Home Uncategorized Seiring Ada Wacana Revisi UU ITE, Kapolri Listyo Ingin ‘Virtual Police’ Diaktifkan

Seiring Ada Wacana Revisi UU ITE, Kapolri Listyo Ingin ‘Virtual Police’ Diaktifkan

774
0
seiring-ada-wacana-revisi-uu-ite,-kapolri-listyo-ingin-‘virtual-police’-diaktifkan

Setelah ramai pemberitaan mengenai kemungkinan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginginkan agar virtual police segera diaktifkan. Menurutnya, ini penting untuk membuat masyarakat mendapat edukasi soal aktivitas atau konten apa saja yang bisa dijerat dengan peraturan tersebut.

Virtual police menegur dan menjelaskan potensi pelanggaran pasal sekian dengan ancaman hukuman sekian, lalu diberikan [informasi tentang] apa yang sebaiknya dia lakukan,” kata Sigit. “Tolong ini dikerjasamakan dengan Kominfo sehingga kalau ada konten-konten seperti itu, virtual police muncul sebelum cyber police yang turun.”

Lebih lanjut, ia mengatakan perlu melibatkan influencer agar tujuan itu bisa tercapai. Ini lantaran Sigit menilai masyarakat akan lebih mendengarkan orang-orang terkenal di media sosial. “Saya kira ini bisa [dilakukan] dengan melibatkan influencer yang disukai masyarakat sehingga proses edukasi dirasakan nyaman, tidak hanya menakut-nakuti, tapi membuat masyarakat tertarik dan sadar serta memahami apa yang boleh dan tidak boleh,” imbuhnya.

Sigit pertama kali menyampaikan gagasan soal virtual police atau polisi dunia maya ketika menjalani fit and proper test sebagai calon Kapolri di DPR pada Januari lalu. Ia menilai publik perlu diajak berpartisipasi untuk menjaga ruang siber tetap tertib sehingga tidak mengganggu stabilitas negara dan agenda pemerintah.

“Kemudian, bagaimana penguatan partisipasi masyarakat dalam skema masyarakat informasi di ruang siber dioptimalkan dengan kampanye siber guna meningkatkan kesadaran akan pentingnya keamanan, data pribadi, dan etika bermedia sosial, tentunya tanpa menutup ruang kreativitas disertai dengan pelibatan polisi di dunia maya,” kata Sigit waktu itu.

Ia menyebut virtual police berbeda dengan cyber police yang berpatroli di ruang-ruang digital untuk melakukan penegakan hukum. Negara lain yang memiliki virtual police adalah Tiongkok di mana kepolisian Beijing membentuk unit tersendiri untuk terus-menerus mengingatkan pengguna internet sejak 2007 lalu.

Berdasarkan laporan media setempat, virtual police muncul dalam bentuk dua kartun polisi yang ditampilkan di setiap halaman web per 30 menit. Bagi netizen yang ingin melaporkan adanya konten berbahaya atau situs pornografi, dia hanya perlu mengklik ikon kartun tersebut, lalu mengisi sebuah formulir. Polisi akan memberikan tanggapan dalam 30 menit ketika laporan dinilai valid.

Publik di Indonesia sendiri masih belum bisa menangkap ide Kapolri secara konkret karena tidak ada informasi rinci yang memungkinkan untuk diakses dan dipelajari. Namun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai gagasan tersebut sebenarnya tidak buruk jika niat baiknya adalah untuk mengingatkan potensi pengguna media sosial terjerat sebuah pasal dalam UU ITE.

YLBHI mencatat ada beragam pelanggaran hak selama 2020, termasuk terhadap kebebasan berpendapat secara digital (17 persen), mencari dan menyampaikan informasi (16 persen). Penangkapan sewenang-wenang juga dilakukan polisi terhadap orang-orang yang mengkritik pengesahan UU Cipta Kerja.

“Konsep ini menarik karena dia membumikan pidana sebagai ultimum remedium, yang terakhir,” kata Asfinawati kepada VICE. Ini merujuk kepada sebuah asas dalam hukum pidana di Indonesia yang menyarankan agar hukuman pidana menjadi jalan terakhir dalam penegakan hukum.

Artinya, tidak setiap aktivitas atau konten di media sosial berisiko secara otomatis berhadapan dengan UU ITE, apalagi jika substansinya masih dipertanyakan. Ini sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo kepada Kapolri agar pihaknya lebih selektif dalam menerima aduan yang memakai peraturan itu.

Yang perlu digaris bawahi, menurut Asfinawati, adalah aturan hukum yang meregulasi keberadaan virtual police itu agar tidak menyeleweng dari tujuan awal. “Prasyaratnya tinggal aturan hukumnya enggak bermasalah dan ada peluang diskusi apabila terjadi beda tafsir,” tegasnya.

Begitu juga seandainya ada bagian dari masyarakat yang mempersoalkan virtual police, maka harus ada mekanisme mediasi. “Ini [virtual police] bagus, tapi masalahnya gimana kalau kita enggak terima dengan peringatan itu? Bandingnya ke mana?” kata Asfinawati.