Taiwan mengumumkan kasus COVID-19 pertamanya pada 21 Januari — satu hari setelah Amerika Serikat mengumumkan hal serupa. Hingga awal November ini, totalnya hanya ada 567 kasus positif dengan tujuh kematian di sana. Pusat perbelanjaan, bioskop dan kelab malam sudah beroperasi seperti sediakala. Warga menjalani kesibukan setiap harinya seolah-olah tidak ada virus menakutkan di dunia ini. Namun, meski sudah bebas, Taiwan tetap memberlakukan tindakan pencegahan untuk meminimalisir penularan COVID-19. Berikut kisah penulis Adam Hopkins yang tinggal di Taiwan pasca-corona:
Pada 8 Agustus lalu, penyanyi Taiwan Eric Chou menggelar konser akbar di Taipei Arena. 10.000 orang lebih berdesakan menonton penampilannya. Kalian mungkin bergidik membayangkannya, dan membatin “pasti banyak yang ketularan COVID-19”.
Kabar baiknya, tak ada satupun kasus baru yang dilaporkan setelah konsernya diselenggarakan. Ketika artikel ini ditulis pada akhir Oktober, belum ada kasus transmisi lokal di Taiwan sejak 12 April. Kok bisa? Taiwan memiliki populasi sebesar 24 juta jiwa dan letak negaranya berdekatan dengan Tiongkok, tapi kenapa jumlah kasus positif di sana sangat sedikit?
Alasannya tentu saja karena kesiapan negara menangani wabah, dan kesediaan warga untuk memenuhi protokol kesehatan. 73 orang Taiwan meninggal karena SARS 17 tahun lalu, menjadikannya angka kematian tertinggi di dunia pada saat itu. Sejak itu, negara mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan wabah selanjutnya. Pemerintah tak buang waktu menanggapi wabah coronavirus begitu pertama kali ditemukan di Wuhan pada Desember lalu.
Kami diwajibkan mengenakan masker saat naik transportasi umum. Warga dilarang berkumpul dalam jumlah besar di tempat umum. Negara menutup perbatasan bagi pendatang dan penduduk. Siapa pun yang berkunjung ke Taiwan wajib menjalani karantina 14 hari. Alhasil, Taiwan dengan cepat mengekang penyebaran virus tanpa lockdown. Tak ada perubahan besar yang dirasakan masyarakat. Jadi, bagaimana rasanya tinggal di Taiwan?
Saya mulai memakai masker pada 29 Januari. Saat itu bertepatan dengan Tahun Baru Imlek, dan warga Taiwan mulai khawatir dengan virus ini. Selama dua minggu berikutnya, saya menanyakan kabar teman-teman di Tiongkok — saya pindah ke Taiwan pada Mei tahun lalu. Sebagian besar kota di Tiongkok sudah di-lockdown. Teman saya yang tinggal di Shandong mengirim foto izin sehat untuk keluar rumah dan belanja persediaan. Ada juga yang terjebak di Guangdong karena larangan bepergian. Dia tidak bisa pulang ke Shanghai karenanya. Temanku yang orang Amerika jatuh sakit setelah mengunjungi Beijing. Waktu itu belum ada tes COVID-19, jadi dia didiagnosis pneumonia. Obatnya tidak berpengaruh apa-apa. Saya sendiri mulai panik. Saya khawatir Taiwan juga kena lockdown, dan orang terdekat ketularan virus.
Kapal pesiar Diamond Princess bersandar di Keelung, timur laut Taiwan, pada 31 Januari. Satu kasus positif dari kapal pesiar diumumkan seminggu kemudian. Penduduk Taipei menerima SMS berisi tautan Google Map dengan titik lokasi yang pernah dikunjungi penumpang yang mungkin telah terinfeksi. Ada juga informasi kapan mereka berkunjung ke sana. Ini menunjukkan betapa sigap Taiwan menghadapi wabah COVID-19. Sejak itu, siapa saja yang diduga telah melakukan kontak dengan pasien langsung melapor. Mereka mengikuti tes atau isolasi mandiri, tergantung pada tingkat risikonya.
Kehidupan kami di sini normal kayak biasanya. Sudah enam bulan lebih tidak ada kasus luar yang menyebar secara lokal. Dari 548 kasus yang tercatat pada 22 Oktober, tak sampai 100 yang ditularkan dari dalam negeri. Sebagian besar berasal dari luar negeri.
Saya masih bisa makan di luar, dugem dan nonton konser. Tidak khawatir ketularan sama sekali. Ya memang, sih, kita tidak pernah tahu apakah orang yang berpapasan semuanya sehat atau tidak. Virus juga bisa tertular kapan saja. Tapi orang-orang di sini kadang suka lupa sedang ada pandemi di luar sana.
Saya suka merasa bersalah setiap mengunggah foto lagi di pantai atau makan malam di restoran. Saya hidup bebas di sini, sedangkan orang-orang di berbagai negara dirundung kesulitan. Ada kalanya saya merasa tak pantas menerima kebebasan ini.
Namun, saya juga sadar rasa bersalah ini tidak masuk akal. Saya tidak menerima perlakuan istimewa sama sekali. Kebetulan saja saya tinggal di negara yang pemimpinnya bertanggung jawab, dan penduduknya menanggapi wabah dengan serius sejak awal. Taiwan bisa menjadi contoh kehidupan pasca-corona. Kita bisa hidup normal lagi suatu saat nanti, tapi takkan pernah melupakan virus itu pernah ada sehingga kita bisa lebih waspada ke depannya.