa jadi jaring pengaman sosial, mengingat pekerjaan mereka di pasar malam tak menjanjikan banyak hal. Selain upah tak pasti, absennya asuransi kesehatan, nihilnya prosedur keamanan, dan bahkan minimnya tempat istirahat layak bagi pekerja, nyatanya pekerjaan pasar malam tak semenyenangkan pengalaman yang ditawarkannya pada pengunjung. Namun, keterbatasan pilihan pekerjaan membuat Anas tak mempermasalahkan hal ini.
“Neng kene ora isa ngandelne gaji sepira [Di sini nggak bisa mengandalkan besaran gaji], soalnya kalau merantau itu sing penting golek seduluran [yang utama cari persaudaraan], ibarat nggak bisa makan, masih ada yang kasih makan.”

Sebelum pekerjaannya kini, Anas sempat mencoba peruntungan bekerja sebagai checker kontrak di sebuah perusahaan tambang batu bara ilegal di Penajam, Kalimantan Timur. Selama dua bulan, ia ikut buka lahan di hutan, merasakan hidup minim sinyal ponsel, kesulitan air bersih, hingga bolak-balik kabur dari razia. “Woh, aku mlayu sak mlayune ora karu-karuan [aku lari kalang kabut]. Pokoknya lari masuk hutan, nginep di sana 3-4 hari, makanan ya seadanya, pokoknya nunggu situasi aman.”
“Walau gimana pun, tetap lebih tenang kerja di pasar malam. Paling nggak, nggak ada perasaan waswas kena razia.”
Di luar pekerjaannya, Anas nampak punya ketertarikan terhadap fotografi. Beberapa kali selama berinteraksi dengan VICE, ia menunjukkan spot atau angle foto yang menurutnya bagus untuk memotret pasar malam. “Kalau lagi santai ya sempat lah foto-foto atau bikin video. Aku sempat ngomong ke Pak Sigit, kalau ada kamera mbok dibawa, buat bikin konten. Anak-anak muda kan pada suka spot-spot foto,” tambah Anas yang cukup aktif di media sosial.
Malam itu lampu-lampu dimatikan pukul 10. Tak seramai akhir pekan lalu. Gelombang terakhir Kora-kora Anas malam itu diisi sepasang remaja yang tampak dimabuk cinta. Anas mesam-mesem saja mengayunkan kora-koranya. Setelah suara mesin diesel dan musik reda, satu per satu tenda bazar juga membereskan dagangannya. Anas nampak lega, paling tidak malam itu ia mengantongi gaji 80 ribu.
Usai gajian, Anas bergegas masuk ke kamar bedengnya dan merebahkan punggung. “Mumpung masih punya kamar dan lagi nggak bongkaran, aku mau tidur besok bangun siang,” tutupnya.